Pendahuluan
Al-Qur’an, dalam tradisi pemikiran Islam, telah melahirkan sederetan teks turunan yang sedemikian luas dan mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan teks kedua – bila Al-Qur’an dipandang sebagai teks pertama – yang menjadi pengungkap dan penjelas maka-makna yang terkandung di dalamnya. Teks kedua ini lalu dikenal sebagai literatur tafsir Al-Qur’an ; ditulis oleh para ulama dengan kecenderungan dan karakteristik masing-masing, dalam berjilid-jilid kitab tafsir.[1
Usaha-usaha pemahaman atas teks Al-Qur’an yang melahirkan beragam karya tafsir tersebut telah menjadi fenomena umum di kalangan umat Islam. Prinsip dasar yang digunakan adalah : Al-Qur’an sebagai Kitab petunjuk yang di dalamnya termuat manhaj-manhaj rabbany yang maha paripurna. Keragaman literatur tafsir yang terus berkembang dan beragam terjadi karena teks Al-Qur’an merupakan sistem tanda (a system of signs).[2] Ia memiliki makna yang beragam dikarenakan adanya proses pemaknaan seperti tafsir (exegesis) dan takwil (interpretation, ). Dari proses pemaknaan ini, terlahirlah sebuah peradaban yang paling revolusioner.
Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulumil Qur’an, menyebutkan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks. Artinya, fundamen intelektual dan kultural umat Islam tidak mungkin mengabaikan sentralitas posisi teks Al-Qur’an dalam dialektikanya dengan realitas. Hal ini memang diperintahkan Al-Qur’an yang berkali-kali menyuruh kita untuk mendalami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dalam firman Allah yang artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” ( QS. Muhammad : 24 )
Sampai di sini, setidaknya ada satu tanda tanya besar yang menggelitik kita. Bagaimana cara kita mengungkap kandungan Al-Qur’an dengan baik dan benar ? untuk menanggulanginya, dibuatlah suatu rambu-rambu dan prosedur dalam memaknai Al-Qur’an, yaitu Ulumul Qur’an yang dipandang para Ulama sebagai ilmu bantu bagi para mufassir Al-Qur’an. Wawasan sekitar Al-Qur’an di berikan oleh Ulumul Qur’an yang membahas tentang seluk beluk Al-Qur’an. Ulumul Qur’an memadukan seluruh pembahasan sistematis yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah sumber ilmu yang cahayanya memancar ke segala penjuru. Dalam kerangka pluralitas makna Al-Qur’an, Abdullah Ad-Darraz dalam bukunya al-Naba’ al-‘Azhim ( Kabar Besar ) membuat suatu pernyataan yang menarik, ” ( Al-Quran ) itu intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan yang terpancar dari sudutnya yang lain. Tidak mustahil bila anda mempersiakan orang lain untuk memandangnya, ia akan melihat lebih banyak dari yang anda lihat. “
Seputar Ulumul Qur'an
A. Al-Qur’an dan Tafsir
Al-Qur’an dan Tafsir laksana dua sejoli yang takkan pernah terpisahkan, dikarenakan korelasi yang amat kuat diantara keduanya. Jika salah satunya dipisahkan dari yang lainnya, maka akan terjadi kepincangan. Keduanya bersifat komplementer, jika Al-Qur’an adalah buku maka Tafsir adalah pensilnya.
