PENDAHULUAN
Seluruh umat muslim di semua belahan dunia tanpa terkecuali, berusaha untuk mendefinisikan dan memproporsikan agama mereka dalam bingkai politik. Hasilnya secara sederhana dapat disimpulkan dalam dua kalimat saja, divisive (pemisahan) dan inconclusive (tanpa konklusi). Di satu sisi, mereka yang memandang masalah ini dengan kacamata liberal, meletakkan pandangan sekuler dalam membaca masalah ini, namun di sisi yang lain, mereka yang konservatif menggalakkan pandangan religiusitas ketika menempatkan agama dalam dimensi politik.
Sayangnya, polarisasi kedua perspektif ini menimbulkan kegagalan dalam membangun konklusi atau bahkan konsensus yang established dalam sebuah populasi umat Islam. Kita harus menyadari bahwa menampilkan agama sebagai sebuah kepercayaan individual milik perseorangan tanpa melibatkan komunitas lain yang lebih besar adalah sesuatu yang mustahil. Dalam konteks modernitas, kita dituntut untuk terbiasa menganalisis masyarakat berdasarkan term “ hak individu “. Kebebasan memeluk agama merupakan suatu konklusi berdasarkan premis-premis di atas, namun hal ini sering mengundang asumsi banyak orang tentang teori negara sekuler.
Permasalahannya menjadi lebih kompleks ketika kita mulai berbicara tentang hak dalam berbagai perspektif. Masyarakat merupakan sebuah kompromi dari semua individu yang ada, hak dan kebebasan sepenuhnya didefinisikan dan dibatasi oleh hal tersebut. Untuk dapat hidup berdampingan dengan orang lain, sikap dan perilaku seseorang harus dapat diterima oleh orang lain di sekitarnya. Seseorang dapat benar-benar menjadi bebas dalam arti sepenuhnya jika ia mengisolasi diri dari orang lain di sekitarnya. Oleh karenanya, setiap orang yang berada dalam suatu komunitas masyarakat terikat oleh sebuah kontrak implisit dengan masyarakat di mana ia tinggal. Hak setiap individu akan ditentukan oleh kontrak ini berdasarkan kultural yang berlaku dan norma-norma agama di setiap komunitas. Perubahan sosial akan ditentukan oleh puas tidaknya individu terhadap hasil kontrak, sampai ia merasa perlu untuk memaksa masyarakatnya merundingkan kembali kontrak implisit tersebut.
Berbicara mengenai hak-hak yang dimiliki setiap individu di satu sisi dan keterikatannya dengan suatu kontrak implisit di sisi yang lain, maka perbincangan seputar Hak Asasi Manusia (HAM) adalah niscaya. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya HAM atau Human Rights ini merupakan suatu hal yang paling mendasar dan fundamental sebagai cerminan dari konsep kesetaraan dan kemerdekaan manusia. Sehingga tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa HAM ini merupakan “ syarat wajib “ yang mesti ada dalam sebuah negara. Di indonesia UUD 1945 dapat dikatakan sebagai undang-undang terlengkap yang memuat perlindungan terhadap HAM dan dijelaskan secara operasional dijelaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999.[1] Intinya, konsep HAM kini telah membumi bahkan mendarah daging di negara kita. Di tingkat internasional, puncak perjuangan akan pembelaan dan perlindungan HAM ini ditandai dengan dikeluarkannya Universal Declaration of Human Rights oleh PBB pada tahun 1948.
Sekarang timbul sebuah pertanyaan, bagaimana kita menemukan pandangan dan support Islam terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) ?, sejauh mana Islam memberi perhatian kepada masalah yang satu ini ?. Jawabannya tiada lain ialah merupakan beberapa “ interpretasi “ tentang ayat-ayat Al-Qur’an, bukan beberapa “ literal “ ayat-ayat Al-Qur’an. Maka makalah Ayat-Ayat HAM ini dimaksudkan untuk memberikan sebagian kecil support Al-Qur’an seputar HAM yang terdiri dari beberapa interpretasi singkat para Ulama seputar ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait masalah HAM.
...............
