1. Terjemahan Dalam Kerangka Definisi
Sebagai awal dari diskusi salah satu branch pembahasan dalam Ulumul Qur’an dengan terma “penerjemahan al-Qur’an”, kajian ini dibuka dengan mendalami definisi dari konsep penerjemahan al-Qur’an tersebut. Dalam kacamata etimologi setidaknya terdapat empat makna yang menjadi definisi dari terjemahan seperti berikut ini:[1]
i. Menyampaikan berita kepada yang terhalang menerima berita. Tindakan menyampaikan berita yang dilakukan oleh penerjemah terhadap orang yang sudah berusia 80-an tahun (mungkin karena orang sudah tuli), disebut terjemahan, dan orangnya disebut dengan turjuman (penerjemah). Seperti pada pernyataan berikut:
انما الثمانين وبلغتها قد ا حوجت سمعي الى ترجمان
“Sesungguhnya orang-orang yang sudah berusia 80-an tahun, dan dalam hal ini saya sudah mencapai usia demikian benar-benar memerlukan terjemahan”.
ii. Menjelaskan maksud kalimat dengan cara menggunakan bahasa aslinya. Dari pengertian ini, Ibn Abbas (w. 78 H.) yang mempunyai keahlian menafsirkan Al-Qur’an dapat disebut turjuman[2] (penerjemah).
Sehubungan dengan definisi ini pula, Zamakhsyariy (w. 538 H.) berpendapat bahwa penerjemahan tentang sesuatu sama dengan penafsiran tentang sesuatu tersebut.[3] Dengan kata lain berarti mutarjim sama dengan mufassir. Dalam kamus Lisan al-Arab juga dinyatakan bahwa turjuman (penerjemah, juru bahasa) disebut mufassir (pemberi keterangan tentang maksud suatu kalimat).[4]
iii. Menjelaskan maksud suatu kalimat dengan perantaraan bahasa di luar bahasa sumber. Bila bahasa sumbernya adalah bahasa Arab maka bahasa yang menjelaskannya harus bahasa lain. Untuk itu dalam buku Mukhtar as-Sihhah, ar-Raziy[5] mengatakan bahwa menerjemahkan artinya sama dengan memberikan penjelasan dengan cara memakai bahasa di luar bahasa sumbernya. Maka dapat diambil sebuah poin bahwa dalam upaya penerjemahan terdapat sebuah unsur yang sangat dominan, yaitu unsur “penjelasan”. Di dalam Tafsir Ibn Katsir ketika berbicara tentang Abdullah Ibn Abbas yang mendapat julukan sebagai penerjemah, dapat dikatakan bahwa terjemahan menurut asal-usul kata bahasa Arab, mutlak mengandung arti menjelaskan tanpa mempersoalkan bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan tersebut. Apabila ditinjau dari sudut pandang bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan, pendapat Ibn Katsir (705-774 H.) lebih bersifat umum dibandingkan dengan pendapat ketiga ini, sebab dalam hal memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa sumber atau bahasa lain.
iv. Terjemahan juga diartikan sebagai pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke bahasa lain.[6] Pelaku pekerjaan mengalihkan makna atau amanat tersebut diberi nama penerjemah. Ibn Manzur menamakannya dengan tarjuman atau turjuman, yaitu orang yang mengalihbahasakan atau juru terjemah.
Selain empat definisi deskriptif tersebut di atas, terdapat pendapat serupa yang meringkas makna terjemah sebagai berikut:[7]
i. Menyampaikan suatu kalam kepada seseorang yang belum mendapatkannya.
ii. Menafsirkan suatu kalam menurut bahasannya.
iii. Menafsirkan suatu kalam dengan bahasa lainnya.
iv. Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lainnya.