Secara definitif, banyak sekali Ulama yang merumuskan ta’rif Al-Qur’an, diantaranya, menurut Dr. Subhi as-Shalih dalam bukunya Mabahits fi Ulumil Qur’an, secara leksikal, Al-Qur’an merupakan bentuk mashdar dari fi’il madli qa-ra-a yang bermakna tala (membaca) diambil orang-orang Arab dari bahasa Aramia dan digunakannya dalam percakapan sehari-hari. Kata Qur’an bersinonim dengan kata qira’ah yang berarti al-maqru’ ( bacaan ).[3] Secara terminologis, dengan mengutip pendapat Imam Ali As-Shabuni, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan perantara malaikat Jibril a.s. yang tertulis pada mashaaif.[4] Diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, bernilai ibadah jika dibaca. Diawali dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.[5]
Menurut Muhammad Arkoun, wacana yang digunakan dalam Al-Qur’an bertipe legislatif, naratif, hikmah, hikmah dan puitis. Kandungan dan tingkat signifikansi tipe tipe wacana ini mdah dibedakan, tetapi semuanya menegaskan tujuan wahyu, karena totalitas diskursus Al-Qur’an mengikuti struktur hubungan gramatikal mengenai orang. Al-Qur’an mengandung tiga unsur dasar Islam yaitu akidah, akhlak dan hukum syara’.[6]
Dalam tradisi studi teks Al-Qur’an, Tafsir merupakan salah satu kontributor yang paling besar peranannya. Dalam Lisanul ‘Arab, disebutkan bahwa kata Tafsir berasal dari kata al-fusru yang berarti al-bayan (menjelaskan) atau kasyful mughaththa (menyingkap sesuatu yang tersembunyi).[7] Sedangkan menurut terminologis mufassirun, kata tafsir selalu dibandingkan dengan takwil, di kalangan mereka telah terjadi perbedaan pengertian antara terma tafsir dan takwil, yang pertama biasanya diterjemahkan menjadi penjelasan (exegesis) atau komentar (commentary), dan yang kedua diterjemahkan menjadi interpretasi. Sebagian ada yang memandang bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun satu hal yang perlu menjadi catatan, bahwa tafsir ataupun takwil, keduanya merupakan usaha untuk memahami pesan Tuhan “sebatas kemampuan manusia”.
Sederhananya, tafsir menjelaskan “yang luar” dari Al-Qur’an, sedangkan takwil menjelaskan hal-hal yang tersembunyi dari Al-Qur’an. Artinya peran penafsir dalam penafsiran Al-Qur’an hanya dalam kerangka menangkap signal-signal. Sedangkan dalam takwil, interpreter lebih dari sekedar menerapkan dua bidang ilmu yang dipergunakan dalam tafsir di atas. Takwil dalam pengertiannya yang lebih baru takwil menggunakan perangkat keimuan lain dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan untuk menguak makna teks yang lebih dalam. Hanya saja dalam tradisi khazanah literatur Islam, istilah takwil dalam disiplin keilmuan Al-Qur’an ini jarang dipakai dan terlanjur cenderung dibebani makna-makna yang negatif. Itulah sebabnya masyarakat muslim lebih akrab menyebutnya “ kitab tafsir Al-Qur’an “ daripada “ kitab Takwil Al-Qur’an ”[8].
Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir Al-Qur’an berlangsung melalui berbagai tahap dan kurun waktu yang panjang sehingga mencapai bentuknya seperti sekarang ini. Pertumbuhan tafsir Al-Qur’an dimulai sejak dini yaitu sejak zaman Nabi Muhammad SAW sebagai figur sentral dalam menafsirkan Al-Qur’an. Jika para sahabat mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Seperti hadits riwayat Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas’ud, yang menyatakan : “ketika turunnya surat al-an’am ayat 82, yang menyatakan, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman”, banyak orang yang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW : “Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya ? “ Nabi menjawab : “Kezaliman di sini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang besar (Luqman : 13), jadi maksud kezaliman di sini ialah kemusyrikan.
Dari hadits tersebut, nampaklah betapa urgennya tafsir Al-Qur’an. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat terus berusaha seoptimal mungkin menjelaskan makna-makna Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing, diantara mufassir yang terkenal dari kalangan sahabat adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, dll. Kemudian tradisi ini terus dilanjutkan oleh murid-murid mereka yakni para tabi’in. Setelah mereka menyadari urgensi tafsir Al-Qur’an, maka berkembanglah sebuah disiplin ilmu baru yang secara spesifik membahas prosedur-prosedur dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu Ulumul Qur’an.
Definisi Ulumul Qur’an ialah: “ Pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an al-Majid yang abadi dari segi nuzulnya, pengumpulannya, urutannya, dan pembukuannya. Mengetahui asbabun nuzul, klasifikasi makiyyah dan madaniyyah, nasikh-mansukh, muhkam mutasyatabih, dan pembahasan lainnya yang berhubungan dengan Al-Qur’an[9]. Faidah kita mempelajari Ulumul Qur’an ialah supaya kita mempunyai senjata yang ampuh yang dapat kita pergunakan untuk membela kesucian Al-Qur’an dan supaya kita mudah mendalami tafsir Al-Qur’an.
