1. Selayang Pandang
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Röcken, sebuah kampung kecil yang berada di dekat Lützen sebelah barat daya Leipzig, Prusia, Jerman pada tanggal 15 Oktober 1884. Tanggal ini bertepatan dengan hari ulang tahun raja Prusia, Friedrich Wilhem IV, oleh karenanya ia diberi nama yang sama[1].
Istrinya bernama Franziska, Ayahnya, Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) merupakan seorang pendeta lutherian, begitu juga dengan paman dan kakeknya. Ia dididik dalam suasana penuh kelembutan dan kemanjaan dari ibu dan saudara perempuannya. Ia merupakan seorang yang lembut dan mempunyai hobi membaca, terutama injil. Hidupnya banyak dirundungi kemalangan, namun ia tidak pernah sedikitpun mengeluh, sebagaimana semboyannya yang terkenal “ Amor Fati “.
Istrinya bernama Franziska, Ayahnya, Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) merupakan seorang pendeta lutherian, begitu juga dengan paman dan kakeknya. Ia dididik dalam suasana penuh kelembutan dan kemanjaan dari ibu dan saudara perempuannya. Ia merupakan seorang yang lembut dan mempunyai hobi membaca, terutama injil. Hidupnya banyak dirundungi kemalangan, namun ia tidak pernah sedikitpun mengeluh, sebagaimana semboyannya yang terkenal “ Amor Fati “.
Dalam perjalanan akademisnya ia banyak berkenalan dengan orang-orang besar yang kelak akan banyak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti Scopenhauer, Johan Goethe, Richard Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karir akademis bergengsi yang pernah didudukinya ialah menjadi profesor filologi di Basel University, yang ia dapatkan ketika ia berusia dua puluh tahun.[2] Ketika kesehatannya mulai memburuk, ia melepaskan jabatannya ini. Ia mengembara ke tempat yang tenang untuk menyelesaikan karya-karyanya.
Filsafat Nietzsche tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Filsafatnya sekaligus merupakan pandangan hidupnya. Salah satu nilai plus (value added) ketika mencermati karya Nietzshe ialah pengetahuan tentang hidup. Ia memimpin sederet filsuf-filsuf besar Jerman sejak Leibniz. Ia mengantisipasi pemikran abad 20 dalam banyak hal. Ia adalah filsuf, psikolog, kritikus seni musik dan sastra, dan filolog yang meneliti teks-teks kuno. Dalam semua tema yang disajikan, Nietzsche mampu mengemukakan dengan gaya bahasa yang menarik dan pandangan pandangan yang orisinal. Nilai historis Nietzsche sangatlah besar. Pemikirannya yang meloncat dalam meramalkan masa depan sungguh sangat mengaggumkan. Ia adalah filsuf bagi para filsuf. (Hollingdale, 1968: 10-11)
Menjelang akhir hidupnya, ia dirawat di rumah sakit jiwa. Setelah ibunya meninggal, ia dirawat oleh saudaranya, Elizabeth. Ia sangat sedih dan prihatin melihat kondisi Nietzsche, bahkan Nietzsche sendiri sudah tidak menyadari akan kebesaran namanya. Pada usia 46 tahun, tanggal 25 Agustus 1900, setelah 11 tahun menderita sakit jiwa, rajawali kaum filsuf ini mengehembuskan nafas terakhirnya di Weimar. Ia meninggalkan nama besar dan karya-karya yang sampai saat ini tidak usang untuk dinikmati berulang-ulang. Oleh Nietzshe, sejarah filsafat diperkaya dengan halaman-halaman baru, segar, ganas, gemilang, dan gila.[3]
Secara kronologis perjalanan kehidupan Nietzsche dapat digambarkan sebagai berikut :
Tahun 1849, Ayah Nietzsche meninggal.
Tahun 1850, Ibu Nietzsche memindahkan seluruh keluarganya ke Naumburg.
Tahun 1858, Nietzsche memasuki asrama sekolah di Pforta.
Tahun 1864, Nietzsche kuliah di Universitas Bonn.
Tahun 1865, pindah ke Universitas Leipzig.
Tahun 1869, mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di Universitas Basel, Swiss.
Tahun 1889, Nietzsche mengalami gangguan mental yg tak bisa disembuhkan lagi di sebuah jalan di Turin.
Dan tanggal 25 Agustus 1900, Nietzsche meninggal di Weimar, setelah lebih dari satu dekade berada dalam keadaan sakit jiwa.
Tahun 1850, Ibu Nietzsche memindahkan seluruh keluarganya ke Naumburg.
Tahun 1858, Nietzsche memasuki asrama sekolah di Pforta.
Tahun 1864, Nietzsche kuliah di Universitas Bonn.
Tahun 1865, pindah ke Universitas Leipzig.
Tahun 1869, mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di Universitas Basel, Swiss.
Tahun 1889, Nietzsche mengalami gangguan mental yg tak bisa disembuhkan lagi di sebuah jalan di Turin.
Dan tanggal 25 Agustus 1900, Nietzsche meninggal di Weimar, setelah lebih dari satu dekade berada dalam keadaan sakit jiwa.