Sementara definisi terjemah dari segi istilah atau ‘urf (menurut paham umum) yakni pendapat orang kebanyakan, mayoritas bukan menurut sekelompok orang atau bangsa atau suku tertentu. Dalam aspek ini kemudian ditarik sebuah statemen bahwa terjemahan menurut paham umum adalah ungkapan makna dari bahasa tertentu ke bahasa lain sesuai dengan maksud yang terkandung dalam bahasa tertentu tersebut. Dengan kata lain bahwa terjemah adalah memindahkan suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Maksudnya ialah mengungkapkan suatu “pengertian” dengan suatu kalam yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti dan maksud yang terkandung di dalam pengertian tadi. Untuk itu seorang penerjemah perlu memperhatikan teks yang akan diterjemahkan, baik dari segi isi teks maupun ragam bahasanya.[8]
2. Jenis-Jenis Terjemahan
Secara global terjemahan terbagi menjadi dua jenis, yakni terjemahan harfiah (leterlek) dan terjemahan tafsiriyah (maknawiyah).[9]
a. Terjemahan Harfiah
Terjemahan harfiah adalah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai urut-urutan kata bahasa sumber. Dalam hal ini terdapat upaya memindahkan sejumlah kata dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata dan susunan bahasa yang susuai dengan bahasa aslinya.[10] Menurut Az-Zarqaniy, terjemahan seperti ini tak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata. Terjemahan ini juga disebut dengan terjemahan lafdziyah atau musawiah.
Terjemahan jenis ini dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Kemudian dicari padanan kata dalam bentuk bahasa penerima, dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sejatinya terjemaha harfiah dalam definisi urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing bahasa selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata, adakalanya juga mempunyai kandungan nuansa[11] tersendiri.
b. Terjemahan tafsiriyah atau maknawiah
Terjemahan jenis ini adalah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber. Dalam definisi lain adalah menerangkan pengertian yang terkandung dalam suatu kalam dengan bahasa yang lain dengan terlepas dari kosa kata dan struktur kalimat bahasa lainnya. Terjemahan tafsiriyah mengutamakan ketepatan makna dan dimaksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan kalimat. Karena itu terjemahan ini juga dinamakan dengan terjemahan maknawiah karena mendahulukan ketepatan makna. Az-Zarqaniy dan Manna’ al-Qattan sama-sama menamakan terjemahan tafsiriyah dengan terjemahan maknawiah, walaupun di antara keduanya memiliki perbedaan dalam aspek lain.[12] Az-Zarqaniy memberikan nama terjemahan tafsiriyah karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir.
Metode yang dipakai dalam terjemahan tafsiriyah adalah dengan memahami terlebih dahulu maksud teks bahasa sumber, kemudian maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber.
Kriteria yang menjadi kualifikasi menjadi penerjemah al-Qur’an adalah sebagai berikut:
v Penerjemah menguasai dua bahasa, bahasa asli (bahasa sumber) dan bahasa terjemahan.
v Menguasai gaya bahasa-gaya bahasa dan keistimewaan-keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.
4. Syarat-Syarat Terjemahan
Ada kalangan yang merekomendasikan persyaratan terjemahan dengan membedakan persyaratan terjemahan tafsiriyah dan terjemahan maknawiah. Terjemahan tafsiriyah hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Hendaknya terjemahan dapat memenuhi semua pengertian dan maksud dari bahasa aslinya yang benar.
Susunan bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tanpa melihat kepada bahasa aslinya itu.
Sementara persyaratan terjemahan harfiah adalah sebagai berikut:
Kedua persyaratan tersebut di atas.
Kosa kata-kosa kata dalam bahasa terjemahan harus sama dengan kosa kata-kosa kata bahasa aslinya.
Ada kesamaan antara kedua bahasa (bahasa sumber dan bahasa terjemahan) mengenai kata ganti dan kata penghubung yang menghubungkan kosa kata-kosa kata untuk menyusun kalimat.
