" Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya " (Bung Karno, 1961).
Eits .. kok malah nyambung ke pelajaran sejarah ya, di sini kan tulisan tentang musik.. !. Well, epigraf Bung Karno di atas merupakan konsep kunci wacana retromania dalam industri musik. Jika kita mengamati trend yang berkembang dalam blantika musik secara umum, khususnya pop culture pada abad ini, segera akan kita temui suatu fenomena di mana para insan musik di seluruh belahan dunia kembali me-reverse jenis musiknya menuju elemen musik masa lalu, inilah retromania, term yang pertama kali dipopulerkan oleh Simon Reynold dalam bukunya " Retromania: Pop Culture's Addiction to It's Own Past ". Pada saat yang bersamaan, beberapa material musik jadoel - bahkan sebagian bisa dibilang fosil musik yang udah lama terkubur - mulai di-recycle kembali oleh berbagai media entertaiment. Tanya kenapa ? ... kayaknya mereka terilhami kata-kata Bung Karno di atas ya, jadinya gini :
" Musisi yang besar adalah musisi yang menghargai jasa para pendahulunya "
Ha .. mungkin karena itulah belakangan Michael Angelo Batio, gitaris tercepat di dunia sekaligus inventor quad dan double guitar itu membuat album " Hands Without Shadows I & II ", yang berisi lagu-lagu tribut rock klasik. So .. dia sudah respect sama Ritchie Blackmore selaku pendhulunya dengan me-recycle Burn-nya Deep Purple (1974) dalam instrumen shredd gitar atau Randy Rhoads dengan menulis Tribute to Randy yang berisi shredder medley Crazy Train dan Mr. Crowley (1980) dan juga gitaris klasik lainnya. Ya .. ini cuman salah satu contoh virus retromania yang ternyata juga hinggap pada gitaris yang didaulat beberapa kali sebagai best shredder of all time oleh beberapa majalah gitar internasional itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh shredder lainnya, seperti Yngwie Malmsteen dengan album-nya Inspiration.
Dan akhirnya virus ini pun sampai pula di industri musik Indonesia. Meskipun pada dasarnya embrio retromania memang tidak terlahir secara langsung dari industri dalam negeri, namun akhirnya muncul juga wabah dari luar yang memang sudah terjangit terlebih dahulu. Melalui beberapa label asing, akhirnya beberapa mahakarya "fosil" musik Indonesia yang sekian lama terkubur kembali dibangkitkan. Diawali dengan Shadoks Record, label asal Jerman yang mere-issue Ghede Chokra's dari Sharkmove (1970), Ariesta Birawa (1973) dan Chopin Larung dari Guruh Gipsy (1976) pada tahun 2006-2007. Kemudian diikuti oleh label-label lainnya seperti Now Again, label asal Amerika yang merilis Those Shocking Shaking Days, kompilasi lagu rock terbaik Indonesia dalam rentang waktu 70-78 pada tahun 2011. Lalu ada Stawberry Rain yang merilis album kompilasi AKA dan Benny Soebardja & The Lizard baru baru ini.
Fenomena lainnya yang memang niscaya dan juga turut andil dalam konstruksi retromania adalah tradisi reissues/remake album oleh artis bersangkutan atau atas inisiatif label-label musik dan "pelestarian" kronikal musik jadul di museum-museum musik, seperti rock n roll hall of fame, dll. Untuk media massa, ada majalah Rolling Stones misalnya, suatu majalah yang khusus membincang dinamika musik dari masa ke masa. Dalam list musikal terbaik versi majalah ini, seperti 100 lagu terbaik, 100 gitaris terbaik, 100 album terbaik sepanjang masa dll, segera kita dapati deretan nama-nama klasik yang bertengger di urutan pertama. Untuk 3 besar gitaris terbaik misalnya, ditempati oleh Jimmy Hendrix (R.I.P 1977), Eric Clapton dan Jimmy Page yang seluruhnya memulai karir di pertengahan 60-an. Untuk album terbaik, album Sgt. Peppers Lonely Hearts Club dari The Beatles merupakan album wajib dalam deretan top 3. Embel embel best ... all of time, selalu disematkan kepada mereka, sekilas terkesan seperti menutup pintu kesempatan buat best .. all of time lainnya. Sepintas, list yang dibuat majalah Rolling Stones ini memang agak lebih kepada pelestarian kronikal dalam dinamika musik.