Diantara karya-karya monumentalnya ialah :
v 1872 - Die Geburt der Tragödie (Kelahiran tragedi)
v 1873-1876 - Unzeitgemässe Betrachtungen (Pandangan non-kontemporer)
v 1878-1880 - Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, terlalu manusiawi)
v 1881 - Morgenröthe (Merahnya pagi)
v 1882 - Die fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang gembira)
v 1883-1885 - Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra)
v 1886 - Jenseits von Gut und Böse (Melampaui kebajikan dan kejahatan)
v 1887 - Zur Genealogie der Moral (Mengenai silsilah moral)
v 1888 - Der Fall Wagner (Hal perihal Wagner)
v 1889 - Götzen-Dämmerung (Menutupi berhala)
v 1889 - Der Antichrist (Sang Antikristus)
v 1889 - Ecce Homo (Lihat sang Manusia)
v 1889 - Dionysos-Dithyramben
v 1889 - Nietzsche contra Wagner. [4]
A. Landasan Ontologis
Dalam bidang ontologis, Nietzsche menolak terminologi Immanuel Kant yang melihat kenyataan dalam dua dikotomi, Nomena dan Fenomena. Dalam pandangan Kant, fenomena hanya sebatas gejala yang tampak di depan subjek. Ia bukanlah kenyataan. Kenyataan yang sebenarnya terdapat di balik fenomena. Kenyataan sejati yang merupakan Das Ding An Sich ada di balik bendanya. Nomenalah yang hakiki.[5]
Dalam ranah ontologis Nietzsche, konsepsi Kant di atas tidak berlaku. Baginya sesuatu yang disebut kenyataan ialah apa yang nyata yang dapat ditangkap oleh subjek. Objek atau benda yang nampak bagi subjek itulah yang disebut kenyataan. Inilah kenyataan sejati yang tak bisa disangkal adanya. Menurut Nietzsche, sesuatu yang disebut Kant sebagai kenyataan sejati atau Das Ding An Sich merupakan suatu ajaran yang masih dogmatis, ia memandangnya sebagai sebuah lelucon belaka. Tidak ada sesuatu lain yang tersembunyi di balik suatu benda yang tampak kepada kita.
Menurut Nietzsche, Jika menggunakan kacamata Kant, sampai kapanpun sesuatu yang disebut kenyataan sejati takan pernah ditemukan, karena akal manusia takkan mampu menangkap nomena. Oleh karenanya, konsep nomena tidak lebih dari hanya sekedar simplifikasi, imajinasi dan lelucon belaka. Nomena tidak bisa ditangkap dan diketahui, namun hanya bisa diandaikan saja. Dengan konsepsi ontologis semacam ini, kita bisa melihat sisi realisme Nietzsche yang melandaskan konstruksi pemikirannya kepada empirisisme, lain halnya dengan Kant dengan Das Ding An Sich- nya yang merupakan seorang penganut idealisme.
Konsep ontologis Nietzsche semacam ini berimplikasi kepada produk pemikirannya, misalnya tentang manusia. Dalam pandangannya, manusia merupakan suatu eksistensi yang riil sebagaimana dapat kita saksikan, yakni hakikat manusia adalah tubuh / jasadnya sendiri. Hal ini terlihat jelas diungkapkan dalam Zarathustra : [6]
Aku adalah tubuh dan “ jiwa “, demikian dikatakan sang anak. Apa salahnya berbicara seperti seorang anak ?
Tapi mereka telah bangun, dan mereka yang tahu berkata: “ Aku adalah tubuh seluruhnya. Tidak ada yang lain, jiwa adalah sesuatu dari tubuh “ (Nietzsche, 1969: 146.)
Dengan pandangan Nietzshe yang lebih berinklinasi kepada dominasi tubuh / fisik atas jiwa, ia mengandaikan tubuh sebagai komponen utama / akal besar. Seluruh komponen penyusun manusia termasuk jiwa, ruh, akal, dsb. hanya sebatas “ instrumen “ kecil yang dikontrol oleh tubuh itu sendiri, atau dalam bahasa Nietzshe, “ mainan kecil dari akal besar “.
