Konsep Muhkam : Teori Klasik & Kontemporer

Posted by By Truth Seekers On 06.17

Definisi  Muhkam

            Menurut derivasi katanya, kata muhkam  merupakan bentuk ism maf’ul dari ahkama-yuhkimu-ihk̅am, berasal dari kata al-hukm yang berarti mencegah (al-man’u), memutuskan (al-fashl) atau menguatkan (al-itqan). Maka muhkam berarti sesuatu yang dicegah, diputuskan atau dikokohkan.

Menurut Manna’ Khalil Qattan, kata muhkam berasal dari kata حكمت الدابة  yang berarti saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal, maka hakim adalah pencegah kezaliman, dst. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah. Dengan pengertian ini, Allah SWT mensifati bahwa seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam


الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“ Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu “    ( Hud : 1 )

 Qur’an itu seluruhnya muhkam, maksudnya Qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dan dengan yang batil dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dinaksud dengan Ihkamul ‘amm (muhkam dalam arti umum). [1]

            Sedangkan menurut terminologis, menurut Dr. Abdul Karim Zaidan term Muhkam menurut perspektif ushul fiqh ialah :

اللفظ الذي ظهرت دلالته بنفسه على معناه ظهورا قويا على نحو اكثر مما عليه المفسرولايقبل التأويل ولا النسخ


suatu kata yang jelas indikasi maknanya dengan tingkat kejelasan yang kuat melebihi kejelasan mufassar dan tidak memiliki kemungkinan untuk ditakwil atau dinasakh.[2]

            Terkait pembahasan mukham, karena yang dipersoalkan adalah sekitar kajian kata dan analisis bahasa, maka konsep muhkam dalam Ushul Fiqh ini memiliki sinkronisasi dengan muhkam perspektif Ulumul Qur’an dalam menganalisis ayat-ayatnya. Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Itqan fii ‘Ulumil Qur’an menjelaskan beberapa definisi mukham yang bervariatif dari para Ulama disertai komparasi dengan antonimnya yakni mutasyabih, diantaranya :
 المحكم ما عرف المراد منه إما بالظهور وإما بالتأويل

Muhkam ialah suatu kata yang dapat difahami maksudnya baik dengan sendirinya atau dengan cara ditakwil

 وقيل المحكم ما وضح معناه

Dikatakan bahwa muhkam ialah suatu kata yang jelas maknanya
  
 وقيل المحكم ما لا يحتمل من التأويل إلا وجها واحدا والمتشابه ما احتمل أوجها

Dikatakan bahwa muhkam ialah suatu kata yang tidak memiliki peluang untuk ditakwil kecuali hanya dalam satu jalan / pertimbangan saja, sedangkan mutasyabih ialah kata yang memiliki peluang yang banyak untuk ditakwil

وقيل المحكم ما استقل بنفسه والمتشابه ما لا يستقل بنفسه إلا برده إلى غيره

Dikatakan bahwa muhkam ialah suatu kata yang (dapat diketahui maksudnya) secara independen (menyendiri), sedangkan mutasyabih ialah suatu kata yang tidak dapat diketahui maknanya secara independen kecuali dengan dikorelasikan dengan yang lain

وقيل المحكم ما كان معقول المعنى والمتشابه بخلافه كأعداد الصلوات وإختصاص الصيام برمضان دون شعبان قاله الماوردي

Dikatakan bahwa Muhkam ialah suatu kata yang memiliki makna yang rasional / masuk akal, sedangkan mutasyabih ialah kebalikannya (memiliki makna irrasional), seperti jumlah bilangan shalat, penentuan puasa di bulan ramadhan tidak di bulan sya’ban, dsb. pendapat ini dinyatakan oleh Al-Mawardi.[3]

Demikianlah sekelumit pengertian muhkam yang dilontarkan oleh ulama dari klasik sampai kontemporer. Kendati secara redaksional terdapat perbedaan, namun secara subtansial, seluruh definisi di atas bermuara pada beberapa point-point utama :

Ø  1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya
Ø  2. Muhkam adalah ayat yang hanya memiliki satu wajah (alternatif pemaknaan)
Ø  3Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan   keterangan lain.[4]
Ø  4. Muhkam ialah ayat yang tidak memiliki kemungkinan untuk ditakwil dan dinasakh.
Ø  5. Muhkam merupakan predikat paling tinggi dalam kategorisasi kejelasan suatu kata.

