Iman : Aktual & Konseptual

Posted by By Truth Seekers On 07.01


PENDAHULUAN

Melacak Historisitas Islamic Believe System

Apakah kepercayaan ( iman ) itu ?, apakah artinya mempercayai , khususnya menurut konteks Islami ?. Dua pertanyaan di atas, meskipun sepintas terkesan seperti biasa saja, namun jika dieksplorasi lebih jauh dan mendalam, jawaban dari pertanyaan tersebut bisa menjadi sangat luar biasa. Masalah kepercayaan ( iman ) merupakan salah satu masalah teoritik terpenting yang dihadapi masyarakat muslim semenjak awal perkembangannya.

 Ketika masa awal perkembangannya (ashr al-wahyi wa al-takwin), sistem kepercayaan (believe system) dalam konstruksi agama Islam yang baru saja lahir merupakan masalah utama yang harus dihadapi. Ketika saat krusial seperti itu, beberapa formulasi diperlukan dengan segera. Kebutuhan tersebut menjadi semakin mendesak dan semakin penting seiring dengan perkembangan Islam yang begitu pesat. Banyak sekali orang dengan latar belakang kultural dan agama yang berbeda-beda masuk ke dalam komunitas tersebut. Dalam kasus tersebut adalah sangat penting bagi anggota-anggota baru pada komunitas tersebut untuk diberitahu syarat-ayarat apakah yang harus mereka penuhi agar dapat sepenuhnya memperoleh predikat sebagai seorang muslim. Apa yang harus mereka yakini secara batin dan apa yang harus mereka lakukan secara lahir.

            Pada saat seperti inilah formulasi sistem kepecayaan Islam (islamic believe system) mulai terbentuk secara hiererkis. Formulasi ini muncul sejak periode awal Islam dengan bentuk yang mendasar. Mulai dari formulasi yang diberikan Nabi sebagai respon terhadap pertanyaan seorang muslim yang sarat dengan hal-hal yang kongkrit dan nyata dalam kehidupan mereka, hingga paparan ilmiah Nabi tentang hal itu di tangan para teolog profesional.[1]

            Apakah yang harus kita lakukan untuk dapat masuk surga di akhirat ?. Bentuk pertanyaan tersebut memang seperti naif dan sederhana, namun kendati demikian ia telah memberikan formulasi yang lebih teoritik yang mucul kemudian: bagaimana struktur keimanan dalam pengertian Islami ?. Salah satu jawaban yang diberikan hadits yang serupa dan berkenaan dengan pertanyaan di atas, Nabi menyebutkan bahwa hakikat Islam adalah 5 perintah: (1) Percaya pada satu Tuhan, yakni bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasulullah, (2) Mendirikan Shalat, (3) Menunaikan Zakat, (4) Melaksanakan Ibadah Haji (5) Berpuasa di bulan Ramadhan.[2] Dalam hadits ini Nabi menjelaskan bagaimana Iman dan Islam harus dikonsepsikan.

            Secara lebih kompleks, dalam hadits yang lain diuraikan lebih lanjut tentang trilogi ajaran Islam yang terkenal, Iman, Islam, dan Ihsan. Ketika itu Nabi menjawab pertanyaan Jibril dengan memberikan definisi sebagai berikut: (1) Islam adalah kamu menyembah Tuhan dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apapun, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, Berpuasa di Ramadhan dan melaksanakan  Ibadah haji. (2) Iman adalah kamu percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir Ilahi baik yang baik mapun yang buruk. (3) Ihsan ialah kamu menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak merasa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.[3]

            Ketika Iman merupakan konsep kunci ajaran Islam yang merupakan password dan lisensi masuk Islam, apakah ia hanya cukup sampai di sini ?, adakah agama Islam itu hanya sebatas sistem kepercayaan saja ? . Sebagaimana disinggung di atas,trilogi ajaran Islam merupakan suatu konsepsi yang komplementer, saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karenanya, keimanan yang merupakan konsep kunci ajaran Islam harus diikuti dengan semua manifestasinya. Apakah manifestasi keimanan itu ?, diantaranya ialah amal salih atau akhlak yang baik. Seseorang tidak dikatakan ber-Islam secara kaafah jika ia hanya bermodalkan keimanan saja tanpa ditindak lanjuti dengan follow up dari keimanannya tersebut. Di sini kami akan mencoba mengurai aktualisasi rukun Iman, dari Iman konseptual menuju Iman Aktual.
           