Ruang Lingkup Ulumul Qur’an dan Relevansinya Dengan Tafsir
Dalam memahami Al-Qur’an sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, muncul berbagai ilmu, seperti ilmu amtsalil Qur’an, aqsamul Qur’an, nasikh-masnsukh. Karena itu. Ilmu-ilmu itu perlu diringkas dala, suatu ilmu baru yang terpadu dalam Ulumul Qur’an.[10]
Pembicaraan tentang ruang lingkup Ulumul Qur’an setidaknya dapat ditinjau dari segi idhafy dan istilahiynya. Dari segi idhafy, ruang lingkup Ulumul Qur’an adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, apapun itu. Maka segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an termasuk ke dalam wilayah operasi Ulumul Qur’an. Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa istilah Ulumul Qur’an dengan arti lengkap baru lahir setelah disusun kitab setebal 30 jilid yang bernama Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, oleh Al-Hufiy. Di dalamnya diterangkan tentang lafadz-lafadz yang gharib, i’rab, dan tafsir. Ditinjau dari segi Isthilahy, yang kita golongkan ke dalam ruang lingkup Ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu Arabiyah yang terkait dengan keperluan untuk membahas Al-Qur’an[11].
Pada dasarnya maudlu’ Ulumul Qur’an ialah Al-Qur’an sendiri dari segi penjelasan dan maknanya, hanya saja Ulumul Qur’an jika ditinjau dengan bi’tibaril ‘Ilmi ( Perspektif Ilmu ) dan bi’tibaaril ‘Amali ( Perspektif Aplikasi ) jelas akan terjadi perbedaan wilayah operasi. Ulumul Qur’an dengan perspektif yang kedua mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan yang pertama. Proses dialektika Ulumul Qur’an bi’tibaaril ‘Amali lebih luas dan mendalam. Jika Ulumul Qur’an perspektif pertama lebih terfokus pada teks (dalam pengertiannya yang tradisional ), maka yang kedua lebih jauh dan mendalam dengan mencoba masuk ke wilayah kontekstualisasi, yang tentunya dengan proses interaksi teks dan dialektika relitas yang lebih mendalam.
Ulumul Qur’an adalah prosedur-prosedur dan aturan main dalam meramu Al-Qur’an. Dalam hal ini Ulumul Qur’an merupakan sesuatu yang wajib dimiliki setiap mufassir Qur’an agar tidak sembarangan dalam menfsirkan Al-Qur’an. Karena kitab-kitab tasir yang ada sekarang ialah suatu produksi yang dihasilkan dari interaksi pengarang (author) dengan teks Al-qur’an dengan berpedoman pada aturan main tafsir Qur’an yaitu Ulumul Qur’an sendiri. Maka Ulumul Qur’an merupakan hal yang paling urgen dalam tradisi tafsir Qur’an.
Ulumul Qur’an sendiri dirancang para Ulama untuk mencegah penafsiran ilegal yang ngawur dan tidak sesuai ajaran Rasulullah. Sebagaimana dipaparkan oleh Dr. Muhammad Husain Ad-Dzahbi, bahwa Sepeninggal Rasulullah s.a.w, munculah segolongan orang yang mencoba menceraiberaikan umat Islam, membuat bid’ah-bid’ah dalam agama, yang hanya bisa diatasi dengan “ar-ruju’ ila kitabillah wa as-sunnati rasulihi ” . Mereka mengabaikan Hidayah Al-Qur’an dan menafsirkan Al-Qur’an sembarangan tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah. Di samping itu muncul pula golongan lain yang di lisan mereka mengaku orang islam tetapi dengan hati yang memuja kekufuran, yakni para zanadiq. Kemudian mereka menyebarkan tafsir-tafsir palsu yang di dalamnya terdapat doktrin-doktrin kekufuran yang dengan mudah dapat mendoktrin orang-orang awam yang dangkal pemahamannya. Melihat fenomena ini, para Ulama mulai menyusun langkah kongkrit untuk melenyapkan syubhat-syubhat ini. Mereka berjuang seoptimal mungkin dengan mengerahkan seluruh kemampuannya demi menjaga kemurnian kitab suci.Akhirnya, melalui para ulama, Allah menyelamatkan kaum musimin dari malapetaka itu. Allah menjaga kaum muslimin melalui para ulama dari kemudaratan.[12] Hal inilah kiranya yang melatarbelakangi penyusunan Ulumul Qur’an. Maka jelaslah bahwa relevansi Keduanya sangatlah erat.