Permasalahan prinsipil yang masih diperdebatkan ialah sekitar kemungkinan ayat-ayat muhkam dalam menerima nasakh, takwil dan beberapa alternatif pemaknaan ( ihtimal al- awjuh ).  Contoh ayat Qur’an yang termasuk muhkam  :

وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan Dia (Allah) Maha Mengetahui atas segala sesuatu                                                        ( Al-Baqarah : 29 )
           
Ayat di atas yang menegaskan pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu tidak mungkin  atau diubah atau dinasakh oleh ayat mana pun. Makna ayat di atas mudah difahami secara langsung tanpa befikir mendalam. Juga tidak diperlukan ayat lain untuk menangkap makna ayat di atas, ayat itu secara independen telah menunjukan dalalah maknanya, tanpa harus bersandar kepada ayat  yang lainnya.

B.  Kategorisasi Lafadz Dari Segi Kejelasannya ( Dzuh̅urul Ma’na )

            Ketika berbicara muhkam, maka pembahasan yang niscaya terkait dengannya ialah seputar kategorisasi lafadz dari segi kejelasannya (dzuhurul ma’na) atau kejelasan indikasi maknanya (wudluh ad-dilalah). Muhkam dalam perspektif Ulama Ushul adalah suatu term yang merujuk kepada pembahasan yang ditinjau dari aspek ini.

Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan tingkatan dalalah lafadz dari segi kejelasannya. Dalam hal ini dapat dibagi dua kelompok. Pertama yaitu kelompok hanafiyah yang membagi lafadz dari segi kejelasannya terhadap makna dalam empat bagian, yaitu : zahir, nash, mufassar dan muhkam. Sedangkan dari segi ketidakjelasannya terbagi empat macam pula, yaitu khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih. Kelompok kedua yaitu golongan mutakallimin (ahli kalam) yang dipelopori Imam Syafi’i yang membagi lafadz dari kejelasannya menjadi dua, yaitu zahir dan nash. Kedua bentuk kata ini disebut kalam mubayyan. Sedangkan dari segi ketidakjelasannya terbagi menjadi mujmal dan mutasyabih.[5]

Dari dua teori kategorisasi di atas, maka konsep muhkam ini sebenarnya  merupakan term yang dibuat oleh golongan hanafiyah. Secara sederhana, difrensiasi antara keempat kategori di atas dapat dilacak dari tingkat kejelasan dan probabilitas masing-masing dalam menerima takwil dan nasakh, sebagaimana ditegaskan Syekh Al-Zahidy :

1. Zahir : Kata yang jelas indikasi maknanya bagi si pendengar dengan bentuk              (shigat) dari kata itu sendiri.
     Hukum :  Wajib diamalkan disertai kemungkinannya untuk menerima takwil, takhsis                                                                       dan nasakh.

2.  Nash  :   Kata yang setingkat lebih jelas daripada zahir, karena nash merupakan makna yang diambil dari rumusan perkataan.
      Hukum :  Wajb diamalkan secara qhat’i disertai kemungkinannya untuk menerima takwil, takhsis dan nasakh.

3.  Mufassar :  Kata yang setingkat lebih jelas daripada nash dengan suatu pemaknaan yang jelas yang tidak mempunyai kemungkinan untuk ditakwil atau dinasakh, namun masih bisa dinasakh pada masa Rasul.
       Hukum :   Wajib diamalkan secara qhat’i disertai dengan adanya kemungkinan untuk menerima nasakh.

4.  Muhkam  :   Kata yang dikokohkan maknanya sehingga tidak ada kemungkinan untuk dinasakh ( apalagi takwil atau takhsis ), baik pada masa Rasul apalagi masa setelahnya.
      Hukum    :    Wajib diamalkan tanpa disertai adanya kemungkinan untuk menerima takwil, takhsis dan nasakh.[6]                                             

C.  Hukum-Hukum Seputar Muhkam

            Sebagaiman disinggung di atas bahwa hukum lafadz muhkam, atau lebih tepat kita sebut dalalah muhkam ialah wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya (takwil) dan tidak menerima nasakh (Dr. Abdul Karim Zaidan menambahkan lagi Ibthal / disfungsi ayat). Ketentuan ini disepakati oleh mayoritas ulama salaf hingga sekarang.