....................

A. Iman Konseptual  ( Definisi, Konstruksi dan Pilar-Pilar Utama )

Definisi

            Secara leksikal, iman (الايمان)  berasal dari kata al-amnu (الامن) atau al-am̅an (الامان) yang berarti  keamanan atau kedamaian yang merupakan antonim dari al-khauf (ضدُّ الخوف) yang artinya ketakutan atau kekhawatiran. Sedangkan kata iman sendiri berarti al-tashdiq (التصديق) ‘pembenaran’ yang merupakan antonim dari kata al-takdz̅ib (التكذيب) ‘pendustaan’.[4] Syekh Zamakhsyari menambahkan satu lagi makna kata iman yaitu watsaqa ( وثق ) yang artinya percaya. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Zayd dari sebagian penduduk arab : ما آمنت أن أجد صحابة أي ما وثقت (Aku tidak percaya akan mendapati seorang sahabat).[5]

            Dalam bahasa Inggris, kata Iman diterjemahkan dengan faith. Menurut
American Heritage Dictionary,diantara  sekian banyak makna Iman (faith) adalah :

1. Confidence or trust in a person or thing.

2. Belief in god or in the doctrines or teachings of religion.

3. A system of religious belief: the Christian faith; the Jewish faith. [6]

Menurut American Heritage Dictionary, kata faith bisa bermakna :

1.  Kepercayaan kepada seseorang atau suatu hal.  
   
2. Keyakinan kepada Tuhan, dalam doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran agama.

 3. Sebuah sistem keyakinan beragama: Iman Kristen, Kepercayaan Yahudi.

           
Adapun secara terminologis, istilah Iman memiliki definisi redaksional yang sangat bervariatif dari para ulama, namun pada dasarnya semua definisi tersebut tetap bermuara pada point-point asasi yang sama, meskipun ada perbedaan sedikit-sedikit dalam segi konstruksi. Syekh Zamakhsyari misalnya menyatakan :

أن يعتقد الحق ويعرب عنه بلسانه ، ويصدّقه بعمله . فمن أخل بالاعتقاد وإن شهد وعمل فهو منافق . ومن أخل بالشهادة فهو 
كافر . ومن أخل بالعمل فهو فاسق

“ Mengi’tikadkan (meyakini) akan kebenaran sesuatu dan ditegaskan dengan kesaksian lisannya kemudian membenarkannya dengan perilaku. Barangsiapa yang tidak beri’tikad, walaupun ia bersaksi dan mengamalkan dengan perilakunya, maka ia termasuk munafik, dan barangsiapa yang tidak bersaksi maka ia termasuk orang kafir, dan barangsiapa yang tidak beramal maka ia termasuk orang fasik “.[7]   

Menurut perspektif Islam, Iman merupakan suatu terma yang menghendaki kompleksitas tiga pilar asasi yang komplementer. Ia lebih dari hanya sekedar kepercayaan kosong belaka yang tidak disusul dengan manifestasinya.

Konstruksi

            Konsepsi Iman dalam perspektif agama Islam bukan merupakan suatu konsep yang absurd dan inkonklusif semata. Ia merupakan sebuah sistem kepercayaan (believe system) yang menjadi poros dari seluruh medan konsep ajaran Islam. Ia lebih dari hanya sekedar kepercayaan dan kesaksian belaka. Sebagai suatu sistem kepercayaan, tentunya konsep Iman ini memiliki beberapa komponen sistematis yang mengkonstruksi tegaknya keimanan tersebut. Setidaknya, ada 3 komponen asasi yang mengkonstruksi Iman ( yang oleh Zamakhsyari  disebut al-Iman al-Sahih ) :

ü  1. Meyakini dengan sepenuh hati (al-I’tiqad)

ü  2. Mengakui / menyatakan dengan lisan (Iqraar, I’raab)

ü  3. Membenarkan / merealisir dengan perilaku (Tashdiq, ‘Amal)

In details, menurut Fakhruddin Ar-Razi, para Ulama terbagi menjadi 4 kelompok besar terkait masalah konstruksi Iman ini : [8]

Pertama, Iman merupakan suatu terma yang mencakup tiga aspek asasi :

Ø  Aktivitas Hati / Keyakinan (af’al al-qulub)