Untuk merealisasikan fungsi Al-Qur’an, ilmu tafsir merupakan sarana pendukung pemahamannya yang harus dikembangkan. Ia adalah pisau analisis yang dibutuhkan untuk membedah kendungan Al-Qur’an dari masa ke masa.[13]
Pertumbuhan Dan Perkembangan Ulmul Qur’an
1. Masa Sebelum Kodifikasi
Pertumbuhan Ulumul Qur’an sendiri dimulai sejak masa Rasulullah. Ketika itu Rasulullah berperan sebagai figur sentral dalam rujukan setiap permasalahan. Hanya saja Ulumul Qur’an pada saat itu belum ditampilkan secara definitif. Para sahabat Nabi adalah orang orang arab murni yang mampu memahami kesusastraan bermutu tinggi. Mereka mampu memahami ayat-ayat Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Al-Qur’an adalah kitab yang mengandung mukjizat dari berbagai aspek termasuk aspek sastranya. Hal ini dibuktikan oleh orang-orang arab yang ditantang untuk menandingi Al-Qur’an, dimulai dari tantangan untuk membuat serupa Al-Qur’an, kemudian sepuluh surat seperti surat Al-Qur’an, dan yang terakhir untuk membuat satu surat seperti A-Qur’an, dan tak ada satu pun dari mereka yang mampu melakukannya, mereka semua menyerah kalah.
Jika para sahabat menemukan kesukaran dalam memahami Al-Qur’an, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah. Maka pada zaman Rasulullah dan Sahabat, tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis buku tentang ilmu Al-Qur’an. Terlebih mayoritas sahabat Nabi terdiri dari orang-orang yang buta huruf, alat-alat tulis pun tak mereka peroleh dengan mudah. Selain itu Rasulullah sendiri melarang para sahabat menulis sesuatu yang bukan Al-Qur’an. Pada masa Rasulullah sampai kepada masa kekhalifahan Abu Bakar ra dan ‘Umar ra, ilmu Al-Qur’an masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan dari mulut ke mulut (talqin dan musyafahah). [14]
2. Masa Persiapan Kodifikasi
Pada masa Utsman ra di mana orang Arab khususnya orang yang turut serta dalam ekspansi wilayah, mereka mulai berasimilasi dengan orang non-Arab, beliau memerintahkan supaya kaum muslimin berpegang pada mushaf Al-Imam dan membuat reproduksi mushaf untuk dikirim ke beberapa provinsi, inilah yang akan menjadi cikal bakal Ilmu Rasmil Qur’an.[15] Selain itu Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib kw. juga terkenal dengan perintahnya kepada Abu Aswad Ad-Dualy untuk meletakan kaidah pramasastra arab guna menjaga corak keasliannya. Dengan perintahnya itu, berarti pula Ali bin Abi Thalib ra adalah orang yang meletakkan dasar ilmu I’rabul Quran. Dapatlah dikatakan, para perintis ilmu tersebut ialah :
1. Empat orang khalifah Rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy-ari dan Abdullah bin Zubair. Mereka dari kalangan sahabat nabi.
2. Mujahid, ‘Atha’ bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan Basri, Said bin Jubair, dan Zaid bin Aslam dari kaum Tabi’in di Madinah
3. Malik bin Anas dari kaum Tabi’it-tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin). Ia memperoleh ilmunya dari Zaid bin Aslam.
