Islam sebagai obyek kajian senantiasa menarik seiring dengan berkembangnya pendekatan, disiplin ilmu, dan metodologi. Oleh karena itu, pengkajian islam yang dilakukan oleh para ilmuwan baik dari kalangan sarjana muslim sendiri (insider) maupun sarjana barat (outsider) tidak akan berhenti. Ketertarikan para peneliti tampaknya lebih merupakan kedinamisan islam dan masyarakatnya, dan karena banyaknya tantangan yang dihadapi umat muslim dalam mengaktualisasikan ajaran-ajarannya. Kajian dari kalangan insider lebih dalam lagi karena ingin memberikan respon islam atas tantangan kontemporer.[1]
Di sini kami hanya akan menyoal Islamic Studies perspektif Insider, mulai masa awal pertumbuhannya sampai perkembangannya hingga saat ini. Fase pertama perkembangan studi islam di dunia muslim dimulai ketika akhir periode madinah sampai dengan abad 4 hijriyah. Inilah wajah pertama pendidikan islam, ketika itu sekolah masih bertempat di masjid-masjid dan rumah-rumah, dengan ciri hafalan, namun sudah dikenalkan logika, matematika, ilmu alam, kedokteran, kimia, musik, sejarah, dan geografi. Kemudian abad ke-5 hijriyah pada masa pemerintahan ‘Abbasiyyah, sekolah-sekolah didirikan di kota-kota dan mulai menempati gedung-gedung besar, bukan lagi di masjid dan rumah-rumah, di samping itu kurikulum pembelajaran mulai bergeser dari mata kuliah yang bersifat spiritual ke mata kuliah yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial.
Mulai pada masa inilah umat muslim mencapai zaman keemasannya, tahun 750-1258 disebut sebagai zaman kejayaan muslim. Selama 350 tahun pertama (750-1100 M) kejayaan tersebut didominasi secara mutlak oleh sarjana-sarjana muslim ; Jabir, Khawarizmi, al-Razi, Ibnu Sina, al-Biruni, Umar Khayyam dll. Setelah itu baru muncul nama-nama non-muslim, seperti Gerando dan Roger Bacon.[2] Namun dengan berdirinya sistem madrasah tersebut justru menjadi titik balik kejayaan sebab madarasah dibiayai dan diprakarsai negara kemudian madarasah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan doktrin-doktrin, terutama oleh kerajaan fatimah di Kairo. Sebelumnya di sekolah ini di ajarkan kimia, kedokteran, filsafat kemudian diganti dengan hanya mempelajari tafsir, kalam, fiqh dan bahasa ( matematikapun hilang dari kurikulum Al-Azhar tahun 1748 ). Pengaruh Al-Ghazali (1085-1111) disebut sebagai awal terjadinya dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum.
Setelah umat muslim bertengger di puncak keemasan, tibalah saat kemunduran dan saat-saat stagnasi umat muslim. Penyebab utama kemunduran muslim khususnya di bidang ilmu pengetahuan adalah terpecahnya keutuhan umat Islam mulai terkena disintegrasi. Kemudian dalam kondisi demikian datanglah musuh dengan membawa bendera perang salib. Akhirnya Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan oleh cucu Jengis Khan yaitu Hulaghu Khan tahun 1258 M, dengan demikian berakhirlah sejarah Daulah Bani ‘Abbasiyah sekaligus terlepasnya mahkota keemasan umat muslim. Khalifah, sebagai simbol kekuasaan politikpun hilang. Mulai dari sini sampai masa pembaharuan (mulai abad 18) umat muslim memasuki zaman stagnasi dan keterbelakangan, meskipun ketika fase tiga kerajaan besar (Usmani, Safawi, dan Mughal) umat Islam sempat terlihat kembali beberapa kemajuan-kemajuan dalam bidang literatur dan arsitektur, namun kemajuan ini masih sederhana. Keadaan menjadi berbalik, umat muslim yang dulu berada dalam kejayaan, kini mereka harus menggigit jari sambil menyaksikan kebangkitan dunia barat yang dulu tertidur lelap. Akhirnya pada tahun 1798 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam terpenting.
Setelah sekian lama umat muslim terkungkung dengan stagnasinya, banyak para ilmuwan muslim yang menyadari hal itu dan berinisiatif untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam dengan mengusung gerakan pembahareuan (tajdid). Mulai abad 18 dan seterusnya, terlihatlah geliat kebangkitan umat muslim setelah kemerosotan beberapa abad sebelumnya. Gerakan pembaruan dimulai terutama ketika pertengahan abad ke-19 yakni masa modern. Jatuhnya Mesir ke tangan barat menginsafkan umat muslim akan kelemahannya dan menyadarkan umat muslim bahwa di barat telah muncul peradaban baru yang lebih maju. Secara umum – sebagaimana dinyatakan Fazlur Rahman – sifat gerakan pembaruan ini terbagi menjadi 4 kelompok gerakan :
1. Revivalisme Pramodernis, gerakan ini muncul pada abad ke-18 dan ke-19 di tanah Arab (oleh kaum Wahhabiyyah), India (oleh Syah Wali Allah), dan Afrika (Sanusiyyah dan Fulaniyyah). Kelompok ini menyerukan agar kembali kepada Islam sejati, membuang bid’ah, takhayyul, serta khurafat yang sering ditanam oleh sufisme, dan untuk mencampakkan sifat taklid buta kepada para Imam Madzhab. Namun gerakan ini sangat anti-intelektualisme dan anti-barat.
2. Modernisme kasik, muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), Sayyid Jamaluddin Al-Afghani (w. 1897) dan Muhammad Abduh (w. 1905). Kelompok ini berusaha memperluas cakupan makna ijtihad dengan mengacu pada berbagai masalah yang dianggap vital di masyarakat. Gerakan inilah yang mulai membukakan pintu gerbang untuk menerima gagasan aktual dari barat. Sejak saat itulah kelompok outsider mendapatkan peranannya dalam diskursus Islamic Studies.
3. Neorevivalisme / Revivalisme Pascamodernis, muncul pada pertengahan abad ke-20 di Arabia dan anak benua Indo-Pakistan. Kelompok ini tampil dalam gerakan sosio-politik yang terorganisir. Mereka menerapkan pendidikan Islam yang telah dimodernisasi. Namun berlawanan dengan gerakan modernis, gerakan ini justru sangat menutup diri dengan kebudayaan barat. Mereka menuding kelompok modernis telah dipengaruhi pemikiran barat. Tokohnya seperti Abu A’la Al-Maududi.