Ø  Perbuatan anggota badan (af’al al-Jawarih)

Ø  Pengakuan di lisan (iqrar bi al-lisan)

Pendapat seperti ini kebanyakan dianut oleh kaum mu’tazilah, khawarij, Zaidiyah dan para ahli hadits. Kaum khawarij menegaskan bahwa Iman merupakan kesatuan dari tiga hal di atas, jika setiap aspek diabaikan, maka ia sudah termasuk kafir. Sedangkan kaum Mu’tazilah – dengan pendekatan semantik – berpendapat bahwa kata Iman jika dimuta’addi-kan menggunakan ba, maka maknanya menjadi al-Tashdiq (pembenaran) dan konsekuensinya ialah ada’ al-wajibat (melaksanakan semua kewajiban). Para ahli hadits berpandangan bahwa inti dari Iman adalah ma’rifat yang kemudian direalisir dengan keta’atan yang merupakan bentuk keimanan tersendiri. Bahkan ada yang berpendapat bahwa iman adalah nama bagi semua jenis keta’atan termasuk semua jenis ibadah fardlu dan sunnah dalam satu kolom Iman. Namun sebagian ada yang mengatakan bahwa iman hanya mencakup ibadah fardlu saja.

Kedua, Iman merupakan suatu istilah yang mencakup dua ranah yang harus senantiasa bersandingan (al-qalbu wa al-lisan ma’an) :

Ø  Hati
Ø  Lisan

Pendapat kedua ini terbagi lagi menjadi beberapa madzhab :

(1) Abu Hanifah dan mayoritas ahli fiqh berpendapat bahwa Iman adalah Pengakuan (iqrar) dengan lisan dan pengetahuan (ma’rifat) dengan hati. Untuk masalah ma’rifat itu sendiri, ada yang menafsirkannya sebagai keyakinan yang kuat, baik itu keyakinan dari hasil taqlid maupun pengetahuan hati yang timbul dari dalil / petunjuk.  (2) Basyar bin Ghiyats al-Marisi dan Abu Hasan Al-Asy’ari berpendapat bahwa iman adalah pembenaran (tashdiq) dengan hati dan lisan secara berbarengan. Maksud dari al-Tashdiq ialah pernyataan / keputusan yang menghujam dalam hati. (3) Sebagian ahli tasawwuf mengatakan bahwa iman adalah pengakuan (iqrar) dengan lisan dan keikhlasan dalam hati.

Ketiga, Istilah iman hanya berkaitan dengan masalah keyakinan dalam hati saja. Pendapat ini pun terbagi lagi menjadi dua versi :

(1) Jahm bin Shafwan menyatakan bahwa Iman merupakan suatu ungkapan yang hanya berkaitan dengan ma’rifatullah dengan sepenuh hati. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwasanya seseorang yang mengetahui Allah dengan hatinya namun di lisan ia mengingkarinya, kemudian ia meninggal sebelum ia sempat mendekatkan diri kepada-Nya, maka ia tetap tergolong mu’min yang sempurna. Adapun ma’rifat / pengetahuan tentang kitab-kitab, para rasul dan hari akhir, Jahm bin Shafwan tidak memasukannya ke dalam definisi terminologis Iman.

(2) Hasan bin Al-Fadl Al-Bajjaly menegaskan bahwasanya Iman merupakan suatu istilah yang hanya berkaitan dengan tashdiq (pembenaran) dalam hati semata, tidak berkaitan dengan yang lain.

            Keempat, Iman merupakan suatu terma yang hanya menyangkut pengakuan (iqrar) di lisan saja.  Pendapat ini pun terpecah lagi menjadi dua aliran :

(1) Ghilan bin Musim Al-Dimasyqi mengatakan bahwa di samping iqrar dengan lisan, disyaratkan pula terciptanya suatu pengetahuan (ma’rifat) dengan adanya iqrar tersebut. Maka ma’rifat merupakan syarat sebuah pengakuan (iqrar) untuk dapat disebut Iman. Hal ini bukan berarti bahwa marifat  termasuk kedalam definisi Iman.

(2) Golongan Karamiyyah berpendapat bahwa masalah keimanan hanya berkaitan dengan iqrar (pengakuan) saja, tidak ada kaitannya denga yang lain. Oleh karena itu menurut mereka, orang munafiq termasuk mu’min secara dzahir dan kafir secara bathin. Maka di dunia mereka dihukumi mu’min dan di akhirat ia dihukumi kafir. Demikianlah sekelumit percaturan wacana tentang masalah Iman di kalangan para Ulama yang direkam oleh Ar-Razi dalam tafsir-nya Mafatihul Ghaib.