A. Islam Teologis, Kosmos dan Kosmis
Secara etimologis, Islam berasal dari aslama-yuslimu-Islaam-salaam atau salaamah, yaitu tunduk kepada kehendak Allah SWT agar menadapat salaam / salaamah (keselamatan atau kedamaian) di dunia dan akhirat. Prosesnya disebut Islam dan pelakunya disebut muslim. Jadi Islam adalah proses bukan tujuan. Islami ialah setiap proses yang mengantarkan kepada keselamatan dan kedamaian dari dunia (kosmos dan kosmis) sampai akhirat (teologis).[2]
Kehendak Allah diekspresikan dalam tiga ayat berbeda yang komplementer. Pertama, ayat Qur’aniyah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat dalam Qur’an dan Hadits Sahih. Diantara hukum yang terpenting di sini ialah Tauhid (Keesaan Allah), akhlak (moralitas) dan keadilan (hukum kepasangan positif-negatif).
Kedua, ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di jagad raya (kosmos). Tanda kebesaran Allah di sini ialah hukum kepasangan yang dititipkan Allah pada benda-benda alamiah. Sunnatullah (hukum alam) memegang peranan kunci dalam keselamatan dan kedamaian di dunia. Jadi, Islami pada tingkat alam ialah menyeimbangkan potensi negatif dan positif suatu benda kapan pun dan di mana pun. Islami di sini dapat ditarik sampai memaksimalkan potensi positif dan meminimalkan potensi negatif suatu benda. Hukum alam ini berlaku bagi siapa saja tanpa mengenal batas kemanusiaan apapun seperti agama, ras dan status sosial.
Ketiga, ayat Insaniah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah atau hukum-hukum Allah yang mengatur kehidupan manusia (kosmis). Lagi-lagi hukum yang berlaku di sini ialah hukum kepasangan. Islam dan Iman pada tingkat ini ialah menyeimbangkan potensi positif dan negatif, yaitu menciptakan keseimbangan atau keadilan sosial. Posisi ayat insaniyah berada di tengah-tengah lebih pasti dari ayat Qur’aniyah (dosa vertikal mudah diampuni Allah) dan lebih fleksibel dari ayat kauniyah, karena kesalahan sosial dapat diampuni namun kesalahan alamiah seringkali tidak bisa diampuni. Maka, Islam adalah mengintegrasikan kehendak Allah yang ada dalam Kitab Suci, alam dan manusia, sehingga terbebas dari bencana teologis, kosmos dan kosmis. Inilah yang disebut islam Kaffah.[3] Dalam relevansinya dengan Islam, maka konsep HAM ini memasuki wilayah operasi Islam kosmis dan tentunya dengan rambu-rambu ayat-ayat Qur’aniyah sebagai ayat yang pokok.
B. Seputar HAM
Tonggak berlakunya HAM internasional ialah pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris, Prancis. Deklarasi ini ditanda tangani oleh 48 negara dari 58 negara anggota PBB dan disetujui oleh majelis umum PBB. Perumusan penghormatan dan pengakuan norma-norma HAM yang bersifat universal, nondiskriminasi, dan imparsial telah berlangsung dalam sebuah proses yang sangat panjang.
Hak asasi manusia merupakan hak dasar, pemberian Tuhan dan dimiliki manusia selama hidup dan sesudahnya serta tidak dapat dicabut dengan semau-maunya tanpa keentuan hukum, sehingga harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh individu, masyarakat dan negara. Tiap manusia memiliki hak untuk hidup , kawin, berkeluarga, kebebasan berfikir, kesenangan, keselamatan, dll. Karena individu memiliki hak-hak itu, maka kewajiban individu lain untuk menghormatinya.[4]
Konsep dasar HAM menurut Fanz Magnis-Suseno mempunyai dua dimensi pemikiran, yaitu : [5]
1. Dimensi Universalitas, yakni substansi HAM itu pada hakikatnya bersifat umum. HAM akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan manapun, apakah itu kebudayaan barat atau timur.
2. Dimensi Kontekstualitas, yakni menyangkut penerapan HAM jika ditinjau dari tempat berlakunya HAM tersebut. Maksudnya adalah ide-ide HAM dapat diterapkan secara efektif sepanjang tempat ide-ide HAM itu memberikan suasana yang kondusif.