4. Neomodernisme, sebagai gerakan yang mengatasi ketagangan berfikir antara kelompok ortodoks dengan kelompok modernis yang diusung oleh Fazlur Rahman yang mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Kelompok ini tidak lepas dari pengaruh neo-revivalisme, kelompok ini juga tidak menjaga jarak dengan barat, tetapi mengembangkan sikap kritis terhadapnya secara objektif.[3] Mulai dari sini pengkajian Islamic Studies perspektif Insider mulai menunjukan kecendrungan yang cukup kritis-objektif.
B. Dari Modernisme Menuju Neo-modernisme
Gerakan pembaharuan yang diusung oleh para pembaharu muslim kiranya memberikan banyak kontribusi untuk kebangkitan umat islam khususnya di abad ke-21 ini. Dalam perspektif historis, gerakan yang pertama kali membuka mata umat muslim akan keterpurukannya ialah gerakan kaum modernisme klasik. Gerakan inilah yang mulai membukakan pintu gerbang untuk bisa saling menyapa dengan barat yang sedang berada pada puncak kejayaannya. Namun gerakan ini masih terbentur pada dua kelemahan mendasar. Pertama kelompok ini belum tuntas mengelaborasi metode yang dikembangkannya. Kedua masalah-masalah yang dikaji mereka ialah masalah yang pada dan bagi dunia barat, sehingga hal ini memberikan kesan yang kuat bahwa kaum modernis bersifat westernized (kebarat-baratan). Sisi inilah yang menjadi suatu faktor yang memunculkan gerakan yang lain yaitu neo-revivalisme. Meskipun demikian kerja keras kelompok ini membuahkan prestasi yang tidak kecil. Berkat mereka yang telah membuka diri dengan dunia barat, umat islam menjadi lebih apresiatif terhadap intelektualisme. Adapun gerakan neo-revivalisme yang merupakan anti tesis dari gerakan modernisme dinilai kurang bisa menjadi solusi yang tuntas terhadap masalah-masalah aktual yang dihadapi umat. Di samping sikap mereka yang anti-barat, mereka juga tidak mampu mengembangkan metodologi apapun, oleh karenanya mereka menemukan kesulitan dalam menentukan tujuan mereka.
Kelemahan-kelemahan itu mengundang lahirnya kelompok pembaruan lain yang disebut neo-modernisme. Melalui sikap kritis-objektif, neo-modernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh. Sejalan dengan itu, warisan pemikiran Islam (turats) harus tetep diapresiasi dan diletakan secara proporsional. Bahkan menurut Azyumardi Azra, neomodernisme sebagai gerakan Islam lebih menekankan signifikansi warisan pemikiran Islam ketimbang modernisme itu sendiri. Bila didekati secara mendalam, gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang kuat untuk melestarikan turats dalam satu bingkai yang analisis yang kritis dan sistematis.[4]
1. Selayang Pandang Fazlur Rahman
Fazlur Rahman Malik ( yang selanjutnya disebut Rahman ) dilahirkan pada tanggal 21 september 1919 di distrik Hazara, Punjab, daerah Barat Laut Pakistan, dan dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi Mazhab Hanafi yang kuat, sebuah Mazhab Sunni yang lebih bercorak rasional dari pada mazhab Sunni lainnya. Sekalipun ia pengikut Sunni, namun pemikirannya pada masa belakangan sangat kritis terhadap Sunni juga terhadap Syi'i. Fazlur Rahman mempelajari ilmu-ilmu Islam secara formal di Madrasah. Selain itu, ia juga menerima pelajaran dari ayahnya, seorang ulama dari Deoband. Ia telah menghafal Al-Qur’an di luar kepala dalam usia 10 tahun, dan pada umur 14 tahun ia mulai belajar filsafat, bahasa, Arab, teologi, tafsir, dan hadits.
Setelah menamatkan pendidikan menengah di madrasah, Ia melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab. Pada tahun 1940 ia menyelesaikan program Bachelor of Art (BA), dua tahun kemudian yakni tahun 1942, ia berhasil meraih gelar MA, dalam sastra Arab. Sekalipun ia terdidik dalam lingkungan pendidikan Islam tradisional, sikap kritis mengantarkan jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan tradisional, terlihat dari keputusannya studi ke Barat untuk memperoleh gelar Philosphy Doctor (Ph.D) di Oxford University, Inggris. Pada tahun 1946, satu tahun sebelum Pakistan mendeka ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya merupakan awal sikap kontroversi Rahman. Keputusannya untuk melanjutkan studi Islamnya ke Barat, Oxford, bukan tanpa alasan yang kuat. Kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan iklim intelektual yang solid.
Pada tahun 1949, Rahman menyelesaikan studi doktornya di Oxford University dengan mengajukan disertasi tentang Ibnu Sina. Setelah menjadi doktor ia memilih untuk tinggal di barat selama bberapa tahun dengan mengajar di Universitas Durham untuk beberapa waktu, kemudian ia pindah ke Institute of Islamic Studies di Mc Gill University, Montreal, Kanada sebagai Associate Professor of Phylosophy sampai tahun 1960. Kemudian pada tahun itu ia kembali ke tanah kelahirannya atas permintaan presiden Ayyub Khan, untuk berpartisipasi dalam membangun negara Pakistan. Pada Tahun 1962 ia memimpin Islamic Research Institute dan pada tahun 1964 ia menjadi anggota The Advisory Council of Islamic Ideology (Dewan penasehat idelogi Islam). Di sinilah ia mulai mencurahkan ide-de pembaruannya. Tetapi pembaruan yang ditaearkannya mendapat tantangan keras dari agama sayap kanan. Penentangan terhadap Fazlur Rahman mencapai puncaknya pada bulan September 1967 ketika dia menyatakan bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kalam Allah. Namun, dalam pengertian biasa, Al-Qur’an juga seluruhnya perkataan Muhammad, akibat pernyataannya itu ia dituduh sebagai Munkirul Qur’an.