B. Karakteristik Epistemologis
1. Vitalisme
Siapapun tidak menyangkal bahwa Nietzsche merupakan seorang vitalis. Namun mesipun begitu, vitalismenya berbeda dengan Henry Bergson, di mana elan vital dipahami sebagai daya hidup, unsur yang merupakan inti hidup. Vitalisme Nietzsche lebih bersifat aktif. Vitalisme dalam pengertian ini mengandung arti semangat hidup. Kecintaan terhadap hidup bukan berarti takut mati. Hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian, tidak ada kata menyerah. Ia selalu dalam proses menjadi. Manusia jembatan antara binatang dan manusia agung.[7]
Vitalisme adalah suatu doktrin yang menyatakan bahwa suatu kehidupan terletak di luar dunia materi dan karenanya kedua konsep ini, kehidupan dan materi, tidak bisa saling mengintervensi. Dimana doktrin ini menghadirkan suatu konsep energi, elan vital, yang menyokong suatu kehidupan dan energi ini bisa disamakan dengan keberadaan suatu jiwa. Pada awal perkembangan filosofi di dunia medis, konsep energi ini begitu kental sehingga seseorang dinyatakan sakit karena adanya ketidakseimbangan dalam energi vitalnya. [8]
Dalam vitalisme versi Nietzsche, untuk dapat mencintai hidup dan mendapatkan semangatnya, manusia harus terbebas dari segala kekhawatiran akan dosa-dosa, nilai-nilai tradisional, dan segala hal yang membelenggu potensi kemanusiaannya. Hal inilah yang melatar belakangi Les nourhtures Terrestres (Earthy Nourishment), yang ditulis oleh Andre Gide, seseorang penulis yang terilhami oleh Nietzsche pada 1987. Kemunculan Gide sebagai penulis berbarengan dengan keberadaan Nietzsche di Paris selama dekade terakhir abad 19, ketika ia menghabiskan akhir-akhir hidupnya dalam keadaan sakit jiwa. Pengaruh Nietzscheisme dapat terlihat dalam karya tersebut. Dalam komposisi prosa lirikal itu, ia mendesak seorang muridnya, Nathanael untuk mengikuti impuls kehidupan dan dan membiarkan dirinya menikmati sensasi. Ia mengatakan :
“ Nathanel, Aku tidak lagi percaya dengan dosa “ [9]
Di kemudian hari, perkataannya ini akan menjadi motto hidupnya yang memperlihatkan salah satu atmosfir dari Zarathustra.
Dalam pandangan Nietzsche, manusia itu agung asal ia mau menjulangkan semangat hidupnya. Menurut Sudarmaji, Keseriusan Nietzsche terletak pada ilmunya yang merupakan bentuk pengetahuanyang penuh dengan suka cita, keberanian, dan tidak dilandaskan pada ilmu pengetauan yang dipahami selama ini, yang kenyataannya sering melewati batas-batas non-rasional. (Sudarmaji, 2000:12). Dari titik tolak inilah kemudian Nietzsche sampai kepada Nihilisme.
2. Nihilisme
Dalam medan konsep pemikiran Nietzsche, nihilisme merupakan syarat untuk menjamin orisinalitas dalam berfikir dan berkreasi, sehingga ia benar-benar bermakna. Nihilisme sendiri adalah sebuah pandangan filosofis yang sering dihubungkan dengan Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.Beberapa filsuf yang pernah menulis mengenai nihilisme adalah Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger. Istilah nihilisme sendiri pertama dicetuskan oleh Ivan Turgenev dan diperkenalkan ke dunia filosofi oleh Friedrich Heinrich Jacobi (1743–1819).[10]
Nietzsche berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah lazim pada zamannya, dan ia merefleksikan makna persis nihilsime bagi dirinya sendiri. Nihilisme sebagai normalitas zaman yang menimpa dirinya ia jadikan bahan filsafat. Nietzsche dalam buku kumpulan aforismenya Der Willezur Macht, membuka tulisannya dengan gagasan tentang Nihilisme. Dia meramalkan terjadinya bahaya dari segala bahaya, yaitu nihilisme. Semangat nihilistiknya juga banyak ditemukan di dalam karya. Dengan tema ini ia hendak menunjukkan bahwa apa saja yang dulu dianggap bernilai kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Krisis ini pun akan berlangsung terus-menerus dan takkan terelakkan.
Dalam salah satu cerita Nietzsche yang terkenal “ madman / orang gila “, dinyatakan : “ Tuhan sudah mati.. Tuhan terus mati.. Kita telah membunuhnya ” ( Gott ist tot.. Gott bleibt tot.. Und wir haben ihn getotet..). ( The Gay Science/ Die fröhliche Wissenschaft, sesi 125 ). Dalam sesi ini, si orang gila muncul di pasar dan berteriak “ Tuhan sudah mati “ dengan kebingungan kepada orang-orang atheist terpelajar yang berkumpul di sana. Kemudian mereka serentak tertawa. Si orang gila memberitahu mereka, “ kita telah membunuhnya – kamu dan aku, kita semua yang di sini adalah pembunuh tuhan “. Ia mencoba menjelaskan sebaik mungkin kepada orang-orang itu yang hanya terdiam seribu bahasa. Akhirnya si orang gila membantingkan lentera yang di bawanya, dan berkata “ rupanya aku datang terlalu cepat, belum tiba saatnya bagiku. Hal ini masih terlalu jauh dari mereka melebihi bintang yang terjauh sekalipun. [11]
Hal ini merupakan serangan bagi mereka para pengikut kristiani sekuler (bahkan atheist). Orang orang yang mendengarkan si orang gila tersebut terkejut dan bahkan memperolok-oloknya. Mereka sendiri secara kritik historis bukan lagi seorang Kristiani. Mereka tidak mempercayai Tuhan apapun. Betapapun, dalam pandangan Nietzsche, mereka masih memelihara prinsip-prinsip dasar moral kristiani. Mereka tidak bisa memahami perkataan “ rupanya aku datang terlalu cepat, belum tiba saatnya bagiku. Hal ini masih terlalu jauh dari mereka, bahkan melebihi bintang yang terjauh sekalipun “ . [12]
Hal ini terkesan seperti Nietzsche berjuang melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang semakin pudar. Jaminan kepastian yang pertama adalah bahwa Tuhan sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen. Jaminan kepastian adalah ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan.
