By : Asep Nahrul M
“ A New Civilization is forming. But where do we fit into it ? Don’t today’s technological changes and social upheavals mean the end of friendship, love, commitment, community, and caring ? Won’t tomorrow’s electronic marvels make human relationship even more vacuous and vicarious than they are today ? “ ( Alfin Toffler, 1981).[1]
A. Kegelisahan Baru
Tak lama setelah bangsa Indonesia menghirup udara bebas kemerdekaan, ancaman baru muncul. Agresi militer Inggris dan Belanda pasca proklamasi menyadarkan bangsa Indonesia bahwa perjuangan masih terus berlanjut. “ Bandung Lautan Api “ dan pertempuran “ Arek-Arek Suroboyo “misalnya, merupakan perjuangan lanjutan membantai kolonialisme. Tak hanya sampai di sini, ancaman lain datang dari dalam negeri sendiri. Sebut saja G-30/s PKI dan DI/TII yang menjadi ancaman serius bagi integritas bangsa. Beberapa dekade lamanya, Indonesia “ dijajah “ oleh dirinya sendiri. Selalu ada ancaman dan kegelisahan baru yang merundungi setiap kali bangsa Indonesia terbebas dari suatu bentuk kolonialisme. Memasuki usia ke 66 kemerdekaan Indonesia, adakah kegelisahan baru yang anda rasakan ?
Ini adalah sebuah cerita tentang revolusi besar-besaran yang menggejala di seluruh dunia saat ini, ketika segala bentuk imperialisme – katanya – telah dihapuskan dari atas dunia. Teknologi nuklir telah mampu melahirkan pion cancer therapy yang berguna bagi penderita kanker. Di sisi lain, puluhan ribu senjata nuklir yang ada di dunia memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang jatuh di hiroshima. Lebih dari itu, bioteknologi masa kini telah mampu “ membuat manusia “.[2] Bank sperma dan surrogate mother [3] merupakan dua term baru yang dilahirkan oleh rekayasa ini. Di lain pihak, teknologi komputer telah menggantikan kegiatan keseharian manusia. Ia telah telah menggeser surat kabar, perpustakaan, sekolah, pengajian, dsb. Tidak hanya sampai di sana, agama konvensional pun hampir tergeser olehnya, munculah agama televisi-nya George Gerbner, hingga maraknya “ privatisasi agama “ secara liar. Fenomena inilah kiranya yang menjadi kegelisahan Alvin Toffler, seorang pengamat sosial dari Amerika dalam “ epigraf “ di atas dan sepatutnya menjadi kegelisahan kita juga. Mengapa gelisah ?
B. Neo-Imperialisme : Musuh Kita Yang Baru
Dengan menganalisis 4 sistem yang komplementer; teknologi, informasi, sosial, dan psiklogis, Toffler memetakan fase peradaban manusia dari masa kemasa. Menurutnya, saat ini umat manusia telah sampai pada ambang gelombang ketiga (The Third Wave), yang disambut dengan revolusi masif dalam segala bidang yang meniscayakan globalisasi. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi, revolusi masif ini diasumsikannya sebagai titik balik kesadaran umat manusia akan nilai-nilai etis, atau dalam bahasa Toffler “ the crack up of its psycho-sphere ”. Premis revolusioner hanya sekedar simplifikasi belaka jika nilai-nilai etis sudah tiada. Inilah yang kita namakan neo-imperialisme, model penjajahan masa kini yang telah menjangkit masyarakat kita tanpa sadar. Penjajahan yang sistemik dan terorganisir melalui aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri, mencakup sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan agama, dan yang terpenting ialah rontoknya nilai-nilai etis dan moralitas.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Aktual menyebutkan delapan megatrends dunia abad 21, yang disingkat dengan 8 F. Pertama, Food (makanan). Orang tidak lagi makan makanan daerahnya. Resep Kolonel Sanders dari Kentucky Fried Chicken dinikmati baik oleh penduduk cichago maupun Cikaso. Kedua, Fashion (pakaian). Sekarang ini di dunia terdapat kota kota-kota yang menentukan perkembangan busana di seluruh dunia. Majalah mode Prancis Elle dicetak dalam enam belas edisi internasional. Wanita Kuwait dan Arab termasuk pelanggan majalah itu. Ketiga, Fun (hiburan). Hiburan bukan hanya pelepas lelah atau pengisi waktu santai. Dalam hiburan – apapun bentuknya – selalu terkandung nilai-nilai. Hiburan dapat mendorong demoralisasi, agresi, dan despiritualisasi. Keempat, Faith (keimanan). Globalisasi kebangkitan islam saat ini ditandai dengan mengecilnya sekat-sekat mazhab. Mereka melihat dunia Islam dengan tunggal. Kelima, Fears (ketakutan). Karena negara-negara didunia ini sudah saling bergantung (interdependent), maka masalah besar umat manusia menjadi masalah semua orang. Keenam, ketujuh, dan kedelapan, Facts, Fictions dan Formulations, (Fakta, Fiksi, dan Formula). Teknologi komunikasi bukan hanya menyajikan realitas, dengan menggunakan teknik-teknik presentasi (seperti ambilan dan special effect), media masa dapat menyajikan realitas buatan. (Jalaluddin Rakhmat : 1991).
