1. al-Risywah ( suap-menyuap ), contohnya seperti uang pelicin, Money Politics, dsb.
Kasus ini merupakan salah satu pelanggaran yang sangat dikecam oleh Islam,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah Saw. :
( Sunan Tirmidzy no. 3019)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Ahmad bin Yunus telah
menceritakan kepada kami, Ibnu Aby Dzi’b telah menceritakan kepada kami dari
Haris bin ‘Abdurrahman dari Abi Salmah dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata:
Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap dan disuap.
Risywah berarti suatu harta benda yang diberikan kepada seseorang dengan motif
untuk membatalkan suatu kebenaran atau membenarkan suatu kebathilan. [2] Dalam kosakata bahasa
Indonesia, risywah adalah suap atau sogok. Kasus suap terjadi dari mulai
skala terkecil hingga skala pemerintahan. Kegiatan suap-menyuap kendati telah diketahui keharamannya namun tetap saja gencar dilakukan orang-orang, entah itu untuk meraih pekerjaan, pemenangan hukum, hingga untuk memasukan anak ke lembaga pendidikan-pun tak lepas dari praktek suap-menyaup. Untuk memasukan anak ke sekolah bonafit, tidak cukup hanya bermodal nilai UN yang tinggi, tapi juga dibutuhkan uang yang banyak untuk menyumpal mulut para panitia. Sunggu fenomena yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi mereka yang melakukan adalah orang yang mengeku muslim, padahal jelas-jelas Rasulullah sebagai teladan bagi muslim sangat mengecam keras praktek tersebut. Dalam skala pemerintahan, pelanggaran semacam ini dikenal dengan money politics.
Untuk Pejabat, Hadiah atau Suap ?
Hibah dan hadiah pada dasarnya adalah sah, bahan dianjurkan oleh Rasulullah. Dalam suatu hadits Rasulullah disebutkan :
Hibah dan hadiah pada dasarnya adalah sah, bahan dianjurkan oleh Rasulullah. Dalam suatu hadits Rasulullah disebutkan :
حَدَّثَنَا خَلَفٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَرٍ
عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَغَرَ الصَّدْرِ
Khalaf
telah menceritakan kepada kami, Abu Ma’syar telah menceritakan kepada kami,
dari Sa’id dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: saling
member hadiahlah, sesungguhna hadiah itu menghilangkan kedengkian hati.
(
Musnad Ahmad no. 8882)
Namun,
seiring dengan perkembangan fenomena yang ada, terutama dalam skala
pemerintahan, tidak jarang hibah dan hadiah ini bergeser dari tujuan mulanya,
manakala diawali dengan motif-motif tertentu. Diantaranya adalah mata rantai
kepentingan yang saling merebut untuk bisa mendapatkan sesuatu. Pada titik ini,
hadiah menjadi berailh menjadi sesuatu
yang sarat akan suap. Islam menutup semua celah perbuatan tercela seperti itu,
sehingga pemberian hadiah kepada para pejabat pemerintah terjadi kekeburan
motif, sehingga timbullah hukum yang berbeda. Lantas, bagaimana saja gambaran
hadiah yang sah dan tidak di kalangan
pejabat ?
Setidaknya,
para ulama telah menjelaskan batasan-batasan ini, diantaranya : [4]
1. Seorang pejabat, terlebih jabatan hukum, haram
menerima hadiah dari orang yang sedang terkait perkara atau urusan, baik sudah
terbiasa saling memberi sebelum menduduki jabatan itu atau tidak ( Ahmad bin
Muhammad ar-Ramli VIII : 94 ).
2. Termasuk hadiah yang diharamkan bagi seorang
pejabat ialah pemberian dari orang yang – meski – tidak terkait perkara atau
urusan, terbiasa saling member jauh sebelum menjadi pejabat, namun setelah
menjadi pejabat terjadi peningkatan volume hadiah dari kebiasaan sebelumnya
(Ibnu Abidin IV : 34 ).
3. Seorang pejabat juga haram menerima hadiah dari
seseorang yang jika bukan karena jabatannya, niscaya orang tersebut tidak akan
memberikannya ( Ibnu Abidin V : 373).
Adapun pemberian hadiah yang bukan dari orang-orang
yang selain disebutkan di atas, maka boleh saja diterima oleh pejabat
bersangkutan, dengan pengandaian meskipun ia tidak menjadi pejabat ( rakyat
biasa ) pun dia tetap menerima hadiah itu.
Dalam beberapa hadits dijelaskan tentang tindakan preventif tersebut,yakni larangan member hadiah pada pejabat.
Rasulullah saw. mengangkat seorang laki-laki bernama Ibn al-‘Atbiyah
untuk menjadi pejabat pemungut zakat di Bani Sulaim. Ketika ia datang menghadap
Nabi untuk melapor, beliau memeriksanya. Ia berkata: ” ini harta zakatmu
(Nabi/negara) dan ini adalah hadiah (untuku). Lalu Rasulullah saw. bersabda:
jika engkau benar, maka apakah jika engkau duduk di rumah ayah atau ibumu,
hadiah itu akan datang kepadamu ? Kemudian Rasulullah berpidato menucapkan
tahmid dan dan memuji Allah, lalu berkata: amma ba’du ; aku mengangkat salah
seorang diantara kamu untuk melakukan suatu tugas yang merupakan bagian dari
apa yang telah dibebankan oleh Allah kepadaku. Lalu orang ini datang dan
berkata: ini harta zakatmu (Nabi/negara) dan ini adalah hadiah yang diberikan
kepadaku. Jika ia memang benar, maka apakah jika ia duduk di rumah ayah atau
ibunya, hadiah itu akan datang kepadanya ?. Demi Allah, begitu seseorang
mengambil sesuatu dari hadiah itu tanpa hak, maka kelak di hari kiamat ia akan
menemui Allah dengan membawa hadiah itu,lalu aku akan mengenali seseoran
diantara kamu ketika menemui Allah itu, ia memikul unta di atas pundaknya
dengan suara melengkik atau sapi yang mengeluh, atau kambing yang mengembek.