Mereka itulah orang-orang yang meletakkan apa yang sekarang kita kenal dengan ilmu tafsir, ilmu asbabun-nuzul, ilmu tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah dan yang turun di Madinah, ilmu tentang nasikh dan mansukh dan ilmu gharibul quran. (soal-soal yang memerlukan penta’wilan dan penggalian maknanya).[16]
3. Masa Kodifikasi Al-Qur’an
Pada masa kodifikasi al-qur’an, ilmu tafsir berada di atas segala ilmu yang lain, karena dia dipandang sebagai induk ilmu al-qur’an. Di antara orang-orang yang sibuk menekuni dan menulis buku mengenai bidang ilmu tersebut adalah:
Dari kalangan ulama abad ke-II H: Syu’bah bin al-Hajjaj[17], Sufyan bin Uyaimah[18], dan Waki’ bin Jarrah[19]. Kajian mereka memuat pendapat pendapat sahabat dan tabi’in. Kemudian muncul pada zaman berikutnya Ibnu Jarir at-Tabary menyusun kitab tafsir at-Thabary merupakan terbaik dan bermutu karena berisi banyak riwayat hadis shahih ditulis dengan rumusan yang baik. Selain itu juga berisi I’rab, pengkajian dan pendapat-pendapat yang berharga.[20]
Adapun ilmu-ilmu al-Quran yang lain, maka termasuk tokoh yang mempeloporinya adalah:
1. Pada abad ke-3 H: Ali bin al-Madaniy[21] (wafat 234 H), guru imam Bukhari yang menyusun kitab asbabun-nuzul, Abu ‘Ubaid al-Qasim yang menyusun nasikh dan mansukh.
2. Pada abad ke-4 H: Abu Bakar bin Qasim al-Anbari (wafat 328 H) menulis buku yang berjudul ‘Ajaibul ‘Ulumul Qur’an. Abu Hasan al-‘Asy’ary menulis kitab berjudul al-Mukhtazan fi ‘Ulumuil Qur’an. Abu Bakar as-Sijistani menulis tentang keanehan-keanehan al-Qur’an[22]
3. Pada abad ke-5 H: ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-Hufi[23] menulis kitab yang berjudul al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur’an dan I’rabul Qur’an. Abu ‘Amr Ad-Dani (wafat 444 H) menulis kitab berjudul at-Taisir Fi Qira’atis Sab’i Dan Al-Muhkam Fi Nuqath.
4. Dalam abad ke-6 H: Abu Qasim ‘Abdurrahman yang lebih dikenal denagan as-Suhaili[24] menulis kitab yang tentang soal yang samar-samar di dalam al-Qur’an.
5. Pada abad ke-7 H: Ibnu ‘Abdus Salam[25] menulis kitab tentang majazul qur’an. ‘Ilmuddin as-Sakhawi[26] menulis kitab tentang qira’at.[27]
Sebahagian penelitian sejarah al-Qur’an, istilah ‘Ulumul Qur’an - dalam arti keseluruhan- baru muncul sebagian kenyataan yang jelas setelah munculnya kitab berjudul al-Burhan Fi Ulimil-Qur’an tulisan ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan al-Hufi (wafat 430 H), terdiri dari 30 jilid.
Kemudian tibalah abad VI H. Pada masa itu, Ibnul-Jauzy (wafat 597 H) menyusun dua kitab yang berjudul Funun Al-Fanan Fi Ulum Al-Qur’an dan Al-Mujtaba Fi Ulum Tata’allaqu Bi Al-Qur’an. Keduanya masih berbentuk manuskrip dan terdapat di Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, Kairo.
Pada abad VII H, ‘Ilmuddin as-Sakhawi (wafat 794 H) menulis kitab berjudul Jamalul-Qurra Wa Kamalul-Iqra’,[28]dan Abu Syamah (wafat 665 H) menulis kitsb al-Mursyidul-Wajizfi Ma Yata’allaqu bil-Qur’anil ‘Aziz.
Pada abad VIII H Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794 H) menulis al-Burhan Fi ‘Ulumil Qur’an.