Ini adalah sebagian kecil dari sindrom akut imperialisme yang memuat banyak sekali nilai-nilai destruktif bagi masyarakat kita dengan seluruh dimensinya. Tidak berlebihan jika Toffler melihat fenomena ini sebagai akhir dari persahabatan, rasa cinta, komitmen, komunitas, dan kepedulian antar sesama. Lantas, bagaimana pesantren yang diasumsikan banyak orang sebagai dunia kaum sarungan dengan peci miring di atasnya yang dianggap sebagai pelestari tradisi grass root, stagnan, kuno, dan kolot mencoba masuk ke dalam zona eksklusif ini ?
C. Agenda-Agenda Baru
Di tengah keasyikan menikmati potret dirinya yang romantis, pesantren harus puas menerima sebuah “ tamparan pedas “ realitas. Kemudian romantisasi mulai dikurangi, mentalitas klasik mulai di-up date, hijab-hijab dikotomis mulai disingkirkan, dan slogan kuno dan kolot pun telah dibuang jauh-jauh. Untuk sementara waktu, mungkin ia akan terkena alienasi (keterasingan dari dirinya), namun slow but sure, tantangan zaman akan membuatnya sadar dari hal tersebut.
Sekarang tiba saatnya bagi pesantren untuk take action dalam pergolakan neo-imperialisme ini. Pesantren harus mencoba untuk terbiasa akrab dengan “ premis revolusioner “ tanpa meninggalkan “ premis moralitas “. Permasalahannya lebih ditekankan kepada bagaimana ia bisa mensintesakan keduanya. Justru karena imunitas moral itu pesantren dapat bertahan melintasi ruang-waktu. Pesantren diyakini merupakan lembaga solutif-alternatif dalam pembangunan moralitas bangsa. Sosok santri, dalam psikologi humanistik dicerminkan sebagai “ Aku Ideal “ yang memiliki ketinggian akhlak dan kelebihan ilmu. Adagium “ menjaga tradisi lama yang baik dan menciptakan inovasi baru yang lebih baik “ merupakan prinsip asasi yang selamanya harus di oleh setiap pesantren.
Menindak lanjuti beberapa kegelisahan di atas, pesantren harus mulai menyusun agenda-agenda baru menyongsong perguliran paradigma dunia semacam ini. Keyword-nya terletak pada “ integrasi ashalah dan hadatsah “, tidak terlalu romantis terhadap ashalah dan mulai membuka pintu pada hadatsah. Mentalitas klasik harus sedikit diturunkan. Jika dahulu pembahasan “ titik ba basmalah “ ketika ngaji al-fiyyah atau mughnil labib menghabiskan waktu hingga satu minggu atau bahkan satu bulan, sekarang cukup hanya satu pertemuan saja sampai para santri mengerti bahwa sesuatu itu namanya titik ba. Inilah yang dimaksud dengan meminimalisir romantisasi dan stagnasi. Integrasi ashalah-hadatsah dalam konteks pengajian di pesantren, dapat dirintis seperti dalam tiga contoh di bawah ini.