Pada tahun 1970 ia memutuskan hijrah ke Amerika dan langsung dinobatkan menjadi guru besar pemikiran Islam di Cihcago University. Universitas tersebut merupakan tempat yang banyak menelurkan banyak karyanya. Tempat ini pula yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya pada 26 juli 1988. Keputusannya hijrah ke Chicago didasarkan pada pengalaman pengabdiannya di Pakistan, negeri dan tanah airnya sendiri. Bahwa Pakistan dan negeri-negeri Muslim lainnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab. Ia bukanlah seorang tokoh parsial dalam aspek pemikiran tertentu, misalnya teologi, filsafat, hukum Islam dan sebagainya, tetapi ia hampir-hampir mengkaji dan menguasai segala aspek pemikiran Islam dalam posisi yang hampir merata. Keseluruhan pemikiran Rahman merupakan wujud dan kesadarannya akan krisis yang dihadapi Islam dewasa ini, di mana krisis tersebut sebagian berakar dalam sejarah Islam sendiri, dan sebagian lagi adalah tantangan modernitas. Dengan tengah modernitas dewasa ini, ia mengabdikan potensi intelektualnya untuk mengatasi krisis tersebut. Ia adalah muslim pertama yang menerima medali Giorgio Levi della Vida, yang melambangkan puncak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA. Di antara karya-karyanya yang pernah dipublikasikan adalah: (1) Prophecy in Islam, London, 1958 : (2) Ibnu Sina, De Amina, (teks berbahasa Arab), Oxford, 1959 : (3) Islam; (4) Major Themes of the Qur'an, (5) Islamic Methodology in History, Islamabad, 1969. (6) Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago, 1982, dan beberapa tulisan lainnya.
2. Neo-Modernisme
Situasi sosial masyarakat ketika Rahman dilahirkan diwarnai dengan terjadinya perdebatan publik di antara tiga kelompok yang bersetru; modernis; teradisionalis, dan fundamentalis, ide dan gagasan yang diperdepatkan oleh tiga kelompok yang bersetru ialah seputar masalah bagaimana membentuk negara Pakistan pasca merdeka dari India.
Kelompok modernis merumuskan konsep kenegaraan berdasarkan ideologi modern. Kelompok tradisionalis menawarkan konsep kenegaraan yang didasarkan atas teori-teori politik tradisional islam yaitu khilafah dan imamah. Sedangkan kaum fundamentalis mengusulkan konsep kenegaraan “Kerajaan Tuhan”. Perdebatan ini terus berlanjut hingga melahirkan konstitusi dengan amandemennya. Di tengah fenomena sosial inilah kelak Rahman tampil mengemukakan gagasan neo-modernismenya.[5] Melalui sikap yang menghargai secara positif sekaligus kritis terhadap warisan pemikiran Islam, gerakan pembaruan neo-modernisme berupaya menghilangkan ketegangan antara aliran ortodoksi / tradisionalis dan modernis. Ia sendiri pernah mengaku sebagai juru bicara neo-modernisme ini. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa gerakan yang dirintis Fazlur Rahman ini ialah sebagai respon atas kekurangan gerakan-gerakan sebelumnya.
3. Membangun Epistemologi Qur’ani Versi Fazlur Rahman
A. Metode dan Pendekatan
Konstruksi pemikiran Rahman dibangun dari beberapa kegelisahan akademik yang sekian lama menjadi perhatiannya, kegelisahan akademis itu adalah :
1. Umat Islam mengalami krisis metodologis yang merupakan salah satu penyebab kemunduran pemikiran Islam, menurutnya metodologi merupakan titik pusat penyelesaian krisis intelektual.
2. Pada zaman sahabat awal periode I, umat Islam menggunakan dua sumber hukum pokok yakni Al-Qur’an dan Hadits yang sifatnya dinamis dan historis, namun pada akhir periode I dan awal periode II pemikiran keagamaan umat Islam berubah menjadi normatif, kaku dan formal sehingga hasil pemikiran menjadi ahistoris dan dogmatis.
3. Terjadi kekeliruan konsepsional sarjana-sarjana barat dalam memahami sunnah Nabi yang menyebabkan mereka menolak sunnah Nabi.
4. Terjadi ketidakserasian Sunnah-Ijtihad-Ijma’ dan evaluasi serta perkembangan sunnah Nabi menjadi Hadits.[6]
Melihat fenomena ini, Rahman menegaskan bahwa umat Islam memerlukan re/dekonstruksi metodologi keilmuan Islam. Karena inilah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan krisis intelektual umat Islam untuk bangkit dari stagnasi yang berkepanjangan.
A.1 Pendekatan
Sebelum mengurai metode, ada baiknya kita menyinggung terlebih dahulu pendekatan (approach) yang digunakan Rahman sebagai objek forma dalam mengkaji pemikiran Islam. Dari sekian banyak pendekatan yang digunakan, secara garis besar, sepanjang temuan penulis, pendekatan yang dipakai Rahman dalam mengeksplorasi materi-materi diskursus Islam kontemporer adalah :
1. Hermeneutika
2. Sosiologis
3. Historis
4. Fenomenologis
Pertama, pendekatan Hermeneutika, suatu perangkat baru yang diadopsi dari wacana filsafat barat yang digunakan untuk menafsirkan teks-teks kuno seperti kitab suci, sejarah, hukum dan filsafat. Kata hermeneutika sendiri seringkali dihubungkan dengan hermes seorang penafsir pesan Tuhan dalam kepercayaan Yunani kuno. Kemudian tradisi ini dikembangkan ke dalam penafsiran kitab suci seperti bible. Meskipun pada mulanya hermeneutika ini dipakai oleh kalangan kristiani dalam menafsirkan bible, namun dikarenakan Rahman melihat adanya beberapa aspek positif yang kontributif terhadap tradisi penafsiran, maka ia mengadopsinya ke dalam Al-Qur’an. Dari pendekatan inilah lahir beberapa teori-teori interpretasi sistematis ala Rahman misalnya double movement, dst. Dalam pendekatan hermeneutika ini, Rahman banyak terpengaruhi Gadamer, seorang pakar hermeneutik kontemporer.
Kedua, Pendekatan Sosiologis, suatu pendekatan yang memusatkan kajiannya kepada setting sosial masyarakat, termasuk di dalamnya ilmu humaniora. Hal ini berdasarkan prinsip-prinsip utama syari’ah Islam yang tertuang dalam maqashid syari’ah yang point-pointnya merujuk kepada kemaslahatan umat manusia dengan hierarkinya (dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyat). Pendekatan ini meniscayakan dialektika teks dengan konteks, sehingga lahirlah teori tafsir kontekstual.
Ketiga, Pendekatan Historis, suatu pendekatan yang melihat aspek historisitas Islam. Dalam pendekatan ini, in detail, Rahman cenderung melakukan kritik historis yang dikaitkan denga fase pengembangan, kemajuan dan kemunduran umat Islam. Hal ini semata mata dimaksudkan untuk rekonstruksi metodologis.