Pada abad IX H lebih banyak lagi yang menulis buku-buku tentang ulumul qur’an. Jamaluddin al-Bulqaini[29] menulis Mawaqi’ul ‘Ulum Min Mawaaqi’un-Nujum. Muhammad bin Sulaiman al-Kafiyaji (wafat 879 H), kemudian as-Suyuti (wafat 911 H) menulis at-Tahbir Fi ‘Ulumit Tafsir dan al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an.[30]
4. Ulumul Qur’an pada Abad Kontemporer
Pada abad kontemporer ini banyak ulama-ulama yang terus melakukan penyusunan kitab-kitab ulumul qur’an diantaranya:
a. Al- Marhum Syekh Thahir al-Jazairiy menyusun sebuah karya At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an yang terdiri dari kurang lebih 300 lembar yang disusun pada tahun 1335 H.
b. Al-allamah Al- marhum Syekh Mahmud Abu Daqiqah menusun sebuah karya yang berisi peringatan berharga bagi mahasiswa Jurusan Da’wah Wa Irsyad Fakultas Ushuluddin.
c. Al-allamah Syekh Muhammad Ali Salamah menyusun sebuah kitab untuk mahasiswa Jurusan Al-Da’wah Wal Irsyad Fakultas Ushuluddin dengan judul Manhaj Al-Furqan Fi ‘Ulumil Qur’an.
d. Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi membuat Mahasinut Ta’wil.
e. Syekh Muhammad Abdul Qasim az-Zarqani menulis Manahilul Irfan Fi ‘Ulumil Qur’an.
f. Syekh Thanthawi dengan bukunya yang terkenal al-Jawahir Fi Tafsiril Qur’anil Karim.
g. Mustafa Shadiq ar-Rafi’ menulis I’jazul Qur’an.
h. Prof. Malik bin Nabi menulis ad-Dahiratul Qur’aniyyah membahas masalah wahyu.
i. Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha menulis Tafsirul-Qur’anil-Hakim yang berisi pembahasan mengenai berbagai ilmu tentang al-qur’an.
j. Doctor Muhammad Abdullah ad-Darraz menulis kitab berjudul An-Naba’ul ‘Adzim, berisi pandangan baru mengenai al-Qur’an.[31]
Urgensi Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an berfungsi sebagai kunci pembuka terhadap penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya. Sedangkan kedudukannya ialah sebagai ilmu pokok yang merupakan alat yang mutlak diperlukan bagi setiap mufassir untuk menafsirkan Al-Qur’an. Dengan demikian, Ulumul Qur’an memang sangat urgen untuk dipelajari, disebabkan keduanya memiliki relevansi yang sangat erat.
Urgensi mempelajari Ulumul Qur’an antara lain, pertama, untuk dapat memahami kalam Allah, sejalan dengan keterangan dan penjelasan dari Rasulullah SAW. Serta keterangan sahabat, tabi’in dari Nabi tentang kandungan Al-Qur’an.
Kedua, untuk dapat mengetahui cara dan gaya yang dipergunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir ternama serta kelebihan-kelebihannya.
Ketiga, untuk mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Mempelajari ulumul Qur’an berguna untuk membantu memahami makna-makna yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an ; untuk menggali ajaran-ajaran yang masih terpendam ; menangkap isyarat dan arti yang tersembunyi dan menafsirkan Al-Qur’an serta mengambil legislasi Al-Qur’an.[32]
Analisa Singkat
Sebagai teks kedua, dalam pengertian teks yang dihasilkan dari teks pertama (Al-Qur’an), literatur tafsir yang menjadi objek kajian ini diposisikan sebagai produk budaya yang tidak lepas dari proses interaksi dan dialektika penulisnya dengan dunia sejarah lokalitasnya. Hal ini merupakan salah satu faktor pendorong akan pergeseran paradigma tafsir dari masa ke masa. Sosio kultural umat Islam terus berkembang secara revolusioner dalam kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi di masa Nabi. Oleh karenanya, kontekstualisasi Al-Qur’an sangat diperlukan.
Menurut Nur Cholis Madjid, Al-Qur’an menunjukan bahwa risalah Islam-disebabkan universalitasnya-adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apapun sebagaimana pada saat turunnya, hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karena itu Al-Qur’an harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, kapanpun dan dimanapun.