Terdapat dua garis besar pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif dan Hak Positif. Pembagian hak-hak ini berhubungan dengan dengan ukuran keterlibatan negara dalam pemenuhan hak asasi manusia. Pembagian ini tidak berdasarkan baik atau buruk dalam hak yang terkandung di dalamnya.
Mengenai Hak Negatif adalah hak meminimalkan peran campur tangan negara, maka semakin terpenuhi pula hak-hak sipil dan politik. Peminimalisiran peran negara dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politik karena hak-hak yang berkaitan dengan sipil dan politik adalah hak yang berkaitan dengan kebebasan. Karena sebagian besar kandungan hak-hak sipil politik adalah hak-hak atas kebebasan (rights to liberty).
Selain hak hak sipil dan politik diatas hak asasi manusia juga mencakup hak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini termasuk dalam pembagian hak positif yang mengusahakan peran negara secara maksimal dalam pemenuhannya. nya hak ini dalam HAM universal adalah buah dari perdebatan blok sosialis eropa timur dengan blok liberal. Karena blok sosialis lebih berpegangan pada ekonomi sebagai dasar masyarakat. Kebijakan negara sosialis lebih menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti pendidikan gratis. Sedangkan masyarakat blok liberal lebih menekankan manusia sebagai individu yang bebas. Namun, akhirnya usulan dari blok sosialis diterima. Sehingga HAM universal menganjurkan melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya setiap warganya.
Adapun nilai-nilai dasar yang terkandung dalam HAM ialah :
1. Kesamaan (equality)
2. Kebebasan (liberty)
3. Kebersamaan (solidarity)[6]
C. Islam dan HAM
Hak asasi manusia tertuang secara transenden untuk kepentingan umat manusia, lewat syari’ah Islam yang diturunkan melelui wahyu. Pada dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam “Maqashid Syari’ah”. Konsep ini berisi lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu din (penghormatan kebebasan beragama), hifdzul mal (penghormatan harta benda), hifdzun nafs wal ‘irdl (penghormatan atas jiwa dan kehormatan individu), hifdzul ‘aql (penghormatan kebebasan berfikir), dan hifdzun nasl (keharusan menjaga keturunan).
Penghargaan Al-Qur’an terhadap HAM dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an :
1. Al-Qur’an berbicara tentang hidup dalam 80 ayat, pemeliharaan kehidupan (misalnya, Al-Maidah : 32) dan 20 ayat tentang kehormatan
2. Al-Qur’an berbicara tentang ciptaan dan makhluk-makhluk serta persamaan antar makhluk dalam 150 ayat, seperti Al-Hujurat : 13
3. Al-Qur’an menentang kezaliman dan orang zalim dalam 320 ayat dan memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat
4. Dalam Al-Qur’an sekitar 10 ayat berbicara tentang larangan memaksa untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan berasprasi, seperti Al-Kahfi : 29.
C. Al-Qur’an Berbicara HAM ( Interpretasi Singkat Ayat-Ayat HAM)
1. Hak hidup, keselamatan diri, memperoleh perlindungan diri, kehormatan dan harta benda, Al-Maidah ayat 32 :
“ Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi “. (Al-Maidah : 32)
Syekh Musthafa Al-Maraghy dalam tafsirnya berkomentar : Ayat ini mengindikasikan kepada kita akan kewajiban menjaga kesatuan umat manusia (wahdatul basyar), menjaga kelangsungan hidup mereka, menyingkirkan segala hal yang dapat membahayakan setiap individu dan memenuhi hak setiap individu. Jika anda melanggar dan merusak kehormatan individu itu berararti anda merusak kehormatan seluruh manusia, sebaliknya ketika anda memenuhi hak-hak individu maka anda telah memenuhi hak-hak seluruh manusia (hak universal).[7]
Di sini kita dapat melihat betapa besar penghargaan Islam terhadap inti dari hak asasi yakni hak untuk mendapatkan kehidupan. Dengan tegasnya Al-Qur’an melarang pembunuhan tanpa didasarkan alasan yang dibenarkan agama. Bahkan hukuman bagi pembunuh (qishas) dalam Surat Al-Baqarah : 178 dan An-Nisa : 93 semata-mata merupakan bentuk tindakan paling tegas dari ayat Al-Qur’an demi menjaga kelangsungan hidup manusia.