Keempat, Pendekatan Fenomenologis, suatu pendekatan yang merumuskan konsepsi berdasarkan fenomena yang ada sehingga setiap rumusan konseptual yang dihasilkan akan selalu relevan dan aplikatif terhadap fenomena tersebut, tidak hanya sekedar rumusan-rumusan yang buntu sebatas konsepsi belaka.
A.2 Metode
Metode-metode yang disebutkan di sini merupakan “ resep-resep “ Rahman dalam meracik pemikiran Islam, yang secara prinsipil bermuara pada dua sumber pokok sesuai konsensus bersama, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Pertanyaan yang diajukan ialah bagaimana langkah-langkah meramu kedua sumber pokok ini ?, secara garis besar, metode yang digunakan Rahman dalam meracik wacana keilmuan Islam ialah meliputi :
ü Metode Double Movement
ü Metode Sintesis Logis
ü Metode Induktif
ü Metode Integratif
1. Teori Gerakan Ganda (Double Movement)
Unsur-unsur terpenting dari pendekatan hermeneutika Rahman dapat dilihat dalam artikel yang ditulisnya jauh sebelum ia menggunakan istilah hermeneutika itu sendiri. Artikel itu ditulis tahun 1970 dalam rangka mengkritisi interpretasi konvensional dengan judul’ “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternative”. Secara global langkah-langkah prosedural Rahman dalam artikel tersebut dapat diringkaskan menjadi dua bagian : pertama, pendekatan sosio-historis dalam memahami ayat Al-Qur’an. Kedua, pentingnya pembedaan antara legal spesifik dan tujuan atau “ideal” moral Al-Qur’an, yang dikenal dengan Double Movement (teori gerakan ganda). Di samping itu ia juga memperkenalkan sintesis-logis ketika berhadapan dengan ayat metafisis dan teologis. Kemudian Double Movement dielaborasi lebih lanjut dalam bukunya Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition yang ditulis pada tahun 1982.
Teori ini merupakan serangkaian formula dalam interpretasi sistematis yang digagasnya. Salah satu tujuan operasional Double Movement adalah untuk membedakan antara legal spesifik dan ideal moral Al-Qur’an. Teori ini menjadi konsekuensi sistematis dari beberapa pendekatan yang digunakannya khususnya historis dan hermeneutika. Inilah yang dinamakan teori Gerakan Ganda. Tetapi teori ini dibatasinya hanya untuk konteks hukum dan sosial, tidak ditujukan kepada hal-hal metafisis dan teologis.[7] Ide dasar teori ini ialah pembedaan legal spesifik dan ideal moral.
Yang dimaksud dengan ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan Al-Qur’an yakni sasaran dan tujuan Al-Qur’an. Sedangkan legal spesifiknya adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Rahman berharap agar hukum-hukum yang akan dibentuk dapat mengabdi pada ideal moral yang universal, sehingga Al-Qur’an akan selamanya berlaku untuk setiap masa dan tempat. Pembedaan legal spesifik dan ideal moral ini mengandaikan pergerakan dalam dua arah yang saling bertemu. Yaitu dari situasi sekarang menuju masa al-qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa sekarang, oleh karenanya teori ini disebut teori gerakan ganda.
Gerak Pertama
Gerakan pertama terdiri dari dua langkah, pertama; memahami makna suatu ayat dengan mengkaji problem historis dimana ayat tesebut merupakan jawabannya. Dalam hal ini mufassir harus memperhatikan konteks mikro dan makro ketika al-qur’an diwahyukan,[8] di sini dapat dilacak akar teoritis Fazlur Rahman yang mengakomodasi turats (warisan pemikaran islam) yang tradisional dalam bingkai yang kritis dan analitis. Ia tidak memaksa teks berbicara sesuai dengan keinginan author melainkan membiarkan teks berbicara sendiri dengan tela’ah historisitas teks. Dalam proses ini, kajian mengenai pandangan-pandangan kaum muslimin – di samping bahasa, tata bahasa, gaya bahasa dan lain-lainnya – akan sangat membantu sesudah hal itu diuji dengan pemahaman dari al-Qur’an itu sendiri. Maka langkah pertama ini merupakan pemahaman makna al-qur’an secara keseluruhan serta berkenaan dengan ajaran-ajaran spesifik yang merupakan respon atas situasi spesifik.
Kedua; menggeneralisasi jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakannya sebagai pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial-umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio legis yang sering dinyatakan. Selama proses ini perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan menjadi koheren dengan yang lainnya.[9]
Gerak Kedua
Adapun gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan spesifik yang harus diformulasikan dan direalisasikan pada masa sekarang. Artinya ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Hal ini memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan memerlukan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai Al-Qur’an secara baru juga.[10] Dengan kata lain, Untuk memahami gerakan kedua ini diperlukan ilmu-ilmu sosial modern dan humaniora sebagai alat bantu untuk mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam situasi konkret. Di sini dapat dilacak pemikiran integratif Rahman dengan mengadopsi ilmu-ilmu modern.
Dengan demikian metodologi yang introdusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik. Hal ini tentunya akan membawa implikasi bahwa hukum Allah dalam pengertian seperti yang dipahami manusia tidak ada yang abadi, mirip dengan konsep Hegelian Logic, tesis-antitesis-tesis-antitesis .. dst, tanpa menemukan sintesis final. yang ada dan abadi adalah prinsip moral. Jika dicermati teori ini mencoba mendialektikakan teks, author, reader dan merupakan apresiasi kritis dan analitis terhadap metode ulama tradisionalis.
2. Konsep Sintesis-Logis
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa metode Double Movement hanya terbatas pada masalah-masalah dalam konteks hukum dan sosial bukan untuk membahas masalah-masalah metafisis dan teologis. Maka untuk masalah ini Rahman menggunakan teori sintesis logis, yaitu sebuah metode dengan membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas dan tema-tema yang relevan. Dengan pendekatan sintesis logis, ketika membahas suatu tema tertentu, mufassir diharuskan untuk mengaitkan tema tersebut dengan tema-tema yang relevan.[1]
Teori sintesis-logis ini dapat dilacak dalam salah satu bukunya yang berjudul Major Themes of the Qur’an, yang secara keseluruhan memuat aspek-aspek metafisis-teologis. Dalam menulis buku ini, metode double movement hampir tidak diterapkan. Dalam pendahuluan buku tersebut, Rahman mengatakan :
“Kecuali dalam pembahasan beberapa tema penting semisal mengenai keanekaragaman komunitas agama, kemungkinan dan aktualitas mukjizat, serta jihad, yang semuanya men unjukan evaluasi melalui Al-Qur’an, prosedur yang dipergunakan untuk mensintesiskan tema-tema ini lebih bersifat logis daripada kronologis”.[2]
Dalam masalah ini latar belakang /asbab nuzul ayat ayat metafisis dan teologis dianggap tidak terlalu penting, sebagaimana ayat-ayat sosial-hukum.[3] Misalnya ketika membahas tema Tuhan. Melalui sintesis logis, pembahasan mengenai Tuhan tidak hanya sebatas berbicara Tuhan an sich, melainkan juga melibatkan tema-tema yang relevan, seperti makhluk, alam, dst.