Dengan pengidentifikasian diri sebagai orang gila, Nietzsche ingin menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan apa yang dulu dianggap mapan, biasa dan wajar, termasuk yang pernah dialaminya sendiri. Semua makna dan nilai yang menjadi pegangan (yang mencirikan kewarasan) kini seluruhnya sudah roboh. Dengan berseru “ Tuhan sudah mati ”, Nietzsche tidak bermaksud membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Bagi Nietzsche, pembuktian mengenai eksistensi Tuhan merupakan cara bicara para metafisisi yang hanya bersandar pada prinsip-prinsip logika saja. Terutama berkaitan dengan umat kristiani di zamannya yang menurutnya sudah tidak percaya lagi pada Tuhan manapun. Ketika itu ia memandang agama sebagai slogan saja, karena pada kenyataannya umat Kristiani suda tidak ber-Tuhan.
Nietzsche memberikan sebuah ramalan bahwa gerak sejarah akan mengarah kepada suatu bentuk nihilisme yang radikal. Sebenarnya nihilisme ini tidak hanya berbunyi “Tuhan sudah mati”, tetapi juga “tuhan-tuhan sudah mati”. Apabila dirumuskan dengan gagasan Nietzsche sendiri, nihilisme ini berbunyi demikian:
nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat dipertahankan lagi, bila itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui manusia.
Nietzsche melihat bahwa banyak pemikir, sekalipun sudah membunuh Tuhan atau menolak suatu nilai suatu nilai absolut di luar dirinya, masih mencari model-model Tuhan lain yang dapat menjamin dunia dan hidupnya. Para Tuhan yang baru tersebut adalah berupa idea, kesadaran, rasio, kepastian akan kemajuan (progress), kesejahteraan umum, kabudayaan dan lain sebagainya.
nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat dipertahankan lagi, bila itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui manusia.
Nietzsche melihat bahwa banyak pemikir, sekalipun sudah membunuh Tuhan atau menolak suatu nilai suatu nilai absolut di luar dirinya, masih mencari model-model Tuhan lain yang dapat menjamin dunia dan hidupnya. Para Tuhan yang baru tersebut adalah berupa idea, kesadaran, rasio, kepastian akan kemajuan (progress), kesejahteraan umum, kabudayaan dan lain sebagainya.
Menghadapi nihilisme ini, Nietzsche mengusulkan Interpretasi baru yang praktis. Manusia harus memahami dirinya sebagai subjek masa kini dan masa depan. Untuk memperkuat pendapatnya tentang otoritas subjek, ia melemparkan dan mengklaim “ Tuhan sudah mati ”. Bila Tuhan sudah mati, manusia dapat bebas mewujudkan kekuasaannya. Dengan meninggalkan Tuhan yang dianggap sebagai peletak dasar nilai-nilai, manusia berhadapan dengan suatu kemayaan. Kemayaan inilah yang akan “ menampar “manusia. Manusia mulai mempertanyakan nilai segala sesuatu, termasuk dirinya. Terjadilah revolusi nilai dan norma dalam segala aspek. Di sinilah letak hubungan nihilisme dan vitalisme dalam konsepsinya.
Menurut Martin Heidegger, filsafat Nietzsche tentang nihilisme semacam ini merupakan “ tutup botol “ problem metafisis barat. Corak pemikiran ini menunjukan bukan hanya akhir dari filsafat, namun juga akhir dari “ wahyu “ sebagai kunci pembuka makna atau ketiadaan makna. Konsep subjektivitas dalam metafisik barat yang mencapai klimaksnya dalam will to power, juga menjadi sebuah kegilaan dalam siklus eternal recurrence. Bagi Heidegger, filsafat Nietzsche bukan merupakan penaggulangan atas nihilisme, justru ia merupakan rintangan serius dalam problem nihilisme.[13] Secara konklusif, nihilisme dalam versi Nietzsche berart ke-nihil-an nilai-nilai, baik kemanusiaan ataupun ketuhanan, sehingga dengan gagasan yang agak provokatif, ia “ meletuskan “ emosinya ini dengan The Death of God. Selanjutnya, Nietzsche “ menciptakan “ Übermensch yang akan menyelamatkan dunia yang sedang chaos. Sampai di sini, sisi eksistensialisme yang beranjak dari nihilisme Nietzsche dapat terlihat.
3. Perspektivisme
Perspektivisme merupakan suatu aliran filsafat yang dikembangkan sendiri oleh Nietzsche. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, perspektivisme diartikan sebagai mazhab yg menganggap bahwa ilmu itu selalu bersifat relatif. Secara terminologis, perspektivisme merupakan aliran filsafat yg mengajarkan bahwa setiap pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu interpretasi belaka yang bergantung pada keadaan tempat berdirinya seseorang terhadap objek yang diketahuinya.