2. Hak Kebebasan Beragama, Surat Al-Baqarah ayat 256 :
“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui “. (Al-Baqarah : 256)
Masih menurut Syekh Al-Maraghy, tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam, karena Iman adalah kepatuhan (idz’an) dan ketundukan (khudlu’), dan keduanya tidak akan pernah terwujud oleh pemaksaan, melainkan dengan hujjah (argumen). Cukuplah ayat ini sebagai dalil bagi para musuh Islam yang menyatakan bahwa Islam tidak akan berdiri kecuali dengan pedang sebagai penolongnya.[8]
Jawdat Said menyebut ayat di atas sebagai âyat kabîrat jiddân (ayat universal). Apalagi, menurut Jawdat Said, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang dianggap sebagai salah satu ayat paling utama. Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat tersebut mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.
Ayat ini juga melarang membunuh orang yang pindah agama, karena ayat itu turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama. Said menambahkan, para perawi hadits yang memerintahkan membunuh orang murtad tak pernah menjelaskan sebab kehadiran (sabab al-wurûd) hadits tersebut. Said menilai hadits itu sebagai dla`îf karena bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam yang menjamin kebebasan beragama. Jika bisa disebut sebagai hadits, maka itu berarti larangan kepada seseorang untuk masuk pada suatu agama sekedar untuk main-main, bukan atas dasar keimanan. Menurut Jaudat Said, sejak mula Islam memperkenalkan kebebasan beragama. Orang yang memaksakan agama menurut Jaudat Said, mengidap penyakit jiwa (maradl nafsiy). Bahkan, Said menegaskan bahwa jihad disyari’atkan untuk menghapuskan pemaksaan (al-ikrah) dan membiarkan seluruh manusia merdeka dalam memilih sesuatu yang dianggapnya benar.[9]
Di samping Islam menjunjung tinggi kemerdekaan beragama, ia juga menuntun umatnya untuk biasa bersikap toleransi terhadap pemeluk agama lain, termasuk juga melindungi hak-haknya. Misalnya kita dilarang untuk memaki sesembahan penganut agama lain, meskipun hal itu termasuk syirik dalam Islam,
“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan …” ( Al-An’am : 101 )
3. Hak Atas keadilan, Surat An-Nahl Ayat 90 :
“ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran “. (An-Nahl : 90)
Imam Ali As-Shabuni berkata dalam Shafwah At-Tafasir-nya bahwa Allah SWT menyuruh kita untuk berakhlak mulia dengan adil kepada seluruh manusia dan berbuat baik (ihsan) kepada semua makhluk. Allah melarang kita dari perbuatan dan perkataan yang keji. Ibnu Mas’ud berkata : “ ayat ini merupakan ayat yang paling mencakup akan poin-poin kebaikan yang mesti dilaksanakan, dan kejelekan-kejelekan yang mesti dijauhi “. Kata fahsyaa (keji) berarti segala sesuatu yang benar-benar dipandang jelek menurut agama, seperti syirik dan zina. Kata Munkar berarti segala sesuatu yang melawan fitrah manusia. Kata Baghy (permusuhan) berarti kezaliman dan melampaui batas-batas kebenaran dan keadilan.[10]
Keadilan merupakan cita-cita dasar Islam dan merupakan disiplin mutlak untuk menegakkan kehormatan manusia. Islam mewajibkan kita untuk berlaku adil kepada siapa pun dan di mana pun. Misalnya kita temukan ayat yang menganjurkan berbuat baik dan berlaku adil kepada ahli kitab (Al-Mumtahinah : 8) bahkan kepada musuh sekali pun (Al-Maidah : 2). Di sini kita dapat melihat penghargaan Islam akan keadilan dan kesetaraan di tengah pluralitas. Lawan dari adil ialah zalim, salah satu hal yang paling ditentang oleh Islam yang dicela Al-Qur’an dalam 320 ayat yang berisi penentangan akan kezaliman dan orang yang zalim.