Interpretasi dengan model seperti ini dapat dijumpai misalnya dalam bab pertama Major Themes of the Qur’an. Bab pertama dalam buku ini berjudul Tuhan. Ketika menyoal Tuhan, Rahman mengawali dengan membahas eksistensi Tuhan yang fungsional (hlm.1), Adanya alam semesta (hlm.4), Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi lain (hlm.5), sebab-akibat alamiah (hlm.6), pengutusan para Rasul (hlm.13,) cara mengenal Tuhan (hlm.15), Qadla dan Qadar (hlm.18)..dst
3. Metode Induktif
Metode Induktif ialah suatu proses penalaran yang berupa penarikan konklusi umum atau dasar pengetahuan tentang hal-hal yang khusus. Al-Qur`an dan Hadis memang merupakan mengandung kebenaran mutlak karena datang dari yang maha mutlak, tapi pemahaman terhadapnya merupakan suatu hal yang relatif, sesuai dengan relatifnya manusia.
Sifat relatif ini merupakan ciri pokok ilmu sosial. Guna mendapatkan pemahaman yang mendekati kebenaran, diperlukan model berpikir induktif sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sosial. Pemikir harus melihat realitas sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Konsep ini mirip dengan Hegelian Logic dengan ciri Dialectical Logic (every one of them was (and is) right within its own field). Dengan metode ini, hukum Islam menjadi Luwes, fleksibel dan bisa mengikuti perkembangan masyarakat. Metode ini dapat dilacak dalam teori sebelumnya seperti double movement, meskipun tidak monoton dengan induktif, karena dalam teori tersebut Rahman mengintegrasian keduanya. Namun secara operasional, seluruh pemikrannya didasarkan pada pola berfikir induktif.
4. Metode Integratif
Metode ini merupakan metode yang paling prinsipil dalam “resep “ Rahman. Dengan adanya metode ini, dikotomis dan hijab-hijab keilmuan akan dihancurkan. Misalnya integrasi ilmu sosial-humaniora ke dalam penafsiran Al-Qur’an, integrasi ilmu agama dan Filsafat,.. dsb.
Dengan ini maka ilmu Keislaman akan lebih full color karena bisa saling menyapa dengan ilmu yang lainnya. Metode ini merupakan sebuahn rekonstruksi yang ditawarkan Rahman sebagai upaya memberantas dikotomi ilmu agama dan ilmu umum yang merupakan pangkal krisis intelektualisme umat Islam. Dengan kata lain Rahman mengajak umat Islam untuk bangkit dari krisis intelektual mereka dengan membuka hijab-hijab ilmiah yang mengungkung tradisi pemikiran Islam yakni dengan globalisasi keilmuan Islam, yang merupakan salah satu pilot project-nya dalam neo-modernisme yang digagasnya.
4. Sekilas Pintas Produk Pemikiran Fazlur Rahman
4.1 Tuhan : Eksistensi Yang Fungsional
Salah satu produk pemikiran Rahman yang paling intim ialah konsepsinya tentang Tuhan. Menurutnya, Perkataan Allah, nama Tuhan yang sesungguhnya, disebutkan lebih dari 2500 kali dalam Al-Qur’an ( belum termasuk ar-Rabb, ar-Rahman dan ar-Rahim ). Meskipun demikian, Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Menurut Al-Qur’an, eksistensi Tuhan benar-benar bersifat fungsional.
Dia adalah Pencipta serta Pemelihara alam semesta dan manusia ; terutama sekali Dia-lah yang memberikan petunjuk kepada manusia dan akan mengadili manusia nanti, bail secara individual maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh belas-kasih. Urutan sifat Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, pemberi petunjuk, keadilan dan belas kasih ini saling terjalin berkelinduan sebagai sebuah kesatuan organis di dalam konsep Al-Qur’an mengenai Tuhan.[4] Keempat sifat Tuhan yang saling berkaitan inilah yang merepresentasikan eksistensi Tuhan yang fungsional.
4.2 Al-Qur’an Versi Rahman
Konsep Rahman tentang al-Qur’an sebagaimana yang dapat disimpulkan dalam bukunya Islam adalah :
“Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam Allah), dan dalam pengertian biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, al-qur’an murni kata-kata ilahi, namun tentu saja ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata ilahi mengalir melalui hati nabi.”[5]
Pernyataan inilah yang menyebabkan ia divonis sebagai munkir Al-Qur’an. Definisi Rahman di atas mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model pewahyuan yang dibangun antara Al-Qur’an (the text), Allah adalah pengarang (the author) dan Muhammad (the reader and the author). Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologi, Muhammad berparisipasi baik mental maupun intelektual dalam penerimaan wahyu itu. Oleh karena itu, al-qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni perjuangan nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.[6]
Menurut Rahman Kalam Ilahi yang bersifat transenden (muta’aliyah) yang – dalam istilah ulama klasik – berbentuk kalam nafsi / kalam mental, tanpa huruf dan suara, ketika dikonversikan ke alam manusia maka kalam tersebut menjadi perkataan Muhammad yang immanen. Maka pernyataannya yang mengatakan Al-Qur’an adalah perkataan Muhammad, erat kaitannya dengan proses pewahyuan. proses penerimaan wahyu dari jibril kepada Nabi Muhammad tidak seperti layaknya seorang tukang pos yang memberikan surat kepada si penerima surat.