            Perlu diketahui bahwasanya polemik pemaknaan Iman ini merupakan salah satu perselisihan intern pertama dalam masyarakat muslim,karena permasalahan inilah mereka terpecah ke dalam beberapa sekte dan golongan, yang berbeda-beda dalam (menafsirkan) kitab suci dan sunnah, sehingga satu sama lain menyebut ‘kafir’.[9] Di sini kami hendak mengambil opini konklusi tentang konsepsi Iman.

            Jika kita membuka AL-Qur’an dan mengkonfirmasi berbagai varian pemaknaan tentang Iman, agaknya kita akan lebih banyak menemukan ayat yang berbicara Iman yang disandingkan dengan manifestasinya. Kata  امنوا  dan  عملواالصالحات misalnya, disandingkan dalam Al-Qur’an tidak kurang dalam 55 ayat. Di sini kami meletakkan Iman sebagai ukuran kesadaran dan komitmen seseorang dalam menjalankan semua perintah Tuhan. Maka dalam hal ini kami lebih setuju dengan pendapat pertama dari 4 kelompok. Masalah Iman ini akan semakin menemui klimaksnya jika diurai bersama saudara kembarnya, yakni Islam. Di sini kami hanya akan membatasi pembahasan sekitar konsep dan aktualisai Iman yang sedikit banyak “niscaya” akan menyentuh ranah pilar agama yang lain, yaitu Islam.

Pilar-Pilar Utama Iman (Rukun Iman)

            Tak seorang pun menyangkal bahwa kepercayaan atau keyakinan merupakan inti dari suat agama. Sebagai agama yang mempunyai sistem kepercayaan, tentunya ia memiliki formulasi sistematis terkait masalah keimanan ini. Di kalangan intern muslim, hal ini akrab disebut dengan rukun iman. rukun iman ini merupakan suatu rumusan yang disadur dari dua sumber utama umat  Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diantaranya hadits terkenal yang secara eksplisit menjelaskan point-point rukun Iman :

 قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Malaikat Jibril berkata : beritakanlah kepadaku perihal Iman, Nabi Saw. menjawab: “ Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari kiamat dan iman kepada takdir Ilahi, yang baik maupun yang buruk                                           (HR. muslim).[10]

Dalam hadits di atas, terdapat 6 rincian rukun Iman :

1.  Iman kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat Allah
3.Iman kepada kitab-kitab Allah
4. Iman kepada Rasul Allah
5. Iman kepada hari kiamat
6. Iman kepada qadla dan qadar

Konsep rukun Iman di atas merupakan rumusan paling established  di kalangan Ulama Salaf. Yang kami maksudkan dengan rukun Iman di sini pilar-pilar utama sistem kepercayaan dalam Islam. Hal ini bukan berarti bahwa Iman itu hanya terbatas pada enam hal ini saja, masih banyak hal-hal lain yang termasuk ke dalam kolom Iman. Keenam hal ini merupakan pondasi seluruh konstruksi bangunan Islam.

 Keenam hal ini merupakan hal-hal yang wajib dipercayai, diakui sekaligus dibenarkan keberadaannya .Lebih lanjut, ketika seseorang mempercayai dan menerima keberadaan sesuatu sekaligus membenarkannya, maka dengan serta merta ia akan menerima segala konsekuensinya. Misalnya, ketika seseorang membenarkan adanya Allah, maka dengan serta merta ia harus mengakui dan menerima segala ketetapan yang telah digariskan Allah. Hal ini disebut qabul (penerimaan segala konsekuensi) dan Idzi’an (pengakuan) yang merupakan mata rantai antara Iman dan Islam.

 Sampai di sini, Iman sudah lebih dari hanya sekedar keyakinan dalam hati, ia sudah mulai menyentuh ranah iqrar bi lisan dan ‘amal bil-arkan. Dua aspek terakhir merupakan measure (tolok ukur) untuk mengetahui kadar keyakinan (aspek pertama yang asasi). Untuk selanjutnya, kami akan menggunakan term Iman ini dalam bingkai holistik-integral, yakni “ kadar komitmen seseorang terhadap apa yang diyakininya”.