Dalam konteks globalisasi makanan (food) di mana halal-haram menjadi invisible, pesantren ditantang untuk menjelaskan mana makanan yang haram menurut syari’at Islam dan mana makanan yang halalan thayyiba. Sebagai kita ketahui, resep makanan paling trend masa kini berorientasi pada resep makanan barat yang tidak jelas halal-haramnya. Untuk melakukannya, tidaklah cukup dengan hanya sekedar mengkaji bab al-ath’imah di Fathul Mu’in dan mencari nash-nash al-Qur’an apalagi meneliti sanad Hadits. Yang diperlukan sekarang ialah riset langsung di lapangan tentang komposisi kimiawi makanan tersebut. Oleh karenanya, pesantren perlu memiliki tenaga ahli dalam masalah ini. Para santri yang kuliah jurusan ilmu gizi, ilmu makanan, kedokteran, dsb. merupakan “ instrumen baru “ yang harus dimiliki setiap pesantren.
Dalam konteks globalisasi pakian (fashion), “ aturan lama “ untuk menutup aurat sudah tidak mempan lagi bagi mereka yang berjiwa modis. Asal pakaian itu enak dipandang mata atau yang lagi in di kalangan para artis, tak peduli menutup aurat atau tidak, itulah busana trend masa kini. Pesantren yang sudah lecek mengkaji bab al-Libas dan Bab al-‘Aurat, tentunya tidak boleh hanya tinggal diam gigit jari melihat pelanggaran seperti itu. Dalam kasus ini, pesantren harus mampu mensintesakan dua hal, prinsip asasi dan fleksibilitas syari’at islam. Di satu sisi Islam mengkhendaki pakaian yang sederhana di samping menutup aurat, namun di sisi lain Islam juga menghargai keindahan dan perkembangan zaman. Pesantren setidaknya harus bekerjasama dengan para perancang busana untuk mempromosikan “ busana muslim/ah masa kini “ kepada mereka, atau sebagaimana di atas, Pesantren mampu memperkaya dirinya dengan santri perancang busana.
Dalam konteks globalisasi hiburan dan informasi (fun, info-sphere), film-film Hollywood dan Bollywood merupakan menu utama dalam per-film-an Indonesia. Sekarang hiburan merupakan bisnis paling bergengsi yang dikelola secara internasional. On The Floor-nya Jennifer Lopez, kini dapat dengan mudah masuk pasaran Indonesia, sehingga kita tidak ketinggalan up-date. Film kartun Jepang, naruto, one piece, bleach, dsb. ditonton oleh anak anak di seluruh dunia, baik di Tokyo maupun di Solo. Ketika anak-anak kita menjadikan sasuke uchiha dan sakura sebagai idolanya dan hafal secara persis tokoh-tokoh Naruto, dari mulai dari, sasuke, sakura, tsunade, hingga madara uchiha, namun tidak sedikitpun mengenal Sayyidina Ali dan Siti Fatimah bahkan agak sedikit lola ketika disuruh menyebutkan nama-nama 25 Nabi dan Rasul, bagaimana pesantren mengatasi segala keironisan ini ? bagaimana pesantren menghadapi revolusi informasi ?. Pesantren sebagai agen sosial-budaya harus meng-up grade sistem informasinya. Dakwah virtual sekarang menjadi salah satu agenda baru bagi pesantren.
Inilah kiranya beberapa hal yang masih harus kita pikirkan solusi alternatifnya. Neo-imperialisme yang sedang menggejolak “ menampar “ pesantren sehingga ia sadar bahwa agenda-agenda baru harus disusun. Bukankah diantara tanda-tanda seorang " faqih " adalah pandai memahami tanda-tanda zamannya ?
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Santri edisi III Agustus 2011
[1] Alfin Toffler, The Third Wave, (London : Bantam Books, 1981), hlm. 365
[2] Sebut saja rekayasa genetika (genetic engineering), seperti Bayi Tabung, Kloning, Inseminasi Artifisial, Inseminasi dengan sperma donor, Ovarian Transplant antar sesama wanita, Fertilisasi in vitro, dll.
[3] Ibu-ibu yang bersedia menyewakan rahimnya dengan upah $ 10.000 - $ 25.000, disebut juga dengan gestational mother, contractual mother, baybearer mother, mercenary mother, dsb.
0 comments
Posting Komentar