Perspektivisme memiliki kemiripasn dengan relativisme, hanya saja perspektivisme ini lebih menekankan perspektif subyek tertentu, di samping banyaknya posibilitas dan skema konseptual yang meniscayakan relativitas klaim “ benar “ dan “ salah “. Perpektivisme Nietzsche ini dapat terlacak terutama dalam pandangannya seputar moralitas, yang ia presentasikan pertama kali dalam Human, All to Human. Ia menolak bahwa moralitas adalah tolok ukur segalanya, justru ia bersifat perspektifikal. Berlawanan dengan konsep para moralis, ia berpandangan bahwa moralitas tidak bersifat inhern, ia adalah “ temuan “ manusia. Di samping itu, moralitas tidaklah sama di setiap kultur dan di setiap waktu. Secara eksplisit, Nietzsche mengkontraskan peneltiannya kepada konsep moralitas Kristiani dan Yunani yang secara tipikal mengklaim bahwa konsep moral Yunani secara luas lebih superior.[14]
Perspektivisme Nitzsche ini dapat terlacak dalam beberapa pemikiran filsafatnya. Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche mengemukakan sejarah moralitas. Secara tidak langsung, dengan formulasinya ini ia menegaskan bahwa moralitas telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Ia juga menyatakan bahwa moralitas dapat digambarkan secara naturalis, namun suatu gambaran moralitas tidak bisa timbul dari yang lainnya, semuanya bergantung pada realitas yang ada. [15]
4. Kelemahan Akal
Akal dalam bahasa diibaratkan sebagai orang tua yang dungu. Saya khawatir kita tidak bisa melepaskan diri dari Tuhan hanya karena tata bahasa (Nietzshe, 1968: 35)
.... Tetapi sejak lama saya menyatakan perang terhadap optimisisme kemampuan akal (Nietzsche, 1968: 535)[16]
Kegiatan utama dalam filsafat dan ilmu pengetahuan ialah kegiatan berfikir. Tujuannya ialah untuk mendapatkan kebenaran. Dalam hal ini akal lebih dipercaya sebagai pemegang otoritas tertinggi daripada aspek-aspek manusia yang lainnya. Sebutan animal rationale bagi manusia tiada lain ialah karena rasio / akal yang dimiliki manusia, sehingga dengan hal ini ia dibedakan dari makhluk yang lainnya.
Anggapan umum semacam ini ternyata tidak berlaku bagi Nietzsche. Dalam hal ini, ia menyatakan perang terhadap kemapanan akal. Pandangan Nietzsche kepada konsep akal / rasio lebih radikal dari hanya sekedar skeptisisme akal. Hal ini nampak jelas dalam beberapa karyanya, seperti disebutkan di atas. Tak heran jika ia mengkritik seluruh pandangan Descartes dan Kant yang melandaskan konstruksi filsafatnya pada kemampuan akal dalam mendapatkan kebenaran.
Menurut Nietzsche, berpikir – sebagaimana dikatakan oleh para epistemolog – tidak pernah tejadi sama sekali. Ia hanya merupakan fiksi arbitrer yang muncul dengan menyeleksi satu unsur dari proses yang ,mengeliminasi semua yang tidak berguna. Bagi Nietzsche, subyek ialah subyek yang bertubuh. Subyeklah yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Jauh sebelum logika memasuki kesadaran, kita tidak melakukan apapun selain mengintrodusir postulat ke dalam peristiwa-peristiwanya.
Pertanyaan yang lebih jauh, apakah yang nampak logis itu benar adanya ? . Bagi Nietzsche, akal tidak mampu membuktikan mana yang benar dan mana yang salah. Adalah terlalu naif jika akal dipercaya dapat menentukan kebenaran. Oleh karenanya, dalam hal ini Nietzsche tergolong filsuf realis sejati dan menentang semua konsep para idealis, seperti Descartes yang ia sebut sebagai “ fanatik moral “ yang menyerahkan segalanya kepada akal.
1. The Will To Power
Formulasi “ The Will to Power “ telah dikenal dengan baik oleh para sarjana yang mengkaji pemikiran Nietzsche dan oleh kalangan masyarakat luas. Nietzshe mengembangkan konsep ini dari dua sumber utama: Schopenhauer dan kehidupan Yunani kuno. Schopenhauer mengadopsi konsep ini dari gagasan timur dan berkesimpulan bahwa bahwa alam semesta dikendalikan oleh suatu kehendak buta. Nietzsche mengenali adanya kekuatan di dalam gagasan ini, dan menerapkannya dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Ketika Nietzsche sedang melakukan studi terhadap gagasan-gagasan Yunani kuno, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yg menjadi pendorong di dalam peradaban mereka semata-mata adalah bagaimana mencari kekuasaan, dan bukan untuk mencari sesuatu yg lebih berguna atau yg memberikan manfaat.