B. Iman Aktual ( Tuntunan Rasulullah dalam Aktualisasi Iman )

            Dalam ajaran Islam, interpretasi dan aksi – meminjam istilah Kuntowijoyo – merupakan rumusan dwitunggal yang tidak bisa dipisahkan. Bertindak tanpa didahului  tafakkur sama jeleknya dengan tafakkur yang tidak disusul dengan tindakan. Kita bisa merancang konsepsi Iman sedemikian rupa, hal inilah yang kita sebut dengan Iman konseptual. Sekompleks apapun suatu konsepsi Iman, namun janganlah lupa bahwasanya Allah dalam Al-Qur’an (tidak kurang dari 55 ayat) selalu menyandingkan alladzina amanu (orang-orang beriman) dan ‘amilu al-shalihat (orang-orang yang beramal salih) . Maka di sinilah letak urgensi aktualisasi Iman.  

            Di sini kami hendak menguraikan betapa Nabi Saw. “mewanti-wanti” umatnya untuk tidak hanya beriman sebatas Iman konseptual, melainkan ia bisa naik ke tingkat Iman aktual. Kami akan menyebutkan beberapa hadits terkait dengan teladan Nabi Saw. dalam aktualisasi Iman, yang tercantum dalam kitab-kitab hadits yang secara umum merupakan elaborasi lebih lanjut dari makna ‘amilu al-Shalihat yang selalu bersanding dengan alladzina amanu.

Iman dan amal shalih bisa dianalogikan seperti angin dan daun kelapa yang melambai-lambai. Angin yang tidak nampak bentuknya ibaat Iman yang memang sesuatu yang abstrak. Daun kelapa yang melambai-lambai merupakan pertanda adanya angin yang bertiup seperti amal shalih yang merupakan tanda adanya keimanan dalam diri seseorang.

Hadits 1
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ ...

Ishaq bin Nashr berkata kepada kami: Husayn al-Ju’fy berkata kepada kami: dari Abi Hazim dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw, belau bersabda : “ barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya..”[11]

Melalui hadits di atas, Rasul menegaskan kepada kita bahwa salah satu sifat orang beriman ialah menjaga hubungan dengan tetangganya. Meskipun hatinya yakin dan lisannya menyatakan bahwa dia beriman, jika masih menyaiti tetangga, maka ia masih belum mencapai predikat Iman sempurna. Disinilah korelasi signifikan antara Iman dan ‘amal shalih.

Hadits 2

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Qutaibah bin Sa’d berkata kepada kami: Abu al-Ahwash berkata kepada kami, dari Abi hushain dari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah Saw berkata: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya, dan Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau (jika tidak) hendaklah diam.[12]

Dalam hadits ini, nabi menegaskan tiga karakter orang yang benar-benar beriman :

Ø  Tidak menyakiti tetangga
Ø  Memuliakan tamu
Ø  Berkata baik

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah mengkonepsikan Iman dan amal shalih. Maka tidak terlalu berlebihan jika kita katakan bahwa ukuran keimanan seseorang ialah akhlaknya. Dalam banyak hadits, Rasulullah – mengelaborasi lebih lanjut ayat al-Qur’an – menyertakan akhlak-akhlak terpuji dengan Iman.

Hadits 3

عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعبد الله بن مسعود: يا ابن أم عبد هل تدري من أفضل المؤمنين إيمانا؟ قال: الله ورسوله أعلم، قال: أفضل المؤمنين إيمانا أحاسنهم أخلاق

Dari Ibn Umar, ia berkata: Rasulullah Saw berkata kepda ‘Abdullah bin Mas’ud: “ Hai anak dari ibu seorang hamba sahaya, apakah kamu tahu siapakah orang mu’min yang paling baik imannya ? ”, Abdullah bin Mas’ud berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling baik imannya ialah yang paling baik akhlaknya.” [13]

Secara eksplisit, Rasulullah membertahu kita bahwa keimanan seseorang itu bertingkat-tingkat. Meskipun pada dasarnya mereka sama-sama meyakini dan mengakui, namun masih ada satu difrensiasi lagi yang membedakan masing-masing dalam tingkat keimanannya. Ia adalah akhlak yang baik, yang merupakan karakteristik orang mukmin yang terbaik. Maka Jelaslah posisi amal saleh yang menentukan kualitas keimanan seseorang. Akhlak yang baik merupakan manifestasi Iman yang paling kongkrit yang ditegaskan Rasulullah.