Bagi Rahman, proses pewahyuan lebih merupakan peristiwa psikologis daripada fisis. Pemikirannya ini terpengaruh oleh Syekh Wali Allah dan Muhammad Iqbal. Malaikat Jibril dalam pandangan Rahman adalah makhluk spiritual dan supranatural yang tidak mungkin berwujud layaknya sebuah person yang kemudian berbicara kepada Nabi seperti seorang menteri berbicara kepada sekretaris presiden. Menurut Rahman, secara psikologi, ide dan kata merupakan suatu entitas organis serta lahir dalam pikiran Nabi secara serempak. Namun, karena asal mula kompleksitas antara perasaan dan ide kata ini terletak di luar kontrol Nabi dan merupakan suatu fiil kreatif, maka ia harus dipandang sebagai sumber yang berada di luar Nabi.[7]
Rahman juga sependapat dengan Iqbal, bahwa ketika Tuhan hendak mengkomunikasikan suatu petunjuk yang dimaksudkan untuk abadi hingga akhir zaman, Dia menundukan fikiran Nabi dalam suatu cara tertentu dalam hati nurani (pure heart). Rangkaian kata-kata dikeluarkan dari fakultas rasional Nabi melelui perantara Malaikat[8]
4.2 Konsep Sunnah Nabi
Adapun konsep sunnah dalam pandangan Fazlur Rahman adalah merupakan respon dan bantahan terhadap pandangan orentalis yang mengatakan bahwa sunnah dan hadits nabi tidak memiliki akar historis dari nabi, misalnya Ignaz Goldziher menilai bahwa menentukan mana hadits yang benar-benar asli dari Nabi merupakan tugas yang amat sulit. Kebanyakan teks hadits yang beredar sekarang ialah perkembangan historis keagamaan. Bahkan Margoliouth lebih parah lagi, dengan mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits atau sunnah yang ditinggalkan Nabi Muhammad, kecuali hanya tradisi bangsa Arab yang pra-Islam yang kemudian dimodofikasi Al-Qur’an. Untuk memberikan otoritas dan normativitas kepada tradisi itulah umat Islam pada abad ke dua hijriah mengembangkan konsep sunnah Nabi. Inilah yang menggugah Rahman untuk memberikan pemahaman yang proporsional terhadap sunnah Nabi.
Menurut Rahman konsep sunnah memiliki dua arti yang komplementer, pertama; sunnah berarti berarti prilaku nabi, dan karenanya ia memperoleh sifat normatif. Dalam hal ini sunnah nabi atau sunnah normatif harus dipandang sebagai sebuah konsep teladan, pedoman dan konsep pengayoman yang umum yang terbungkus dalam ketentuan yang bersifat khusus. Pandangan ini membawa konsekuensi logis, yaitu perlu memahami perilaku nabi dalam bingkai konteks dan kerangka historis sosiologisnya.
Kedua; sepanjang tradisi (prilaku nabi) tersebut berlanjut secara diam-diam dan non-verbal, maka kata sunnah ini juga diterapkan pada kandungan aktual prilaku generasi sesudah nabi, selama prilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani prilaku nabi. Untuk yang terakhir ini isi sunnah dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar berasal dari praktek aktual masyarakat muslim hingga akhirnya diverbalisasikan menjadi kitab hadits. Oleh karena itu, ketika hadis dibakukan maka sunnah tidak berkembang. Ia terpasung dalam kitab yang diagendakan. Meskipun ia mengakui hadis sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, tetapi ia sangat kritis terhadapnya.
Dari Sunnah ke Hadits
Teladan Rasulullah
Praktik Para Sahabat
Penafsiran Individual
Opinio Generalis
Opinio Publica (Sunnah)
Formalisasi Sunnah (Hadits).[9]
4.4 Rahman : “ Sedikit Tentang Indonesia “
Dalam salah satu bukunya Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, yang ditulis tahun 1982, Rahman menyatakan bahwa negara Indonesia tidak terlalu diperhitungkan oleh para pemikir Islam dalam diskursus Islam kontemporer, khususnya seputar hukum dan pendidikan Islam, Indonesia sangat diabaikan. Menurut Rahman, hal ini disebabkan adanya kesan umum bahwa Indonesia merupakan kawasan islam yang berada di luar “ arus pemikiran intelektual “.
Namun, berbeda dengan asumsi mayoritas pemikir lainnya, Rahman melihat bahwa akhir-akhir ini ( tahun 80-an ), telah terjadi kegiatan intelektual tingkat tinggi di Indonesia. Misalnya, Rahman mengapresiasi dengan positif kebangkitan Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama, yang menurutnya berperan sebagai perwakilan kelompok progresif dan konservatif di Indonesia. Rahman mengakui bahwa buku-buku sejarah pendidikan Islam di Indonesia memang bagus dan informatif, hal yang disoroti Rahman dalam hal ini adalah seputar globalisasi keilmua Islam di Indonesia, mengingat belum ada satu pun buku tentang Islam yang berkualitas yang ditulis dalam bahasa internasional.
Rahman juga sempat menyinggung perkembangan pesat lembaga pendidikan Islam di Indonesia seperti berkembangnya IAIN di Jakarta dan Yogyakarta, bahkan ia pun sempat menyodorkan statistik lembaga-lembaga Islam di Indonesia seperti pesantren dan madrasah. Satu hal yang menarik, Rahman memprediksikan pesantren dan madrasah ke depan akan menadi feeder institution (sumber input) bagi lembaga-lembaga islam negeri. Di samping itu Rahman juga sempat mengapresiasi dan merespon positif Prof. Hasbi As-Shiddieqy yang menulis buku tafsir Al-Qur’an yang berisi tentang penuturan sistematis tentang asbab nuzul ayat Al-Qur’an. Rahman juga menyatakan bahwa kesenjangan antara NU dan Muhammadiyah telah meredup. Hal ini dikarenakan ia telah mendengar sendiri ulama-ulama NU yang mulai “membuka pintu ijtihad”. Rahman menyatakan bahwa demam kegiatan intelektual ini akan memberi harapan di masa depan. “ walaupun baru saja terjadi, nampaknya kegiatan ini mengarah pada arah yang benar “, ujarnya. Inilah apresiasi Rahman terhadap dinamika Islam di Indonesia, suatu hal yang langka di kalangan pemikir lainnya.[10]
4.5 Membuka Pintu Ijtihad
Rahman menjelaskan 7 langkah teori Ijtihad sebagai metode pemikiran Islam :
Ø Melepaskan diri dari keterjebakan formalisme pemikiran dan harus dilakukan desakralisasi terhadap suatu produk pemikiran.
Ø Menempatkan akal sebagai landasan umat Islam di samping Al-Qur’an dan Sunnah dengan proporsional.
Ø Setiap orang harus berusaha sekuat tenaga untuk melakukan Ijtihad. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Nabi sendiri di samping penerima wahyu juga merupakan seorang mujtahid.