Semua konsep dan masalah yang dibicarakan selalu bermuara pada kehendak untuk berkuasa, bahkan agama sekalipun. Walter Kaufman menegaskan :
Kehendak untuk berkuasa adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporishma- nya, ia menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengugkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan motif dasar dan menegaskan bahwa kehendak itu terdapat pada semua makhluk hidup (Kaufman, 1967: 510)
Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh suatu Kehendak untuk Berkuasa. Semua tindakan kita berasal dari kehendak ini. Namun beberapa ilmuwan yang meneliti pemikiran Nietzsche membantah bahwa formulasi ini timbul dari ajaran scopenhaur yang mempengaruhinya. Sebagian berpendapat bahwa ide ini merupakan batu pertama (cornerstone) yang diletakkan olehnya. Sebagian lagi telah menunjukan kekurangan published mentions formulasi ini dan menyatakan bahwa ide ini tidak terlalu sentral bagi Nietzsche.[17] Membincang tentang Will to Power, tentunya tidak bisa lepas dari suatu ajarannya yang lain, Etternal Recurrence.
2. Etternal Recurrence
Dalam salah satu magnum opus- nya, Also sprach Zarathustra, Nietzsche mengkontraskan salah plot ceritanya kepada formulasi etternal recurrence. Tersebutlah dalam Zarathustra :
Untuk menebus mereka yang tinggal di masa lalu dan untuk menciptakan mereka kembali kedalam ‘ dengan demikian aku mengkhendaki ini ‘ – yang aku sendiri harus memanggil penebusan – semua itu adalah fragmen, teka-teki, kecelakaan menyeramkan – sehingga proses kreasi akan berkata tentang itu, tapi dengan demikian aku mengkhendaki ini, dengan demikian aku menghendaki ini. (Zarathustra, pp. 251-3). [18]
Menurut Nietzsche, kita seharusnya bertindak seakan-akan hidup yang kita jalani ini akan terus berlanjut dalam satu pengulangan yang abadi (Eternal Recurrence). Setiap momen yang telah kita jalani dalam kehidupan ini akan dijalani berulang-ulang untuk selama-lamanya. Ia menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa dipercaya. Beranjak dari formulasi semacam ini, Nietzsche menasihati umat manusia untuk menjalani kehidupan secara enjoy dan optimal.
Formulasi etternal recurrence ini mendominasi plot Zarathustra. Terkadang, ide ini membawanya kepada beberapa model visi dan mimpi. Di sisi lain, ia nampaknya enggan untuk mengkategorisasi dan menerima implikasi idenya ini. Terutama, ketika saat-saat berputus asa, ia merasa ngeri dan jijik jika hal tersebut berlaku juga bagi orang-orang jelata, termasuk orang-orang rendahan dari seluruh ras manusia. Elang dan ular yang merupakan rekannya mendorong zarathustra untuk berhenti berbicara dan menyanyi sebagai gantinya. Sikap Nietzsche terhadap Etternal recurrance yang terjadi pada rakyat jelata menunjukan elitisme Nietzsche. Secara konsisten, Nietzsche dan Zarathustra berpendapat bahwa semua manusia tidaklah sama. [19]
3. Tuhan Telah Mati : Revolusi Nilai-Nilai Baru
Pemikiran bahwa Tuhan telah mati merupakan “ Ocehan “ provokatif Nietzsche dalam karyanya, The Gay Science ( Die fröhliche Wissenschaf ) yang kemudian menjadi salah satu karateristik asasi epistemologi nihilisme-nya. Nietzsche mulai dengan melancarkan serangan terhadap kelekatan kita pada perilaku tentang baik dan buruk, yang secara umum diambil dari tradisi Yunani kuno dan Yahudi-Kristiani. Hal ini berarti landasan moral kita berasal dari masyarakat yang berbeda dengan yang ada sekarang, dan berasal dari agama-agama yang sudah tidak dipercayai banyak orang. [20]
Beranjak dari “ kepura-puraan “ seperti itu, Nietzsche mengkhendaki revolusi dan rekonstruks besar-besaran terhadap nilai yang ada. Revolusi ini sampai pada klimaks-nya ketika ia si orang gila (madman) berteriak bahwa Tuhan telah mati dan kita semua sebagai pembunuhnya kepada orang-orang – yang dianggapnya – atheis yang sudah tidak mempercayai Tuhan apapun.
Sebagaimana dijelaskan di atas, hal ini bukan berarti Nietzsche sama sekali mengingkari keberadaan Tuhan, “ ocehan “ ini hanya sebatas “letusan “ emosional dari revolusi nilai baru yang diinginkan Nietzsche. Ketika Tuhan telah mati, lantas bagaimana kita menyusun ulang kekosongan nilai kita ?, di sinilah muncul sang pahlawan yang dinanti-nanti, Übermensch.
4. Übermensch
Kata Übermensch (dalam bahasa Ingrris: Overman, Overhuman, Above-Human, Superman) yang berarti manusia super, merupakan salah satu pemikiran filsafat-imajinatif Nietzshe yang paling signifikan. Nietzsche memposisikan Übermensch sebagai tujuan kemanusiaan yang tertuang dalam Zarathustra. Übermensch, manusia imajiner ciptaan Nietzsche yang akan menyelamatkan kemanusiaan dari segala krisisnya ini sering disebut berdampingan dengan The Death of God (kematian tuhan). Gagasan imajiner ini berkaitan erat dengan salah satu landasan konstruksi berfikirnya, the will to power, yang menjadikannya sebagai free-thinker.