            Dr. Abdul Karim Zaidan mengemukakan beberapa argumentasi perihal hukum-hukum yang berlaku dalam dalalah muhkam ini. Pertama, Mengapa ayat-ayat muhkam tidak memiliki peluang untuk menerima takwil ?, menurut beliau hal ini disebabkan karena tingkat kejelasan dalalah ( indikasi terhadap makna ) yang terdapat pada ayat muhkam telah mencapai suatu taraf yang dapat menegasikan semua kemungkinan takwil. Kedua, Mengapa ayat-ayat muhkam tidak menerima nasakh ?. Hal ini dikarenakan dalalah muhkam menunjukan hukum asal (pokok) yang paling fundamen yang secara umum tidak menerima perubahan atau pergantian, sekalipun ada yang mengalami nasakh, maka hal itu pun harus disertai dengan adanya bukti dari ayat lain yang meng-cancel kemungkinan ayat tersebut untuk menegasikan nasakh.

            Diantara hal-hal yang termasuk hukum-hukum pokok dan fundamental (Al-Ahkam Al-Ashliyyah Al-Asasiyah) tersebut ialah seperti keimanan kepada Allah, hari akhir dan para utusan Allah, haramnya berbuat zalim, keharusan berlaku adil, dsb.[7] Maka dalalah  muhkam ini merupakan yang  terkuat dari semua dalalah yang ada dalam berbagai macam benti demikiak lafadz, di atas mufassar, nash dan zahir.

        Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa tidak menerimanya muhkam akan nasakh terkadang disebabkan oleh teks itu sendiri yang mengkhendaki demikian, seperti firman Allah dalam surat An-Nur : 4

وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“  dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik “.

            Kata abadan (selama-lamanya) yang tersebut dalam ayat itu menunjukan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam artian tidak dapat dicabut (dinasakh). Contoh lain adalah sabda Nabi Muhammad:
الجهاد ماض الى يوم القيامة                    
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat

Penentuan batas hari kiamat untuk jihad menunjukan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu.Tidak menerimanya muhkam terhadap kemungkinan nasakh terkadang karena Nabi (pembawa syara’) telah meninggal dan tidak ditemukan keterngan bahwa hukum yang berlaku itu telah dinasakh.[8]

  
D.  Macam-Macam Muhkam

            Menurut Dr. Wahbah Zuhaily, konsep muhkam ini terbagi lagi menjadi dua kategori :
ü Muhkam Lidzatihi atau muhkam dengan sendirinya, ketika kemungkinan untuk tidak menerima nasakh itu disebabkan oleh teks (nash) itu sendiri. Misalnya seperti firman Allah : 

إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“ Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu “.
.(Al-Anfal : 75)

           Pengetahuan Allah (sifat ilmu) merupakam sifat yang qadim dan azali yang menetap pada zat Allah. Maka ketetapan ini tidak memiliki peluang sedikitpun untuk dinasakh, karena hal ini berkaitan dengan sifat-sifat Ketuhanan.

ü      Muhkam Lighairihi atau muhkam karena ada faktor eksternal di luar nash, jika kemungkinan untuk tidak menerima nasakh itu bukan karena teks (nash) itu  sendiri. Ayat muhkam lighairihi ialah setiap nash  yang probabilitas nasakhnya terputus dikarenakan terputusnya wahyu, berhentinya kerasulan (risalah) atau kenabian (nubuwwah) dan dengan wafatnya Rasulullah Saw. Maka predikat Ihka̅m muncul dari luar nash. Maka Muhkam Lighairihi ini juga mencakup 4 kategorisasi lafadz di atas yaitu  zahir, nash, mufassar dan muhkam.[9]

Mayroritas ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal-haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh  dan ayat-ayat tentang Asma Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain:


Surat Ta Ha ayat 5 :
 الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Surat Al-Fath ayat 10 :
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Contoh ayat muhkam  :

وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

E.  Ta’arudl Dan Tarjih Sekitar Muhkam

            Dalam Al-Qur’an ada beberapa situasi ketika ayat-ayat yang termasuk ke dalam 4 ketegori wadlih ad-dalalah (jelas indikasi maknanya) saling bertentangan satu sama lain. Terkait hal ini, para Ulama Ushul telah merancang beberapa formula dalam menghadapi situasi semacam ini. Berdasarkan empat klasifikasi yang telah diutarakan di atas, maka rumus Utama teori ini ialah :

 Ø      Ketika zahir bertentangan dengan nash, maka dalalah nash yang diunggulkan.