4. Hak Persamaan ( Equality ), Surat Al-Hujurat Ayat 13 :
“ Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal “. (Al-Hujurat : 13)
Tuhan menjadikan kita dari satu keturunan, Adam dan Hawa, maka masih terlintaskah di benak kita untuk mencaci maki orang lain (yang masih satu keturunan) ?, sungguh sangat ironis jika ada seseorang yang mencaci maki saudaranya sendiri. At-Thabary meriwayatkan : “ Rasulullah Saw berkhutbah di atas unta ketika pertengahan hari tasyriq : ‘ Hai manusia, ketahuilah bahwa Tuhanmu itu satu dan bapakmu juga satu, ingatlah, tidak ada superioritas bangsa arab atas bangsa-bangsa yang lainnya dan juga sebaliknya. Tidak ada superioritas orang berkulit hitam atas orang berkulit merah dan juga sebaliknya kecuali hanya dengan ketakwaan ‘.[11]
Inilah Islam, agama yang menjunjung tinggi equality (persamaan) dan plurality (pluralitas) di kalangan umat manusia. Ia menyatakan perang terhadap rasisme, diskriminasi, marginalisasi, superioritas, disintegrasi dan fanatisme. Tidak ada alasan bagi manusia untuk saling menyombongkan diri. Tujuan Tuhan menjadikan kita serba plural tiada lain adalah untuk saling mengenal. Menurut Syekh Ali As-Shabuni, maksud kata “ lita’arafuu “ ialah supaya kamu bisa saling mengenal dan menebar kasih sayang satu sama lain. [12]
Konsep equality dalam Islam ini mencakup segala aspek, termasuk di dalamnya persamaan di depan hukum, baik laki-laki atau wanita (Al-Maidah : 38). Sebagaimana kita tahu bahwa sebelum Islam datang, dalam tradisi kaum paganisme arab, perempuan adalah makhluk nomor dua, maka dehumanisasi ( allaa insaniyyah ) terhadap kaum perempuan pernah terjadi dalam panggung sejarah. Al-Kitab menyatakan wanita sebagai afterthought, untuk menjadi penolong pria. Confucius menyatakan bahwa ada dua makhluk yang sukar diatur, perempuan dan turunan orang rendah. Islam mengakhiri semua ini sekaligus melakukan usaha emansipasi yang pertama kali dalam sejarah. Semuanya sama,hanya ketakwaan yang membedakan derajat manusia di hadapan Tuhannya.
5. Hak Memperoleh Kemerdekaan Berfikir, Berpendapat, dan Hak Memperoleh Pendidikan dan Pengajaran, Surat Al-A`raf ayat 179, An-Nisa ayat 148, At-Taubah ayat 122 :
“ Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai “ (Al-A’raf : 179)
“ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka “. (As-Syura : 38)
“ Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya “ . (At-Taubah : 122)
Mengomentari Surat Al-A’raf : 179 ini, Syekh Muhammad Abduh berkata, Kata “qulub” dalam ayat ini ialah bermakna akal dan intuisi rohani. Kata “yafqahuna / fiqh” berarti mengetahui (‘ilm) dan memahami (fahm). Maksudnya ialah mereka yang tidak menggunakan akal mereka untuk memahami ayat-ayat Tuhan yang tertuang di dalam diri mereka ataupun di alam semesta, atau ayat-ayat yang ditegaskan para Rasul termasuk ayat-ayat ilmiah, ayat-ayat kosmos (kauniyah) dan ayat-ayat sosial yang berupa sunnatullah dalam konteks masyarakat (kosmis).[13]Jelaslah bahwa ayat ini memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dan alat inderanya, menyia-nyiakan atau memasung fungsi akal dan alat indera sama dengan menantang ancaman neraka.
Kebebasan berpendapat dalam Islam juga dijamin oleh lembaga syura, sebagaimana tertera dalam surat As-Syura : 38. Konsep musyawarah merupakan suatu hal yang paling disoroti oleh Islam, karena musyawarah merupakan cara paling efektif dalam menemukan sintesis dari perbenturan tesis dan antitesis. Berawal dari sebuah adagium one men one vote maka setiap tesis “wajib” disusul oleh suatu antitesis, ketika keduanya berbentur penyelesaiannya hanya bisa dengan musyawarah. Karena yang menjadi tujuan pokok musyawarah adalah mencapai kata “mufakat”, maka semua peserta musyawarah diberikan hak yang sama dalam memberikan opini. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat sangat dihargai Islam, tentunya dengan rambu-rambu tertentu, sehingga tidak menjadi kebebasan yang “liar”.