Namun secara ringkas dapat kualifikasi kriteria diperbolehkannya sebuah terjemahan dapat diidentifikasi dengan poin-poin berikut ini:[14]
Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima. Yang dimaksudkan penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber adalah penerjemahan harus benar-benar sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa sumber. . Contohnya adalah tentang kata السيا رة. Dalam konteks kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf ayat 10, kata السيا رة berbeda dengan kata السيا رة dalam konteks teknologi otomotif yang berarti mobil. Kata السيا رة dalam kisah Nabi Yusuf tersebut bermakna beberapa orang musafir.
Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan gaya bahasa penerima. Yang dimaksud dalam poin ini adalah penerjemahan benar-benar memperlihatkan kesesuaian gaya bahasa yang dipertemukan. Contoh yang dapat diajukan adalah: gaya ath-thibāq (الطباق) dalam bahasa Arab sama dengan gaya bahasa antitesis dalam bahasa Indonesia. Secara etimologi berarti lawan atau bertentangan. Selain itu, terdapat beberapa gaya bahasa[15] yang mesti diketahui sebelum melakukan terjemahan, seperti:
· Gaya bahasa al-itnāb (الاطنا ب) dalam bahasa Arab sepadan dengan gaya bahasa pleonasme[16] dalam bahasa Indonesia. Contohnya dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian itu saya lihat dengan mata kepala sendiri. Dalam al-Qur’an contohnya dalam ayat : تنزَل الملا ئكة والروح فيما ....... (Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril...).
· Dalam bahasa Indonesia terdapat gaya bahasa metonimia[17] yang sepadan dengan gaya bahasa majaz mursal dalam bahasa Arab. Metonimia juga dapat dikatakan sebagai sebuah causitas dan sinekdoke[18] dan termasuk totum pro parte.
Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dan ciri khas bahasa penerima. Untuk memperoleh deskripsi yang jelas tentang ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima akan dilihat dari peristiwa bahasa[19]. Contohnya adalah:[20]
· Bahasa Indonesia tidak mengenal fleksi (perubahan bentuk kata), baik konjugasi/tasrif (perubahan bentuk kata kerja), maupun deklinasi/i’rab (perubahan bentuk kata benda/sifat) seperti dalam terdapat dalam bahasa Arab.
· Bahasa Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata seperti yang terdapat dalam bahasa Arab.
· Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk jamak dualis dan bentuk jamak pluralis (jam’u at-taksir/broken plural, jam’u al-muzakkar as-salim/masculine sound plural, jam’u al-mu’annas as-salim/feminime sound plural) seperti dalam bahasa Arab.
5. Hukum Terjemahan
Dalam menetapkan hukum menerjemahkan al-Qur’an, terdapat empat konotasi yang muncul sebagai berikut:[21]
i. Hukum menerjemahkan al-Qur’an dengan pengertian menyebarluaskan ayat-ayatnya (تبليغ الفا ظه).
ii. Hukum menerjemahkan al-Qur’an dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa sumber (تفسيرته بلغته العربية).
iii. Hukum menerjemahkan al-Qur’an dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa penerima (تفسيرته بلغة اجنبية).
iv. Hukum menerjemahkan al-Qur’an dengan pengertian alih bahasa (نقله الى لغة اخرى)
.
i. Terjemahan secara harfiyah tidak boleh diangap sebagai arti dan maksud yang sesungguhnya dari al-Qur’an, terlebih untuk dijadikan suatu ketentuan dalam hukum. Sebab al-Qur’an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki yang bisa dipahami secara spontanitas oleh umumnya orang-orang yang mengerti bahasa Arab, dan sering-sering digunakan untuk arti dan maksudyang majazi atau arti dan maksud yang lainnya, yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab. Apabila lafazh-lafazh di dalam ayat-ayat al-Qur’an, yang dimaksudkan untuk arti majazi atau untuk maksud lainnya, lalu diterjemahkan secara harfiyah murni, maka terjemahan itu belum mencerminkan arti dan maksud dari ayat tersebut.