 Ø  Ketika nash bertentangan denga mufassar, maka dalalah mufassar yang diunggulkan.

 Ø  Ketika mufassar bertentangan dengan muhkam, maka dalalah muhkam yang diunggulkan.

Contoh kontradiksi Muhkam dengan mufassar :                  
                                  
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

“ dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu “
                                        (Surat At-Thalaq : 2)

Bertentangan dengan An-Nur ayat 4 :

وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“  dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik “.  (An-Nur : 4)

Ayat pertama termasuk mufassar. Ayat ini menunjukan yang adil dar siapa saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukan penolakan kesaksian orng yang menuduh zina (qadzif). Dalam hal ini, menurut sebagian ulama dalalah ayat kedualah yang dijadikan pegangan.[10]

F.  Teori Muhkam Perspektif  “ Qira’ah Mu’ashirah “

         Dari uraian yang dipaparkan di atas, setidaknya kita dapat mengambil konklusi sementara. Dari berbagai teori muhkam yang ada meskipun terdapat banyak perbedaan dari segi redaksional, namun secara substansial, teori-teori mereka bermuara pada satu mainstream yang sama persis yang salah satunya ialah ketidakmungkinan ayat muhkam untuk menerima takwil dan nasakh.

            Bertolak belakang dari mainstream yang ada, terdapat satu lagi teori muhkam yang secara demonstratif menyatakan perlawanannya terhadap mainstream yang dianut mayoritas. Teori tersebut ialah teori Dr. Ir. Muhammad Syahrur, seorang pemikir liberal dari Syiria. Rumusan konseptual teorinya tertuang dalam kitabnya yang paling kontroversial Al-Kitab Wa Al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah. Bagi pihak yang pro, dianggap sebagai Martin Luther-nya dunia Islam, namun bagi yang kontra, karya-karyanya dianggap lebih berbahaya daripada The Satanic Verses-nya Salman Rushdie.

         Di sini akan diuraikan secara singkat menyoal teori muhkam perspektif Syahrur yang tertuang dalam kitab Al-Kitab wa Al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, sebuah kitab yang memuat ide-ide revolusioner dan transformatif sekaligus kontroversial dalam diskursus kontemporer keilmuan Islam.

G.  Selayang Pandang Teori Muhkam Dalam “Al-Kitab wa Al-Qur’an”

                Dalam pandangan Syahrur,  Ummul al-Kitab  adalah himpunan ayat-ayat muhkamat  (Q.S Ali-‘Imran : 7) yang juga disebut sebagai Al-Kitabul Muhkam (Q.S. Hud: 1). Berbeda dengan mayoritas, menurutnya diantara sifat-sifat ayat muhkamat itu ialah

وهي التي خضعت للتطور وللتدرج وللناسخ والمنسوخ ولا تحمل صفة الأزلية وهي التي تلازم فيها الإنزال والتنزيل ولا يوجد فيها جعل

 Ayat muhkam ialah ayat yang tunduk pada hukum perubahan dan perkembangan zaman, dapat berposisi sebagai ayat nasikh (penghapus) dan ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak berlaku abadi-universal. Selain itu ayat-ayat jenis ini tidak mengalami proses perubahan bentuk (transformasi), meskipun ia tetap melalui proses pewahyuan (inzal dan tanzil).

          Pernyataan bahwa ayat muhkam bisa menerima nasakh, terlebih lagi ketundukannya terhadap hukum perubahan dan perkembangan zaman (takwil), secara demonstratif menunjukan teori yang sangat berlawanan dengan mainstream yang ada. Mungkin karena “ penyimpangan mainstream inilah kiranya yang menyebabkan beliau divonis kafir, murtad, dan munkirul Qur’an oleh Ulama Al-Azhar.