Adapun Surat At-Taubah : 122, ayat ini memberi indikasi kepada kita akan kewajiban menuntut ilmu / mengenyam pendidikan (tafaqquh) dan kewajiban meratakan pendidikan di seluruh daerah serta memberikan pendidikan (tafqiih) secara merata di seluruh daerah, sehingga orang-orang di daerah tersebut menjadi kaum terdidik, setidaknya dalam batas minimal mereka dapat mengetahui ilmu-ilmu yang wajib mereka ketahui seperti ilmu agama.[14] Maka hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran merupakan suatu hak yang fundamental dalam kehidupan manusia, karena melalui pendidikan dan pengajaran ini, manusia akan memperoleh bekal untuk melakukan perjalanan hidupnya di dunia (life skill) sampai di akhirat (ilmu agama).
6. Hak Kepemilikan, Surat Al-Baqarah Ayat 188 :
“ Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui “. (Al-Baqarah : 188)
Spirit Syari’ah Islam mengajari kita untuk berpedoman kepada ideal moral ayat ini, bahwasanya seseorang dituntut untuk mengusahakan harta dengan cara yang benar sesuai syari’at yang tidak merugikan siapapun.[15]Dengan demikian Islam menjamin akan kepemilikan yang sah dan mengharamkan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya. Islam melarang segala usaha yang merugikan hajat manusia, Islam juga mengharamkan penipuan dalam perniagaan. Islam juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan dari usaha yang halal, kecuali untuk kemaslahatan umum, dan mewajibkan pembayaran ganti rugi yang setimpal bagi pemiliknya.
7. Hak Memperoleh Pekerjaan Yang Layak, Surat Al-Mulk Ayat 15 :
“ Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan “. (Al-Mulk : 15)
Tuhan telah menundukkan dan menjadikan bumi ini tempat yang mudah bagimu, Ia telah menjadikan bumi sebagai tempat bersinggah yang tenang. Janganlah merasa risau dan bimbang dengan gunung-gunung yang terpancung, temukanlah mata air di dalamnya untuk kamu minum, juga bagi ternakmu, kebunmu dan buah-buahan milikmu. Telusurilah jalan-jalannya, jelajahilah ke seluruh penjurunya sesuka hatimu, sisirlah seluruh wilayahnya, untuk mendapatkan bermacam-macam penghidupan dan perniagaan. Makanlah apa-apa yang telah disediakan Tuhanmu di sana, rezeki yang amat luas menantimu di dalam sana, dengan anugrah Allah SWT.[16] Bumi diciptakan Allah untuk kebaikan manusia tetapi manusia harus mengambil inisiatif sendiri secara bebas untuk menentukan pilihan terhadap pekerjaanya.
Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa Islam adalah agama yang kompleks dan universal. Jauh sebelum Magna Charta, Bill of Rights, Petiton of Rights, Hobeas Corpus Act, Declaration of Independence, Declaration des Droits de L’homme Et Du Citoyen dan Universal Declaration of Human Rights oleh PBB dikumandangkan, Risalah Muhammad Saw. 14 abad sebelumnya telah memproklamirkan HAM ini dalam rangka mengangkat harakat dan martabat manusia.
Islam adalah agama yang paling pertama dan utama dalam mendeklarasikan HAM ini baik dari segi historis, kualitas dan keluasan cakupannya.
Satu hal yang penting dari sistem ayat Al-Qur’an terkait hal ini, jika kita perhatikan dengan seksama, ketika Al-Qur’an berbicara hak asasi ini, maka di sana terdapat suatu keniscayaan, yakni “ kewajiban asasi “ dan “ tanggung jawab asasi “ yang merupakan konsekuensi logis dari hak asasi itu sendiri. Misalnya ketika seseorang itu diberikan hak untuk bebas memilih suatu agama (Al-Baqarah : 256), maka ketika itu pula ia berkewajiban untuk menghormati pemeluk agama lain (Al-Kafirun : 6) dan bertanggung jawab dengan pilihannya itu, dalam artian menanggung segala konsekuensinya (Al-Baqarah : 281). Walhasil, ketika orang tersebut menjatuhkan pilihannya terhadap suatu agama, maka orang tersebut terikat dengan aturan-aturan yang berlaku di agama itu.