ii. Hukum terjemahan secara tafsiriyyah bisa menjadi pegangan, sepanjang terjemahannya memenuhi syarat-syarat seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Namun demikian, terjemahan al-Qur’an secara maknawiyah tersebut tidak bisa disebut terjemah “al-Qur’an”, melainkan cukup dinamakan dengan tafsir al-Qur’an.[23]
Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan dakwah adalah aspek pendekatan antara da’i dan ummatnya. Seorang da’i hendaknya mengetahui kondisi ummat di medan dakwahnya, mengetahui dinamika kehidupannya, tingkat intelektualnya, mengetahui jenis animo masyarakat terhadap kebutuhan sosial dan ekonomi, kebiasaan, dan segi kehidupan lainnya. Konsep seperti ini disebut dengan fiqhul ummah.
Salah satu unsur urgen dalam proses pendekatan tersebut adalah komunikasi antara da’i dengan ummatnya dalam bahasa ummat tersebut. Karena motivasi ini pulalah sehingga Allah mengirim seroang Rasul bagi suatu kaum dengan memakai bahasa yang dipahami oleh kaum tersebut. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[25], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan[26] siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Al-Qur’an diturunkan kepada seorang rasul yang berbangsa Arab, dengan bahasa kaumnya, yakni bahasa Arab. Kenyataan ini yang menempatkan bahasa Arab kepada posisi yang sangat penting dalam bangunan Islam dan menjadi pijakan bagi pelaksana komunikasi dalam rangka dakwah.
Misi al-Qur’an bersifat universal, diperuntukkan bagi ummat manusia semesta alam. Penegasan tentang hal ini dapat kita lihat dalam al-Qur’an, seperti pada ayat berikut:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
28. Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.
Kegiatan penerjemahan al-Qur’an ke dalam beberapa bahasa merupakan langkah untuk memberikan pemahaman mendalam tentang hukum yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Kontektualisasi dalam penerjemahan juga akan bermuara pada peningkatan pemahaman dalam menyikapi sebuah ayat al-Qur’an.
7. Unsur-Unsur Penting (Berkaitan Dengan Gaya Bahasa)
Dalam upaya penerjemahan al-Qur’an baik terjemah harfiyah maupun terjemah tafsiriyah selalu bersinggungan dengan gaya bahasa yang digunakan oleh bahasa sumber dan bahasa penerima. Sehingga dalam menerjemahkan sebuah ayat al-Qur’an mesti melihat beberapa poin dalam kajian bahasa. Poin-poin tersebut juga merupakan tahapan-tahapan yang mengisi metode dalam penerjemahan.
i. Kontekstualisasi
Sebagaimana telah tertera sebelumnya bahwa penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan bahasa penerima. Seperti pada contoh tadi tentang kata السيا رة. Dalam konteks kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf ayat 10, kata السيا رة berbeda dengan kata السيا رة dalam konteks teknologi otomotif yang berarti mobil. Kata السيا رة dalam kisah Nabi Yusuf tersebut bermakna beberapa orang musafir.[27] Demikian pula misalnya dalam penggunaan kata خدماست. Arti kata خدماست dalam konteks penulisan karya ilmiah ialah memakai atau menggunakan. Akan tetapi kata خدماست dalam konteks kepegawaian berarti merekrut atau memasukkan.
Penerjemahan juga harus sesuai dengan konteks bahasa penerima. Pengertian beberapa orang musafir untuk kata السيارة dalam konteks kisah Yusuf ketika sesuai dengan konteks bahasa penerima, maka sudah dapat dikatakan sesuai dengan bahasa penerima. Begitu pula sebaliknya.
Contoh lain adalah ketika menerjemahkan kata الفلسفة الاغريقية dengan hanya membuka kamus akan melahirkan pengertian falsafah yang tenggelam. Jika arti seperti ini yang muncul, ceritanya menjadi lain, sebab arti yang sesungguhnya berkaitan dengan filsafat, yakni filsafat Yunani. Jadi artinya adalah filsafa Yunani.