         Lebih lanjut, Syahrur mengelaborasi lebih mendalam tentang teori muhkam dalam pandangannya, bahwa kitab al-muhkam ini berfungsi sebagai risalah Muhammad Saw yang terdiri dari beberapa tema pokok :

فإذا أردنا أن نقسم الرسالة إلى مواضيع رئيسية رأيناها تتألف من  
        
 1. الحدود
  العبادات.2
 
الأخلاق “الوصايا .3
 
 التعليمات التي تحمل الطابع التعليمي الخاص أو العام وليست تشريعات.4
[12]
 التعليمات التي تحمل طابع المرحلية.5

               Menurutnya, Risalah Muhammad  yang tesusun dari ayat-ayat muhkamat ini merupakan perpaduan dari beberapa tema pokok yang terdiri dari  :

Ø  1. Batasan-batasan hukum (hudud)
Ø  2. Ibadah Ritual
Ø  3. Moralitas (akhlak ) atau diistilahkan juga dengan wasiat-wasiat
Ø  4. Ajaran-ajaran yang bukan berupa ketetapan hukum, baik bersifat umum atau khusus
Ø  5. Ajaran-ajaran yag bersifat lokal-temporal (ahkam marhaliyah).[13]

Maka term Muhkam menurut perspektif Syahrur tidak lagi difahaminya sebagai ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas sebagaimana disepakati mayoritas Ulama, sehingga tidak memerlukan penalaran panjang untuk memahaminya, melainkan muhkamat diartikan sebagai ayat-ayat yang membicarakan dan berkaitan erat dengan suluk insaniy (perilaku manusia).

Lebih dari itu, menurutnya ayat-ayat muhkamat yang merupakan Risalah Muhammad ini adalah Risalah yang universal yang berlaku di segala ruang dan waktu, dinamis dan selalu up date (mutajaddid).

Demikianlah risalah singkat seputar konsep muhkam dalam kancah diskursus keilmuan Islam khususnya ushul fiqh dan perkembangannya dalam perspektif klasik hingga kontemporer



Sources  :

Zaidan, Abdul Karim.  Al-Waj̅iz f̅i Ushulil Fiqh, Baghdad : Maktabah Basyair, tanpa tahun.
Zuhaily, Wahbah. Ush̅ulul Fiqh Al-Isl̅amy, Beirut : Darul Fikr, 1986.
Qattan, Mann̅a’ Khal̅il.  Maba̅hits f̅i ‘Ul̅umil Qur’an, Surabaya : Al-Hidayah, 1973.
Khall̅af, Abdul Wahh̅ab. ‘Ilmu Ushu̅lil Fiqh, Kairo : D̅arul Qalam, 1978.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media Grup, 2008.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Syamsuddin, Sahiron. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta : eLsaQ Press, 2010.
CD Room Maktabah Sya̅milah Ishd̅ar Al-Ts̅alits.
Shahr̅ur, Muhammad. “ Al-Kit̅ab wa AL-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah ” dalam www.shahrur.info diakses pada 23 Oktober 2010.





End Note :

[1] Manna’ Khalil Qattan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Surabaya: Al-Hidayah, 1973), hlm. 215
[2] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fii Ushulil Fiqh, (Baghdad: Maktabah Al-Basyair, tanpa tahun), hlm.346
[3] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fii ‘Ulumil Qur’an, CD Room Maktabah Syamilah.
[4] Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an, hlm. 216
[5] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 151
[6] Al-Zahidy, Talkhisul Ushul, juz 1, hlm. 18, CD Room Maktabah Syamilah.
[7] Al-Wajiz fii Ushulil Fiqh, hlm.247
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pranada Media Grup,2008), jilid 2, hlm. 12
[9] Wahbah Zuhaily, Ushulul Fiqh AL-Islami, (Beirut : Darul Fikr, 1986), hlm. 324
[10] Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 162
[11] Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, dalam www.sharur.info diakses pada 23 Oktober 2010
[12] Al-Kitab wa Al-Qur’an : Qira’ah Mu’ashirah, dalam www.shahrur.info, diakses pada 23 Oktober 2010.
[13] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,(Yogyakarta: eLsaQ Press, 2010), hlm.

0 comments

Posting Komentar