Dear Akhy-Ukhty ____ Kita hidup menghampar di persada dunia ini dengan seluruh immanensi-nya. Satu-satunya hal yang paling dekat dengan "mitos objektivitas" itu adalah alam material. Untuk sementara, kebenaran akan terasa ketika ia berlindung di bawah payung material, fisikal, bukan yang lain. Kebenaran adalah apa yang dirasakan, difikirkan, dan dikonfirmasi oleh alam nurani, bukan di luar itu semua. Ketika ada orang miskin mendengarkan seorang ulama yang berkata bahwa Allah-lah Sang Pemberi rezeki, "kebenaran" ucapan ini belum sempurna sehingga orang miskin tadi mendapatkan bantuan sekardus mie instan dari para missionaris Kristen. S0 ... siapakah pemenang duel "Transendensi Sang Pemberi" Rizki versus "Immanensi sekardus mie instan" ?, lantas manakah dari keduanya yang kita sebut kebenaran menurut si miskin tadi ?. Antum lebih bijak dalam menilainya _________
AKhy-Ukhty as'adakumullah,_____
Dengan pernyataan di atas, janganlah antum tergesa-gesa menilai saya sebagai maniak materialis agnostik, nurani saya juga berkata bahwa di sana ada hal-hal lain daripada hanya sekedar materi yang harus saya miliki. Signifikansi dari illustrasi di atas adalah sebagai penegasan betapa kita, manusia, harus berani menggandengkan 2 alam ke-Tuhanan dan Ke-alaman sama rata. Sudah sejak lama saya meragukan "mitos objektivitas" itu. Benturan itu terjadi ketika manusia mencoba terbang memasuki zona merah alam transenden dan sama sekali mengacuhkan immanensi-nya sebagai manusia. Cukuplah "History of God"-nya Karen Armstrong menegaskan kembali akan runtuhnya mitos tersebut. Lihatlah, rupanya amanat Allah SWT. dalam al-Baqarah : 30 telah dilanggar dengan adanya kepercayaan kepada mitos itu. Dalam leksikon sejarah, sudahkah anda menghitung berapa banyak konflik dalam jubah agama yang notabene menuhankan "mitos" itu ?. Simaklah amanat yang mula-mula Allah mandatkan ketika Ia hendak menciptakan manusia di bumi :
" Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menciptakan khalifah di muka bumi ini, para Malaikat berkata: apakah Engkau hendak menciptakan seorang yang suka berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi ?, Tuhan berkata: sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui "
(Al-Baqarah : 130)
Get the Idea ?
Dengan bertumpahnya darah dan rusaknya alam berarti pengkhianatan amanat Allah ketika Ia hendak memberikan mandat-Nya. Apa gerangan penyakit akut yang berimbas pada pengkhianatan ini ?. Jawabannya adalah "Syirik"/menyekutukan Allah (bagi kita orang Islam). Syirik kenapa ? ___ inilah syirik yang paling sulit untuk kita sadari, syirik karena menuhankan sesuatu selain-Nya, dia adalah "Objektivitas" buta. Jika anda meng-kafirkan sesama Islam (atas nama iman murni yang "objektip") karena dia syi'ah, ahmadiyah, bertawassul, atau bertabarruk di makam para wali, lantas timbul permusuhan, sampai pertumpahan darah apakah anda sendiri tidak syirik dengan tanpa sadar telah melanggar larangan Allah yang lainnya ?, what kind of faith was that ? (ini ya namanya gali lobang tutup lobang). Atau lebih berani lagi, jika anda meng-kafirkan non-muslim, atau sebaliknya jika non-muslim meng-"kafir"-kan muslim yang mana keduanya sama sama menuhankan objektivitas agama masing-masing, lantas darah bercecer di bawah bendera dan yeal-yeal agama, Whose to Blame ? ________
Sekali lagi, dalam hal inilah manusia telah lupa bahwa dirinya adalah manusia sekalipun ia mengaku manusia. Dengan demikian, marilah kita sedikit geser alam kemanusiaan kita menuju tempat yang lebih tepat daripada hanya sekedar percaturan transendensi absurd belaka. Kita bersatu dalam alam immanensi yang memandang manusia sebagai manusia, bukan sebagai warga hutan rimba. Satu lagi mitos yang menjadi biang keroknya, objektivitas, marilah kira rekonsepsi ulang menjadi suatu konsep yang bukan hanya mitos, melainkan objektif dalam arti sebenarnya yang bisa diterima oleh SEMUA umat manusia, marilah kita sama-sama mencari das ding an sich- nya Immanuel Kant yang kalau saja itu dapat ditemukan, niscayalah perdamaian.
Sekali lagi, dalam hal inilah manusia telah lupa bahwa dirinya adalah manusia sekalipun ia mengaku manusia. Dengan demikian, marilah kita sedikit geser alam kemanusiaan kita menuju tempat yang lebih tepat daripada hanya sekedar percaturan transendensi absurd belaka. Kita bersatu dalam alam immanensi yang memandang manusia sebagai manusia, bukan sebagai warga hutan rimba. Satu lagi mitos yang menjadi biang keroknya, objektivitas, marilah kira rekonsepsi ulang menjadi suatu konsep yang bukan hanya mitos, melainkan objektif dalam arti sebenarnya yang bisa diterima oleh SEMUA umat manusia, marilah kita sama-sama mencari das ding an sich- nya Immanuel Kant yang kalau saja itu dapat ditemukan, niscayalah perdamaian.
2 comments
artikelnya bagus.., thanks.
Posted on 10 Januari 2013 pukul 06.32
sama2
Posted on 14 Agustus 2014 pukul 05.02
Posting Komentar