Kesimpulannya, penerjemahan tidak juga hanya mencakup kesesuaian dengan konteks bahasa sumber dengan bahasa penerima, akan tetapi harus pula dapat mencerminkan bahan yang diterjemahkan. Maka penguasaan bahan yang akan diterjemahkan menjadi penting bagi seorang penerjemah. Wajar jika dikatakan bahwa penerjemah idealnya adalah seorang yang ilmunya sebidang dengan pengarang buku yang diterjemahkan.
ii. Memperhatikan Gaya Bahasa
Penerjemahan juga harus memperhatikan gaya bahasa yang dianut oleh bahasa sumber dan gaya bahasa penerima. Dalam penerjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, ada beberapa gaya bahasa yang mesti diperhatikan.
Ø Dalam bahasa Arab terdapat gaya bahasa at-Tibaq (الطباق) yang sepadan dengan gaya bahasa antitesis dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini adalah gaya bahasa yang mengadakan perbandingan atau komparasi antara dua kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan.[28] Contohnya adalah:
· Dalam bahasa Indonesia: Ketampanannyalah justru yang menghancurkannya.
· Dalam al-Qur’an:
Jika diperhatikan pada contoh (2) merupakan gaya antitesis yang terdiri dari dua kata benda. Contoh (3) mengandung gaya antitesis yang terdiri dari dua kata kerja. Dapat juga terdiri dari sebuah kata benda dan sebuah kata kerja.
Ø Gaya bahasa al-Itnab dalam bahasa Arab sepadan dengan gaya bahasa pleonasme dalam bahasa Indonesia. Contoh gaya bahasa ini telah dijelaskan pada sub sebelumnya mengenai ayat tentang turunnya malaikat.
Ø Gaya bahasa metonimia dalam bahasa Indonesia sepadan dengan gaya bahasa majaz mursal dalam bahasa Arab. Kata Metonimia diambil dari kata Yunani meto yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma yang berarti nama. Contohnya dalam bahasa Indonesia adalah: Pena lebih berbahaya daripada pedang (berupa sebab untuk akibat, pena menunjukkan pedang). Kita dapat menganalogikan sebuah ayat dalam al-Qur’an yang sepadan dengan gaya bahasa ini.
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
82. “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.”
Alasannya, karena yang dimaksud dengan kata القرية (negeri) dalam ayat tersebut adalah penduduk. Jadi arti lengkapnya adalah: “Tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ”. Gaya seperti ini disebut di atas menggunakan sebuah kata untuk suatu hal yang lain karena memiliki pertalian yang sangat dekat, yaitu berupa tempat bermukim untuk pemukim atau negeri untuk penduduk.
Ø Gaya bahasa sinekdoke yang memiliki kemiripan dengan gaya bahasa metonimia. Gaya bahasa jenis ini sepadan dengan majaz mursal dalam bahasa Arab, yaitu gaya bahasa yang menggunakan keseluruhan untuk menunjukkan sebagian. Contohnya dalam ayat:
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ
19. “...mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara) petir...”. Jadi yang dimaksud dengan kata “jari-jari” (اصابع) dalam ayat ini adalah ujung jari (انامل), bukan berarti jari-jari yang utuh dari pangkal sampai ujung.
Dari contoh-contoh gaya bahasa tersebut dapat dikatakan bahwa penerjemah harus memahami ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima. Penerjemah mesti menguasai segala aspek kebahasaan dalam dua bahasa terkait. Namun, walaupun terdapat beberapa kesamaan antara gaya bahasa Indonesia dan bahasa Arab, masih terdapat perbedaan dalam beberapa aspek kebahasaan seperti berikut:
i. Bahasa Indonesia tidak mengenal istilah fleksi (perubahan bentuk kata), baik konjugasi/tasrif (perubahan bentuk kata kerja), maupun deklinasi/i’rab (perubahan bentuk kata benda/kata sifat). Bandingkan bentuk-bentuk berikut:
Konjugasi/tasrif:
Bahasa Indonesia | Bahasa Arab |
Saya pergi ke pasar | انا اذهب الي السوق |
Saya telah pergi ke pasar | ذهبت الي السوق |
Pergilah ke pasar | اذهب الي السوق |
Deklinasi/i’rab:
Bahasa Indonesia | Bahasa Arab |
Mansur sudah datang | جاء منصورٌ |
Saya sudah melihat Mansur | رايت منصورًا |
Saya pergi dengan Mansur | ذهبت مع منصورٍ |
Ali kecil | عليٌ صغيرٌ |
Ali lebih kecil dari Mansur | عليٌ أصغرُ من منصورٍ |
ii. Bahasa Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata seperti yang terdapat dalam bahasa Arab.