Persoalan sekarang lebih ditekankan bagaimana cara menyajikan Ulumul Qur’an dengan lebih proporsional dan kondisional. Dalam tradisi pemikiran Islam, khususnya di kalangan mufassir klasik telah banyak Ulama yang melakukan interaksi dengan teks Al-Qur’an secara komprehensif. Dalam konteks analisis teks persoalannya sekarang lebih ditekankan kepada dialektika Al-Qur’an dengan realitas. Maka dalam konteks sekarang, kiranya Ulumul Qur’an harus ditempatkan dengan perspektif aplikasi (bi’tibar al ‘amal) dengan ruang lingkup yang lebih luas dan mendalam daripada Ulumul Qur’an bi’tibaril ‘ilmi. Langkah ini kiranya telah memasuki ranah Hermeneutika yang keabsahannya masih kontroversial ( mukhtalaf fihi ), padahal usaha semacam ini telah dipelopori oleh Ulama-Ulama klasik
Sebuah adagium terkenal di kalangan pesantren menyatakan “al-muhafadzhatu ‘ala al-qadiim as-shaalih, wal akhdzu bi al-jadidil al-ashlahi “ menjaga tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik. Beranjak dari pernyataan tersebut, kiranya kita dapat menyajikan Ulumul Qur’an dengan wajahnya yang baru. Selama 14 abad ilmu ini tetap eksis di dalam wacana keilmuan Islam, yang menjadi tugas kita sekarang ialah mempercantik kembali ilmu ini agar tetap bisa mempertahankan eksistensinya di zaman modern ini.
Penafsiran klasik bukanlah produk final dan juga tidak menjadi out of date dikarenakan perubahan zaman yang revolusioner, kontekstualisasi tafsir telah dilakukan sebelumnya oleh para mufassir klasik , yang mengkonstruksi tafsirnya berdasarkan setting waktu dan tempat di mana mereka berada. Maka dalam rangka “ al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlahi “, paradigma Ulumul Qur’an harus selalu di up date. Persoalan utamanya terletak pada bangunan metode dan pendekatan dalam menafsirkan teks Al-Qur’an. Mengingat bahwa tafsir Al-Qur’an bersifat temporal dan relatif, tidak universal dan absolut.
KESIMPULAN
Khazanah Ulumul Qur’an sebagai bentuk metodologi untuk menggarap wilayah penafsiran dan pemaknaan Al-Qur’an harus diakui memiliki tingkat sostifikasi yang luar biasa.Sifat luar biasa dari khazanah Ulumul Qur’an ini terbukti dari berlimpahnya karya tafsir dalam berbagai pola, mulai dari tahlili, sampai maudhu’i dan mulai dari sekedar menafsirkan dengan mencari sinonim kata dan ayat hingga melakukan takwil secara intuitif dan penafsiran ilmiah.
Ulumul Qur’an merupakan disiplin ilmu yang paling mulia karena dalam kajiannya berhadapan langsung dengan kitab yang mulia yakni Al-Qur’an. Dari sinilah muncul disiplin ilmu turunan yang lain, dari sinilah lahir sebuah perdaban yang paling revolusioner sepanjang masa, yang semuanya bermuara pada satu sumber yakni Al-Qur’an, dan Ulumul Qur’an bertindak sebagai kunci untuk membuka keajaiban-keajaibannya.
Kita semua percaya bahwa kitab ini merupaka kitab yang mengandung mukjizat yang akan senantiasa terjaga hingga akhir masa. Kemukjizatannya yang tiada batas menembus ruang dan waktu, telah menjadikan kitab ini sebagai kitab yang up to date sepanjang masa yang tidak akan pernah kadaluarsa. Ulumul Qur’an ialah suatu alat untuk terus menyingkap kemukjizatan dari kitab yang maha paripurna ini.
DAFTAR PUSTAKA
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 2003.
Ash-shiddieqy, TM Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Nur Rakhim, dkk . Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta : Teraju, 2003.
Adz-Dzahaby, Muhammad Husain. At- Tafsir wal Mufassirun, Kairo : Darul Hadits, 2005.
Ash-Shobuny, Muhammad Ali. At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Jakarta : Dar Ihya Kutub al ‘Arabiyyah, 1985.