Gagasan tentang Übermensch ini banyak diungkapkan dalam Zarathustra, dalam hal ini bahkan Zarathustra merupakan konfigurasi Übermensch, seperti dikatakan :
Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu.
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru.
Übermensch diharapkan akan muncul ketika nilai tidak lagi mengambil peran penting bagi kehidupan manusia, karena manusia telah berhasil membunuh Tuhan. Diperlukan sebuah keniscayaan yang akan memberi makna tertinggi untuk mengisi kekosongan ini. Pengisian nilai atas kekosongan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berhasil melepaskan diri dari cengkraman Tuhan, dialah Übermensch. Ia adalah suatu prototype dari manusia sesungguhnya, yaitu manusia yang berani mengafirmasi dirinya sebagai pemilik tunggal kehendak berkuasa. Selain itu Übermensch juga dimengerti sebagai suatu entitas yang melekat dalam diri manusia yang mau mengoptimalkan potensi vitalnya dalam memaknai dunia yang telah kehilangan berbagai macam nilai.
Übermensch tidak dilahirkan melalui alam, namun ia lahir dari seleksi antar manusia. Proses seleksi tersebut harus diimbangi dengan kecerdasan atau bahkan kelicikan / kebengisan sebagai upaya untuk menciptakan daya estetis dari Dionysian. Nietzsche mencontohkan Napoleon sebagai prototype dari Übermensch. Karakter Napoleon yang bersebrangan dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan juga perangainya yag dianggap buruk oleh mayoritas orang, justru dipuji oleh Nietzsche.
Keseluruhan konsep filsafat Nietzsche merupakan “ pedang bermata dua “. Seluruh pemikiran filsafatnya yang terkesan terlalu fulgar, kurang ajar, dan melewati batas zaman menjadikan pemikiran filsafatnya sebagai sebuah filsafat zona eksklusif. Pemahaman yang parsial terhadap pemikirannya akan berakibat fatal. Sebut saja pernyataaan “ Tuhan telah mati “ yang jika dipahami secara parsial dan tekstual tanpa meneliti lebih lanjut motif, konteks, dan hal-hal lain yang berkaitan erat dengan pernyataan tersebut, tentu akan menimbulkan mis-interpretasi terhadap gagasan Nietzsche. Terlebih mayoritas karya-karyanya bersifat aforisme, sehingga perlu penelaahan yang mendalam untuk memaknai gagasan Nietzsche yang sebenarnya.
Jelasnya, semua pernyataan Nietzsche dengan kapasitasnya sebagai seorang filosof papan atas sekaligus merangkap sebagai filolog, seniman, dan sastrawan yang mungkin berbeda “ maqom “ dengan kita, bukan merupakan pernyataan yang transparan. Diperlukan pemahaman yang integral untuk dapat benar-benar memahami gagasan Nietzsche. Betapapun Nietzsche menyajikan filsafatnya dengan kasar, provokatif, dan kurang ajar, terdapat banyak nilai aksiologis dari gagasan-gagasan gilanya yang revolusioner.
Sisi Eksistensial Übermensch : From Zero to Hero
Dua formulasi komplementer dari epistemologi Nietzsche, nihilisme dan vitalisme, secara tersirat memiliki banyak nilai-nilai eksistensial. Beranjak dari “ tamparan “ realitas di sekitarnya, Nietzsche mencoba melakukan sesuatu yang jarang dilakukan banyak orang pada saat itu, “ berani membebaskan kebenaran yang terpasung “. Dengan keberanian mendobrak weltanschaung dan mainstream yang ada pada saat itu, Nietzsche menganggap setiap komunitas yang ia jumpai telah “ berkhianat “ kepada nilai-nilai konvensional yang disepakati bersama, termasuk agama. Dunia telah memasuki masa yang sangat krusial, karena pada saat itu nilai-nilai tidak lagi memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia. Dengan semangat “ vitalisme “-nya yang membara, ia berusaha untuk mencari solusi alternatif bagi masalah-masalah krusial tersebut, hingga akhirnya ia sampai kepada “ nihilisme “.
Nihilisme Nietzsche bukanlah merupakan pengkosongan atau penihilan nilai semata tanpa disertai adanya usaha untuk mencari solusi rekonstruktif. Jika dipahami demikian, maka nihilisme Nietzsche tidak ada bedanya dengan “ pembantaian “ nilai-nilai secara membabi buta. Di sini kami melihat justru Nietzsche menjadikan nihilisme sebagai motif dan titik tolak vitalnya untuk mencapai rekonstruksi nilai-nilai yang baru secara utuh, mulai dari nol (from zero). Sosok Übermensch yang diciptakan Nietzsche sebagai penyelamat krisis ini, merupakan klimaks vitalisme Nietzsche dalam mengatasi “alienasi “ nilai-nilai dalam masyarakat manusia yang berawal dari nihilisme tadi. Di sinilah kita bisa melihat sisi eksistensial Übermensch yang muncul dari nihilisme Nietzsche. From zero to Hero.