Pada tanggal 21 Dzulqa`idah 1401 H (19 September 1981), para ulama dan pakar Islam mengadakan muktamar di London untuk melihat rincian hak-hak asasi yang dideklarasikan Islam 15 abad yang lalu dalam Alquran. Muktamar tersebut meringkas HAM dalam Islam sebagai berikut : 1. Hak hidup, 2. Hak mendapat kebebasan, 3. Hak persamaan, 4. Hak mendapat keadilan, 5. Hak mendapat perlakuan pengadilan yang adil, 6. Hak mendapat perlindungan dari penyiksaan, 7. Hak mendapat perlindungan atas kehormatan dan nama baiknya, 8. Hak mendapat suaka di negara Islam, 9. Hak mendapatkan kebebasan dalam berfikir, memeluk suatu keyakinan dan kebebasan berpendapat, 10. Hak ikut serta dalam kehidupan umum, 11. Hak untuk menghormati hak-hak kelompok minoritas, 12. Hak kebebaasan beragama, 13. Hak berdakwah dan menyampaikan ajaran, 14. Menikmati hak-hak ekonomi, 15. Hak mendapat perlindungan milik pribadi, 16. Hak mendapat pekerjaan, 17. Hak mendapat kebutuhan pokok untuk hidup layak, 18. Hak untuk membangun keluarga, 19. Hak mendapatkan pendidikan yang layak, 20. Hak masing-masing suami dan istri, 21. Hak individu untuk mendapatkan perlindungan hal-hal khusus priadinya, 22. Hak untuk bepergian dan bertempat tinggal (Dr. Ashim Ahmad Ujailah, Al hurriyah Al-Fikriyyah).[17]
Erwin, Muhammad. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.
Wahyudi, Yudian. Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik, Yogyakarta: Nawesea Press, 2007.
Al-Maraghy, Musthafa. Tafsir Al-Maraghy, Kairo: Babil Halaby, 1946.
As-Shabuni, Ali. Shafwah At-Tafaasir, Beirut: Darul Qur’anil Karim, tanpa tahun.
Ridla,Sayyid Rasyid. Tafsir Al-Qur’anil Hakim (Tafsir Al-Manar), Mesir: Mathba’ah Al-Manar, 1932.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Abd. Moqsith Ghazali, “Jawdat Said dan Tafsir Laa Ikraaha Fiddin” dalam www.islamlib.com, diakses tanggal 16 Januari 2011.
End Note
[1] Muhammad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung : PT.Refika Aditama, 2010), hlm. 174
[2] Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Poltik, (Yogyakarta : Nawesea Press, 2007), hlm.25
[3] Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik, hlm. 26
[4] Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, hlm. 158
[5] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik (Prinsip-prisip Moral Dasar Kewarganegaraan Modern), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 114
[6] Pendidikan Kewarganegaraab Republik Indonesia, hlm. 166
[7] Ahmad Musthafa Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, (Kairo : Babil Halaby, 1946), Juz 6, hlm. 102
[8] Tafsir Al-Maraghy, Juz 3, hlm. 16
[9] Abd. Moqsith Ghazali, Jawdat Said dan Tafsir Laa Ikraaha Fid Din, www.islamlib.com, diakses 16 januari 2011
[10] Ali As-Shabuny, Shafwah At-Tafaasir, ( Beirut : Darul Qur’an Al-Karim, tanpa tahun ) jilid 2, hlm.139
[11] Tafsir Al-Maraghy, Juz 26, hlm. 126
[12] Shafwah At-Tafaasir, Jilid 3, hlm. 236
[13] Sayyid Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Mesir : Mathba’ah Al-Manar, 1932), Juz 6, hlm 355-356
[14] Tafsir Maraghy, Juz 11, hlm. 48
[15] Tafsir Al-Manar, Juz 2, hlm 158
[16] Tafsir Al-Maraghy, Juz 29, hlm 15
[17] Dr. Ashim Ahmad Ujailah, Al hurriyah al fikriyah, Nahdhoh Misr, hal. 13-14 dalam Ahmad Satori dkk: 64-65)
0 comments
Posting Komentar