[1] Prof. Dr. H Amin Abdullah, Arah Baru Metode Penelitian Tafsir di Indonesia, dalam pengantar Khazanah Tafsir Indonesia, hlm.17
[2] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta, Teraju, 2002), hlm.28
[3] Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, terjemah Nur Rakhim, dkk. (Jakarta, Pustaka Firdaus,1993), hlm.6
[4] Mashaaif artinya buku atau lembaran-lembaran, dalam pengertian Al-Qur’an yang telah dikodifikasikan.
[5] Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, (Jakarta, Dar Ihya Kutub al-Arabiyyah, 1985), hlm.8
[6] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa, 2003), hlm.3
[7] Muhammad Husain ad-Dzahby, at-Tafsir wal Mufassirun, (Kairo, Dar el-Hadits, 2005), hlm.17
[8] Khazanah Tafsir Indonesia, hlm.18
[9] At-Tibyan hlm.8
[10] Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, hlm. 7
[11] TM Hasbi as-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2010 ) hlm.1
[12] Muhammad Husain ad-Dzahby, at-Tafsir wal Mufassirun, (Kairo, Dar el-Hadits, 2005), hlm 11-12.
[13] Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, hlm. 8
[14] TM Hasbi as-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm 4.
[15] Ilmu yang mempelajari tentang penulisan Al-Qur’an
[16] Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 157
[17] Imam ahli hadis terkemuka di Basrah. Nama lengkapnya: Syu’bah bin Al Hajjaj bin al-Ward al- ‘Atik al- Azzdi Al-Wasiti. Ia mengalami hidupnya Anas bin Malik ra. dan mendengarkan pemikiran 400 orang dari kaum tabi’in. di kalangan imam ilmu Hadis dia dipandang sebagai hujjah. Wafat tahun 160 H.
[18] Seorang ahli tafsir dan hadis di Hijaz. Nama lengkapnya: Sufyan bin ‘Uyainah al-Hilay al-Kufi. Wafat tahun 198 H.
[19] Nama panggilannya: Abu Sufyan ar-Ruwasi al-Kufi, dari Qeis ‘Ailan. Dia mendengar pendapat-pendapat Ibn Jarij, al-A’masyi, al-Auza’I, dan Sufyan ats-Tsaury. Lahir 128 H dan wafat tahun 197 H. Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Mu’in mengatakan:”Orang yang terpecaya di Iraq adalah Waki”.
[20]Dr. Subhi ash-Shalih, membahas ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 157-158
[21] Ia adalah ‘Ali bin Abdullah bin Ja’far, seorang dari kabilah Sa’ad berdasarkan wala (perwalian)
[22] Muhammad bin ‘Aziz bin al-Azizi as-Sijistani. Dalam al-Itqan ,Sayuti mengatakan:” Ia menulis kitabnya selama 15 tahun bersama gurunya, Abu Bakar al-Anbary”.
[23] Penulis kitab al-Burhan fi ‘Ulumil-Qur’an dan kitab I’rabul Qur’an. Wafat 430 H.
[24] Ia adalah ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ahmad as-Suhail, nama panggilannya: Abul Qasim. Wafat di Marakesh pada tahun 581 H. Kitabnya berjudul Mubhamatul-Qur’an.
[25] Ia adalah Syaikul Islam Imam Abu Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdus Salam. Wafat 660 H.
[26]Ia adalah ‘Ali Muhammad bin ‘Abdus Samad , wafat 643 H. Kitabnya mengenai qira’at teratur baik dan terkenal dengan nama As-Sakhawiyah. Judul yang sebenarnya adalah Hidayatul Murtab Fi Mutasyabih.
[27] DR. Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, h.158-160
[28] Kitab ini mencakup berbagai bidang ilmu Qira’at, seperti: tajwid,waqaf dan ibtida’ dan nasikh wal mansukh.
[29] Seorang ulama yang cerdas ahli di bidang ushul fiqh, ushuluddin, bahasa arab, tafsir, ma’ani dan bayan. Ia berkali-kali diangkat sebagai Ketua Mahkamah Islam di Mesir hingga wafatnya pada tahun 824 H. (Syadzaratudz-Dzahab,VII hal. 166)
[30] DR.Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, h. 163
[31] Dr.subhi as-shalih, membahas ilmu-...., h.163
[32] Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, hlm. 10
0 comments
Posting Komentar