Ø Kebenaran tidaklah bersifat tunggal, setiap mujtahid adalah benar sesuai temuannya masing-masing. Doktrin kesalahan dalam Ijtihad hanya berdasarkan asumsi bahwa kebenaran hanya satu. Walaupun semua sama sekali tidak kebal dari kesalahan, kemampuan akal dan persepsi moral manusia cukup memadai apabila dipergunakan secara benar.
Ø Sekalipun kebenaran tidak bersifat tunggal, namun harus ada kepastian. Kepastian tersebut harus dicari. Tetapi kepastian tidak hanya dengan diinginkan saja.
Ø Setiap manusia dapat berbuat kesalahan, termasuk Nabi Muhammad sekalipun. Dengan demikian, hasil setiap mujtahid juga bisa salah.
Ø Mujtahid harus memiliki kaliber intelektual yang memadai. Kualifikasi iilah sebenarnya yang lebih penting bagi seorang mujtahid, tetapi diabaikan oleh kaum Muslimin. [11]Kualitas intelektual akan lebih sempurna jika ditambah kualitas moral sebagaimana disyaratkan Al-Ghazali.
5.1 Respon Terhadap Rahman
Ø Nasr Hamid Abu Zayd : “ Fazlur Rahman merupakan seorang tokoh yang berupaya menghidupkan kembali filsafat Islam klasik dan sekaligus melakukan interpretasi kontemporer terhadap Islam berdasarkan ide-ide modern “.
Ø Syafi’i Ma’arif : “ Bila orang mengikuti jalan pemikiran Rahman dalam seluruh karyanya, orang akan tahu bahwa ia sangat berkepentingan untuk membangun kembali kesadaran umat Islam akan tanggung jawab sejarahnya dengan pondasi moral yang kokoh “.
5.2 Kritik Terhadap Rahman
Ø Amhar Rasyid : “ Pemikiran Fazlur Rahman dalam bidang-bidang hukum tidak terlepas dari subyektivisme pribadinya, sehingga hermeneutika yang dikembangkannya lemah dalam pertimbangan teologis dan tujuan hukum “.
Ø Adian Husaini : “ Model hermeneutika yang dikembangkan Fazlur Rahman justru akan menghancurkan ajaran Islam itu sendiri.
Ø Jalaluddin Rakhmat :
a. Dalam rangka menemukan ideal moral, Rahman melandaskan kejiannya pada aspek historis, namun pada buku-buku tarikh terbukti sering kali ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan hitoriorgafi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut dicurigai.
b. Rahman menyadari pentingnya Asbab nuzul, tetapi pada saat yang sama ia menilai bahwa literatur Asbab nuzul itu sering kali sangat bertentangan dan kacau balau.
c. Rahman sering kali tidak ragu-ragu menganggap hadits sebagai fiksi yang dirumuskan belakangan saja, jika bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai prinsip umum Ajaran Al-qur’an.
d. Terdapat kemusykilan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedangkan dalam situasi yang lain sebabnya khusus tetapi efek legalnya umum.
5.3 Respon Penulis
Implikasi Metodologis Metode Hermeneutika Fazlur Rahman
Penelaahan secara serius terhadap pemikiran Fazlur Rahman akan mengarahkan pada suatu kesimpulan bahwa ide-idenya menampakkan pembaruan yang sangat signifikan dalam beberapa aspek. Pembaruannya itu bukan sekedar “pembaruan”, tapi sarat dengan liberalisme yang transformatif dan otentik. Neo-modernisme yang diperkenalkannya pada dekade 70-an itu benar-benar menyuguhkan metodologi yang baru dalam pengembangan keimuan Islam sekaligus menjadi pintu gerbang untuk melahirkan pembaruan yang lainnya. Ia adalah mahaguru dari para pembaru yang ada sekarang. Adagium yang terkenal di kalangan tradisionalis “al-Muhafadzhah ‘ala al-Qadiim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlahi” diimplementasikan dengan baik oleh Falur Rahman dalam ide-ide neo-modernismenya ini.
Metode-metode yang diusungnya itu, kiranya memiliki beberapa implikasi dalam diskursus Islam kontemporer, diantaranya ialah menggagas ulumul Qur’an dengan wajahnya yang baru sesuai dengan konteks kontemporer, menyuguhkan metodologi yang baru dalam pengembangan keilmuan Islam, menggeser paradigma keilmuan dari atomistik-skriptural menjadi paradigma holistik-liberal.
A. Menggagas ulmul Qur’an kontemporer
Ulumul Qur’an dalam arti yang idlafy dan ditinjau dengan perspektif aplikasi (bi’tibaaril ‘amali) mencakup semua hal yang berhubungan dengan masalah interpretasi Al-Qur’an. Selama ini ulumul Qur’an hanya difahami secara isthilahy dan bi’tibaril ‘ilmi sehingga disiplin ilmu ini menjadi terpasung dalam pengertiannya secara konvensional. Rahman menyadari bahwa metode yang digunakan ulama klasik ini perlu di up date dalam rangka mendialogkan al-Qur’an dengan realitas sekarang. Maka ia mengadopsi sebuah perangkat baru yang berasal dari barat dalam menafsirkan Al-Qur’an yakni hermeneutika. Menurut Rahman, al-Qur’an itu ibarat puncak gunung es yang terapung. Yang terlihat hanya sepuluh persen, sedangkan sembilan puluh persen sisanya masih terendam di bawah permukaan air. Sembilan puluh persen inilah yang masih diselubungi keterbatasan metodolgis dan reifikasi sejarah. Oleh karena itulah ia berusaha merekonstruksi ulumul Qur’an yang menjadi alat untuk dapat menangkap pesan-pesan Tuhan dalam kitab suci itu.
B. Menyuguhkan Metodologi Baru dalam wacana Keilmuan Islam
Pemikiran Rahman bertolak dari kritisisme yang dibangunnya. Dia melihat ada kesalahan pendekatan dalam mengkaji ilmu-ilmu Islam baik yang diusung oleh para sarjana barat maupun yang diwariskan dari ulama klasik Islam sendiri. Ia menilai harus ada upaya sungguh-sungguh untuk membenahi Islam dari dalam, yakni harus ada pembaruan yang dilakukan dari umat muslim sendiri. Gerakan neo-modernisme yang dia sendiri bertindak sebagai juru bicaranya diharapkan mampu mempresentasikan pembaharuan yang diinginkannya.