Perspektivisme : Menyapu Bersih Romantisasi
Salah satu prinsip asasi yang melandasi filsafat Nietzsche ialah pandangan perspektivisme. Erat kaitannya dengan nihilisme-vitalisme sebagaimana tersebut di atas, perspektivisme Nietzsche meniscayakan reletivisme dan kontekstualisasi. Melalui perspektivisme-nya ini, Nietzsche menelaah ulang konsep moral masyarakat di zamannya yang ia anggap sebagai romantisasi belaka dari konsep moral Yunani dan Yahudi-Kristiani.
Secara konklusif, konstruksi pemikiran Nietzsche berorientasi pada kontekstualisasi. Semangat kontekstualisasi sangat diperlukan dalam berbagai aspek dalam hidup kita, termasuk wilayah ajaran agama. Sebagai kita ketahui, semua agama yang ada sekarang lahir pada masa pra-modern. Ketika agama tersebut bisa bertahan sampai saat ini, maka kontekstualisai adalah sebuah keniscayaan. Mentalitas klasik sudah tidak relevan lagi dengan konteks sekarang. Bagaimanapun, perspektif dahulu dan perspektif masa kini tidak bisa disamakan, kecuali beberapa hal yang bersifat – meminjam istilah agama Islam – tsawabit.
Eternal Recurrence : Katakan “ Ya” Terhadap Hidup
Nilai-nilai pokok yang harus kita rengkuh kata Nietzsche, adalah nilai yang menegaskan kehidupan. Masing-masing dari kita harus menjadi orang yang hidup sepenuhnya, yang menghayati kehidupan semaksimal mungkin. Salah satu kata kesayangan Nietzsche adalah “ berani “, dan barang kali perintah moral pertamanya ialah “ beranilah menjadi dirimu sendiri “. Inilah cara makhluk hidup bersikap spontan terhadap alam.
Nietzsche menilai semua nilai dengan tolok ukur sejauh mana nilai-nilai itu menegaskan kehidupan. “ Baik “ adalah segala yang menegaskan kehidupan atau yang membantu menegaskan kehidupan. Bahkan “ Benar “ ialah segala sesuatu yang membela kehidupan, bukan yang menentangnya. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa orang yang paling berjaya , paling berhasil pun akhirnya akan berakhir dengan kematian. Lalu mereka lenyap dan dilupakan. Segalanya berujung pada ketiadaan kekal. Apa arti semua itu ?
Nietzsche memberikan jawaban berlapis dua. Pertama, resepnya berlaku untuk suatu kehidupan supaya bisa hidup dengan sepenuh-penuhnya sesuai dengan ketentuan hidup itu sendiri, sehigga hidup bisa lebih berharga demi hidup itu sendiri. Kedua, segala sesuatu tidak berakhir pada ketiadaan kekal, melainkan akan kembali secara terus menerus. Maka hal yang telah terjadi akan terjadi lagi secara berulang-ulang (eternal recurrence). Untuk menjalani hidup sepenuhnya, kita harus hidup sebagaimana yang kita inginkan, yakni hidup abadi. [22]
Daftar Pustaka
Magnus, Bernd and Kathleen M. Higgins, The Cambridge Companion to Nietzsche, Cambridge University Press, 2006.
Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruz Media Grup, 2009.
Magee, Bryan, The Story of Philosophy, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
[1] Standford Encyclopedia for Philosophy, Friedrich Nietzsche, dalam www.plato.stanford.edu , diakses pada 23 Juni 2011
[2] Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 172
[3] Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta, Ar-Ruz Media Grup, 2009), hlm. 54
[4] Friedrich Nietzsche, dalam www.wikipedia.com , diakses pada 23 Juni 2009
[5] Epistemologi Kiri, hlm.56
[6] Ibid, hlm. 57
[7] Epistemologi Kiri, hlm. 58
[8] Nihilisme, dalam www.wikipedia.com , diakses pada 24 Juni 2011.
[9] Bernd Magnus and Kathleen M. Higgins, The Cambridge Companions to Nietzsche, (Cambridge University, 2006), hlm. 296
[10] Nihilisme, dalam www.wikipedia.com , diakses pada 24 Juni 2011
[11] The Cambrige Companion to Nietzsche, hlm. 36
[12] The Cambrige Companion to Nietzsche, hlm. 102
[13] The Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 312
[14] The Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 46
[15] Ibid, hlm. 32
[16] Epistemologi Kiri, hlm. 60
[17] The Cambridge Companions to Nietzsche, hlm. 40
[18] The Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 40
[19] Ibid, hlm 41
[20] The Story of Philosophy, hlm. 172
[21] The Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 41
[22] The Story of Philosophy, hlm. 177
2 comments
Everything is very open with a really clear explanation of the issues.
It was truly informative. Your website is extremely helpful.
Thank you for sharing!
Feel free to surf to my blog post ... click here
Posted on 25 Mei 2013 pukul 19.05
what should i do for my tennis elbow
Look at my page what kind of doctor tennis elbow
Posted on 31 Mei 2013 pukul 15.35
Posting Komentar