Kemudian Rasulullah mengangkat tangannya sehingga terlihat bulu ketiaknya yang
putih seraya berkata: “ Yaa Allah apakah telah ku sampaikan pandangan mataku
dan pendengaran telingaku “.
(Sahih Bukhari no. 6464)
Alasan mendasar pelarangan Nabi di atas ialah karena kekuasaan, sebagaimana terlihat dalam ungkapan afalaa jalasa fi baiti ummihi .... dst.
Bahkan Imam Bukhari membuat bab khusus yaitu " Babu Man lam yaqbal al-Hadiyah li-'illatin " ( Bab siapa saja yang tidak menerima hadiah karena ada motif tidak sehat). Dalam bab tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan Umar bin 'Abdul Aziz :
(Sahih Bukhari no. 6464)
Alasan mendasar pelarangan Nabi di atas ialah karena kekuasaan, sebagaimana terlihat dalam ungkapan afalaa jalasa fi baiti ummihi .... dst.
Bahkan Imam Bukhari membuat bab khusus yaitu " Babu Man lam yaqbal al-Hadiyah li-'illatin " ( Bab siapa saja yang tidak menerima hadiah karena ada motif tidak sehat). Dalam bab tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan Umar bin 'Abdul Aziz :
كانت الهدية في
زمن رسول الله هدية، واليوم رشوة
“Pada
zaman Rasulullah pemberian itu dinamakan Hadiah, maka zaman sekarang ini
dinamakan risywah (suap)”. ( Sahih Bukhari, Juz 9, hlm. 51, Maktabah Syamilah)
2.
al-Khianat
(
Berkhianat / Penyalahgunaan Wewenang ), contohnya
seperti :
1. Mark Up, yaitu penggelembungan atau menaikkan dengan beberapakali
lipat harga barang atau suatu proyek pemerintah. Tujuannya agar selisih harga tersebut bisa masuk ke
dalam kantong pribadi.
2. Kolusi, adalah
kerja
sama rahasia atau persekongkolan untuk
maksud tidak terpuji seperti untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara
penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan
Negara. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur
dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan
perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai
pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
3. Nepotisme, Yaitu perilaku yg memperlihatkan
kesukaan yang berlebihan kepad kerabat dekat atau kecenderungan untuk
mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan,
pangkat di lingkungan pemerintah.
4. Penyalahgunaan uang dan fasilitas negara secara
umum, dsb.
Secara prinsipil, semua bentuk korupsi memang termasuk
pengkhianatan terhadap suatu kepercayaan. Pelanggaran semacam ini jelas-jelas
sangat dikecam dalam Islam :
Surat Al-Anfal : 27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا
اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Surat an-Nisa : 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
3. Ghulul ( penggelapan), yaitu menggelapkan uang negara demi menunjang motif
pribadi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ghulul berarti menyembunyikan / mengambil
sesuatu yang bukan menjadi haknya ketika diserahi suatu pekerjaan. Penggelapan merupakan bagian dari al-khianat hanya saja ghulul
secara khusus merujuk kepada penggelapan seorang yang diserahi pekerjaan /
pejabat, seperti penggelapan pajak oleh petugas pajak, dsb. Pelanggaran ini
juga dikecam oleh Islam :
وَمَا
كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُون
tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian
tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
(Al-Baqarah : 161)
4. al-Muksu ( pemerasan ), yaitu semacam pemerasan atau penarikan paksa dari
pihak pemerintah yang lazim disebut upeti. Pemungutan upeti sendiri diharamkan
dalam syari’at Islam. Rasulullah Saw. bersabda :
حدثنا
مطلب بن شعيب الأزدي ثنا عبد الله بن صالح حدثني ابن لهيعة عن يزيد بن أبي حبيب عن
أبي الخير قال سمعت رويفع بن ثابت قال : سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول : صاحب
المكس في النار
Mathlab bin Syu’aib al-Azdary telah menceritakan
kepada kami, Abdullah bin Shalih telah menceritakan kepada kami, Ibnu Lahi’ah
telah menceritakan kepadaku, dari Yazid bin Abi Habib dari Abi al-Khair ia
berkata: aku mendengar Ruwaifi’ bin Tsabit berkata: Nabi saw. bersabda:
pemungut upeti akan masuk neraka
(
Mu’jam al-Kabir li at-thabrany no. 4493)
[1] . Berdasarkan keputusan Bahtsul
Masa’il ” Membangun Fiqih Anti Korupsi ” kerjasama P3M dan Partnership di Hotel
Kaisar 1-4 Mei 2004. Lihat Membangun Fiqih Anti Korupsi, hlm. 217.
[2] . ‘Aun al-Ma’bud Syah Abu Daud.
[3] . Abdullah Jamaluddin, Ta’rib
as-Siyasah, hlm. 50
[4] . Rofiqul A’la, ‘ Suap Dalam
Perspektif Islam ‘ dalam P3M, Korupsi
di Negeri Kaum Beragama, hlm. 195
0 comments
Posting Komentar