Cara mengolah Qur’an dan Sunnah dengan hermeneutik yang memadukan unsur-unsur tradisional dengan unsur-unsur modern menjadi pokok utama ide pembaruan Rahman, sekaligus menembah warna baru dalam wacana keilmuan Islam. Selama ini dalam tradisi pemikiran Islam terutama dalam aktifitas eksegesis, banyak para ulama yang telah mengarang berjilid-jilid kitab tafsir dengan coraknya masing-masing. Namun di tengah fenomena umum maraknya penulisan kitab tafsir yang terjadi di kalangan umat Islam, metodologi dan pendekatan tafsir ternyata masih menjadi hal yang langka. Ini terlihat setidaknya dari kenyataan di mana umat Islam lebih tertarik pada usaha-usaha penulisan tafsir ketimbang membangun metodologinya. Hal inilah kiranya yang mengetuk pintu hati Rahman untuk merenovasi kembali tradisi pemikiran Islam dengan menyajikan sebuah metode komprehensif yang baru.
C. Menggeser Paradigma Keilmuan dari Atomistik-Skriptural menuju Paradigma Holistik-Liberal
Paradigma atau cara pandang terhadap sesuatu merupakan hal yang akan sangat mempengaruhi sesuatu tersebut dalam segala aspeknya. Perkembangan wacana keilmuan Islam dalam usianya yang telah memasuki 14 abad ini kiranya telah melewati beberapa fase yang ditentukan oleh suatu paradigma di mana ilmu tersebut eksis dan menjadi suatu wacana yang diperbincangkan. Pada masa Nabi Muhammad telah dikenal Mazhab ahl al-ra’yi dan ahl al-hadith, inilah kiranya yang merupakan gerak awal dan cikal bakal perkembangan wacana Islam hingga terlihat seperti sekarang ini.
Dalam perspektif historis kita mengenal adanya fiqh sahabat, fiqh Tabi’in, hingga dikenal fiqh kaum pembaru atau mazhab liberalisme. Kita juga mengenal adanya tradisi Ijtihad bi ra’y , penutupan pintu Ijtihad hingga masa-masa stagnasi pemikiran umat Islam. Semenjak kota Baghdad yang merupakan pusat peradaban dibumihanguskan oleh Hulaghu Khan pada tahun 1258, Umat Islam benar-benar terperosok ke dalam jurang stagnasi dan keterbelakangan dalam berbagai aspeknya.
Untuk bangkit kembali dari keterpurukan itu, umat Islam hanya memiliki teks suci itu sebagai solusinya, maka ketika untuk mendobrak stagnasi, umat Islam memiliki dua pilihan ; kembali secara ketat pada teks-teks Al-Qur’an dan Hadits (Skripturalisme) atau menggunakan penalaran dalam rangka menemukan ruh dan semangat dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah (Liberalisme). Namun cara mendobrak stagnasi dengan cara yang pertama kiranya hanya sebatas simplifikasi belaka. Cara ini dinilai tidak bisa menjawab masalah-masalah kontemporer dikarenakan menolak wacana intelektual, mengkaji agama secara atomistik dan parsial dan mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Melihat fenomena seperti itu, Rahman menggagas suatu paradigma baru wacana keilmuan Islam yang holistik-liberal. Dengan paradigma ini, diharapkan seluruh kajian tentang Islam tidak hanya terhenti pada teks tetapi juga lebih jauh memperhatikan konteks. Paradigma ini juga mengintruksikan inklusivisme dan menghindari eksklusivisme yang berujung pada fanatisme.
Neomodernisme : Menuju Paradigma Baru Wacana Keilmuan Islam
Ketegangan berfikir antara kaum ortodoks dan kaum modernis ketika suatu pembaruan diusung merupakan hal yang sukar dihindari, hal inilah yang juga merupakan salah satu dari beberapa pertimbangan dalam kontruksi pembaharan Fazulr Rahman, ia mencoba menjembatani keduanya dengan mengusung neo-modernisme. Ia tetap mengapresiasi warisan pemikiran Islam dengan diakomodasi dalam bingkai yang analitis-kritis sekaligus mengadopsi perangkat-perangkat modern. Ia mencoba membenahi beberapa kekurangan pembaruan sebelumnya yaitu modernisme dan neo-revivalisme, misalnya apresisasi dan akomodasi terhadap turats yang tidak mendapat perhatian sama sekali pada masa modernisme, kemudian ia menghindari pemujaan akal dengan menempatkannya setelah ilmu bahasa Arab, sebagai pembenahan atas konstruksi gagasan pembaruan kaum modernis yang terkesan over rasionalis.
Neomodernisme yang diusung Fazlur Rahman ini merupakan penyegaran kembali tradisi pemikiran Islam. Di satu sisi, hal ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan dari gagasan pembaruan kaum modernis dan lebih jauh lagi, gagasan neomodernisme merupakan updating atas pemikiran ulama-ulama klasik.
End Note :
[1] Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm.68
[2] Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Ter. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1996), Pendahuluan.
[3] Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, hlm 154
[4] Major Themes of the Qur’an, hlm.1
[5] Fazlur Rahman, “Islam” hal.32-35 , sebagaimana dikutip oleh Kurdi,dkk dalam “Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis”,(Yogyakarta,eLSAQ Press,2010), hlm.69
[6] Kurdi,dkk, “Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis”, hlm.69
[7] Tafsir, dkk, Moralitas Al-Qur’an dan tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm.71
[8] Ibid, hlm. 72
[9] Jalaludin Rakhmat (Kang Jalal), Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, (Mizan, Bandung,2002) hal 234.
[10] Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, hlm. 150-154
[11] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, ter.Anas Muhyidin, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm.45-48
[1] Dr. Jamali Sahrodi, “Metodologi Studi Islam”, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 182
[2] Prof.Dr.Khoirudin Nasution, MA, “Pengantar Studi Islam”, (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2009), hlm 66.
[3] Sibawaihi, “Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm 23-25.
[4] Azyumardi Azra, “Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia” dalam pengantar “Dari Neomodernisme ke Islam Liberal”, Dr.’Abd A’la, (Jakarta: Paramadina, 2009).
[5] Sibawaihi, “Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman”, hlm. 17
[6] HujairAH. Sanaki, “ Pemikiran Fazlur Rahman Dalam Metodologi Sunnah dan Hadits “, Al-Mawridi XVI, 2006, hlm. 256
[7] Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, hlm. 56
[8] Fazlur Rahman, Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad (Bandung : Pustaka, 2005), hlm.7
[9] Ibid, hlm. 7
[10] Islam & Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, hlm. 8
0 comments
Posting Komentar