Bahasa Indonesia | Bahasa Arab |
Engkau | أنتَ: engkau laki-laki أنتِ: engkau perempuan |
Ia | هو:ia laki-laki هي:ia perempuan |
Mereka | هم: mereka laki-laki هن: mereka perempuan |
Kamu sekalian | أنتم: kamu sekalian laki-laki أنتن: kamu sekalian perempuan |
iii. Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk jamak dualis (bentuk jamak dua) dan bentuk jamak pluralis (bentuk jamak lebih dari dua) seperti pada bahasa Arab.
Bahasa Indonesia | Bahasa Arab |
Sebuah buku | كتابٌ |
Dua buah buku | كتابانِ |
Beberapa buah buku | كتبٌ |
Dalam bahasa Indonesia jumlah tunggal ditandai oleh pemakaian kata seperti esa, se-, dan satu atau suatu, sedangkan jumlah banyak umumnya dinyatakan dengan upaya pengulangan.[32]
8. Perbedaan Penerjemahan Dengan Penafsiran
Antara terjemahan dan penafsiran terhadap al-Qur’an terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:[33]
i. Dalam penerjemahan tidak pernah terlihat pembahasan tentang kata dan asal-usulnya, sedangkan dalam penafsiran sering terlihat pembahasan tentang kata dan asal-usulnya. Hal ini karena penerjemahan merupakan upaya pengalihan, bukan penjelasan. Jadi, penerjemahan harus berorientasi pada kesamaan, tanpa tambahan dan pengurangan sehingga misalnya saja terjadi kesalahan dalam bahasa sumber maka penerjemahan haru “patuh”. Sedangkan penafsiran menitikberatkan pada kejelasan ayat dan maksudnya.
ii. Bahasa yang digunakan dalam terjemahan adalah bahasa lurus, dalam arti tidak disertai dengan keterangan, kecuali dalam hal menerjemahkan kata-kata yang mengacu pada ciri-ciri tertentu atau yang mempunyai pemakaian khusus dalam bidang tertentu. Menerjemahkan kata seperti ini memerlukan pengungkapan secara tidak langsung dan sering berupa penjelasan yang panjang lebar, guna menciptakan kembali konteks-situasi yang releva, misalnya, تقوى, tidak cukup didefinisikan dengan takut saja, tetapi perlu penjelasan lain, yaitu memelihara diri dari siksaan Allah. Sedangkan penafsiran terikat dengan berbagai keterangan terutama tentang urutan kata atau huruf dalam rangka memperoleh makna.
iii. Penerjemahan (suatu waktu) membutuhkan kesan otensitas seluruh makna dasar dan tujuan dari penerima, sedangkan penafsiran juga (juga di suatu waktu), kesan ini juga tidak dibutuhkan oleh pembaca. Pembaca sudah merasa cukup dengan mengetahui maksud pokoknya saja.
iv. Penerjemahan kitab suci bukan Islam (Injil) memerlukan kesan autentisitas makna dan tujuan dari penerima sebagaimana dimaksudkan oleh penyusun melalui nama (judul terjemahan), sedangkan penafsiran hanya adakalanya saja dan tidak melalui nama (judul terjemahan), akan tetapi langsung melalui isi.
v. Penerjemahan memberikan kesan seakan-akan lepas dari bahasa sumber, dalam arti tidak transparan menghubungkan diri dengan teks asli. Penafsiran tidak memberi kesan bahwa ia lepas dari teks asli, ia sering mengadakan kontak dengan teks asli.