Dengan tradisi seperti ini retromania merupakan keniscayaan dari masa ke masa dan memang harus ada atas nama dinamika musik. Namun pada faktanya, oleh para analis musik, retromania yang kini sedang menggejala dianggap telah sampai pada tahap "keterlaluan" dan berimplikasi kepada penumpulan ujung tombak kebudayaan musik. Salah satu indikator klasiknya adalah bahwa LP / piringan hitam yang merupakan media rekaman pertama dalam industri musik sejak awal 20-an, kini mulai digemari kembali oleh insan musik daripada CD atau musik digital dengan seabreg alasan _____
So ... pertanda apakah ini ? apa yang membuat industri musik kecanduan bernostalgia ?, apakah eksplorasi musikal sudah kehabisan ide ? atau para insan musik sudah berada di ambang kebangkrutan kreatifitas ? .... ??
Dan akhirnya virus ini pun sampai pula di industri musik Indonesia. Meskipun pada dasarnya embrio retromania memang tidak terlahir secara langsung dari industri dalam negeri, namun akhirnya muncul juga wabah dari luar yang memang sudah terjangit terlebih dahulu. Melalui beberapa label asing, akhirnya beberapa mahakarya "fosil" musik Indonesia yang sekian lama terkubur kembali dibangkitkan. Diawali dengan Shadoks Record, label asal Jerman yang mere-issue Ghede Chokra's dari Sharkmove (1970), Ariesta Birawa (1973) dan Chopin Larung dari Guruh Gipsy (1976) pada tahun 2006-2007. Kemudian diikuti oleh label-label lainnya seperti Now Again, label asal Amerika yang merilis Those Shocking Shaking Days, kompilasi lagu rock terbaik Indonesia dalam rentang waktu 70-78 pada tahun 2011. Lalu ada Stawberry Rain yang merilis album kompilasi AKA dan Benny Soebardja & The Lizard baru baru ini.
Fenomena lainnya yang memang niscaya dan juga turut andil dalam konstruksi retromania adalah tradisi reissues/remake album oleh artis bersangkutan atau atas inisiatif label-label musik dan "pelestarian" kronikal musik jadul di museum-museum musik, seperti rock n roll hall of fame, dll. Untuk media massa, ada majalah Rolling Stones misalnya, suatu majalah yang khusus membincang dinamika musik dari masa ke masa. Dalam list musikal terbaik versi majalah ini, seperti 100 lagu terbaik, 100 gitaris terbaik, 100 album terbaik sepanjang masa dll, segera kita dapati deretan nama-nama klasik yang bertengger di urutan pertama. Untuk 3 besar gitaris terbaik misalnya, ditempati oleh Jimmy Hendrix (R.I.P 1977), Eric Clapton dan Jimmy Page yang seluruhnya memulai karir di pertengahan 60-an. Untuk album terbaik, album Sgt. Peppers Lonely Hearts Club dari The Beatles merupakan album wajib dalam deretan top 3. Embel embel best ... all of time, selalu disematkan kepada mereka, sekilas terkesan seperti menutup pintu kesempatan buat best .. all of time lainnya. Sepintas, list yang dibuat majalah Rolling Stones ini memang agak lebih kepada pelestarian kronikal dalam dinamika musik.
Dengan tradisi seperti ini retromania merupakan keniscayaan dari masa ke masa dan memang harus ada atas nama dinamika musik. Namun pada faktanya, oleh para analis musik, retromania yang kini sedang menggejala dianggap telah sampai pada tahap "keterlaluan" dan berimplikasi kepada penumpulan ujung tombak kebudayaan musik. Salah satu indikator klasiknya adalah bahwa LP / piringan hitam yang merupakan media rekaman pertama dalam industri musik sejak awal 20-an, kini mulai digemari kembali oleh insan musik daripada CD atau musik digital dengan seabreg alasan _____
So ... pertanda apakah ini ? apa yang membuat industri musik kecanduan bernostalgia ?, apakah eksplorasi musikal sudah kehabisan ide ? atau para insan musik sudah berada di ambang kebangkrutan kreatifitas ? .... ??
Bersambung _____ Part 2
0 comments
Posting Komentar