Hadits 4

لا يبلغ عبد حقيقة الإيمان حتى يحب للناس ما يحب لنفسه وحتى يأمن جاره بوائقه.....

.....Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat keimanan sehingga ia bisa mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri dan tetangganya merasa aman dari gangguannya.[14]

Potongan hadits ini merupakan sambungan dari hadits di atas yang masih umum, Nabi memberi contoh-contoh akhlak baik  yang disebutkannya. Nabi mencontohkan kasih sayang kepada orang yang bisa mencakup toleransi, kepedulian sosial, kepekaan sosial, dll. dan (lagi-lagi) beliau menjadikan tetangga sebagai objek yang harus benar-benar dimuliakan.

Dari sini, kita dapat menarik suatu konklusi akan universalitas iman yang mencakup mulai kehidupan personal, tetangga, hingga ruang lingkup yang lebih luas yakni kesejahteraan sosial. Inilah aktualisasi Iman yang sebenarnya, tidak hanya berimplikasi pada diri sendiri namun juga memberkikan kontribusi kepada orang lain.

Hadits 5

عن أبي محمد عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به  حديث حسن صحيح رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح

Dari Aby Muhammad ‘Abdillah bin ‘Amr bin Ash ra, berkata : Rasulullah Saw bersabda : Tidaklah dikatakan beriman salah seorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya bisa mengikuti apa yang aku bawa. (Hadits hasan Sahih kami riwayatkan dari Al-Hujjah dengan sanad yang sahih).[15]

Dalam hadits di atas, Rasul menegaskan satu lagi karakteristik asasi orang beriman, yakni bisa mengendalikan hawa nafsunya. Secara implisit, Rasul memerintahkan kita untuk senantiasa cermat dan berhati-hati dalam segala hal. Kita tidak diperkenankan bertindak sembarangan tanpa perhitungan sebelumnya yang akhirnya bisa merugikan diri sendiri atau orang lain.

Penutup

Inilah sebagian kecil tuntunan Rasulullah Saw kepada kita seputar aktualisasi Iman yang pada dasarnya, semua penjelasan-penjelasan tersebut tidak lepas dari bingkai alladzina amanu dan ‘amilu al-shalihat yang senentiasa bergandeng tangan.

 Sudah terlampau banyak konsepsi tentang Iman dalam berbagai versi, namun adakah konsepsi tersebut memberikan kontribusi kepada diri sendiri khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Di sinilah letak Islam sebagai “rahmatan lil ‘alamin” yang berawal dari “bahan mentah” Iman dan kemudian direalisir dengan ‘amal salih sebagai follow up dari keimanan kita. Sehebat apapun kita membuat konsepsi Keimanan, namun hanya Iman aktuallah yang akan bisa merubah sejarah.


Sources :

Izutsu, Toshihiko, The Concept of Believe in Islamic Theology, Yogyakarta, Tiara Wacana: 1994
CD Room Maktabah Syamilah, al-Ishdar al-Tsalis
http://dictionary.reference.com , diakses 23 Maret 2011

End Notes :


[1] Toshihiko Izutsu, The Concept of Believe in Islamic Theology, ter. Agus Fahri, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 65
[2] Sahih Bukhari,  Bab Al-Iman , No.  7
[3] Sahih Muslim, Bab Al-Iman, No. 9
[4] Ibn Mandzhur, Lisanul ‘Arab, Juz. 13, hlm. 21, CD Room Maktabah Syamilah al-Ishdar al-Tsalis.
[5] Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, Juz. 1, hlm.22,  CD Room Maktabah Syamilah.
[6] http://dictionary.refrence.com , diakses pada 23 Maret 2011.
[7] Tasfir Al-Kasysyaf, Juz. 1, hlm. 23
[8] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, Juz. 1, hlm. 239, CD Room Maktabah Syamilah
[9] Toshihiko Izutsu, The Concept of Beliefe in Islamic Theology, hlm. 1
[10] Sahih Muslim, Bab Al-Iman, no. 9
[11] Sahih Bukhari, No. 4787
[12] Sahih Bukhari, no.5559
[13] Kanzul ‘Ummal, no. 8403
[14]Ibid, no. 8403
[15] Arba’in Nawawiyah, no.41

0 comments

Posting Komentar