9. Karya-Karya Terjemahan
Karya terjemahan al-Qur’an, khususnya terjemahan ke dalam bahasa Indonesia sangat banyak. Berikut ini adalah beberapa di antara buah karya terjemahan tersebut:
1. Al-Qur’an dan Terjemahannya
Kitab ini disusun oleh sebuah tim yang tergabung dalam Lembaga Penerjemah Kitab Suci al-Qur’an yang terdiri dari 14 orang ulama, atas inisiatif Pemerintah Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan No. 91/1962 dan No. 53/1963. Pertama kali diterbitkan oleh percetakan dan offset Jamunu di Jakarta, tahun 1965.
2. Al-Qur’an fi Tafsiril Qur’an (Tafsir al-Furqan)
Kitab ini disusun oleh Ahmad Hasan, seorang ulama dan guru Persatun Islam. Pertama kali diterbitkan secara lengkap oleh Firma Salim Nabhan di Surabaya pada 15 Ramadhan 1375 atau 26 April 1956.
3. Kitab Terjemah Al-Qur’an karya Prof. Mahmud Yunus
4. Kitab Tafsir al-Qur’an disusun oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin H.S.
5. Kitab Taruman al-Mustafid karya Syekh Abdurrauf Singkil. Kitab terjemahan Abdurrauf Singkil ini tidak termasuk penerjemahan harfiyah, tetapi hanya mendekati jenis penerjemahan tersebut. Ada pula bagian di dalamnya yang termasuk penerjemahan tafsiriyah, yaitu alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan bahasa sumber. Dalam hal ini lebih mengutamakan ketepatan makna dan maksud semaksimal mungkin dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan kalimat. Disebut terjemahan tafsiriyah karena teknik penerjemahan menggunakan teknik yang sama dengan teknik penafsiran, dan memang yang diterjemahkan adalah tafsir al-Qur’an, bukan semata-mata ayat al-Qur’an.
6. Al-Kitab al-Muin Tafsir al-Qur’an Basa Sunda karya K.H. Muhammad Ramli yang diterbitkan oleh P.T. Al-Ma’arif Bandung pada tahun 1970.
7. Kitab al-Qur’an Karim Bacaan Mulia karya H.B. Yassin. Jika dilihat dari contoh-contoh yang ada dalam kitab terjemahan al-Qur’an H.B. Yassin, dapat dikatakan bahwa penerjemahan beliau dilakukan seharfiah mungkin meskipun tidak mutlak. Hal ini karena banyak kata yang tidak dapat diketahui maksud dan penggunaanya sebagai akibat logis dari penerjemahan tersebut. Hal ini karena tidak selamanya bahasa penerima mampu membunyikan bahasa sumber seperti yang dimaksudkan oleh bahasa sumber itu sendiri.
8. Kitab Tafsir al-Qur’anul Madjied an-Nur karya T.M. Hasbi ash-Shiddieqy. Jika dilihat dari contoh-contoh ayat yang terdapat dalam terjemahan al-Qur’an T.M. Hasbi ash-Shiddiqy, maka dapat dikatakan bahwa penerjemahan beliau termasuk jenis penerjemahan tafsiriyah (maknawiah), karena yang diterjemahkan memang tafsir al-Qur’an, yaitu dengan mengutamakan ketepatan dan kesesuaian makna.
Sementara itu Departemen Agama[34] Republik Indonesia juga telah melakukan terjemah al-Qur’an, dengan wewenang sebagai badan otoritas keagamaan di Republik Indonesia. Setidaknya telah dua kali Depag melakukan upaya terjemahan sebagai berikut:
1. Penerjemahan Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1970. Sebenarnnya, jika edisi tahun 1970 ini dikatakan sebagai penerjemahan, kurang tepat.[35] Yang benar adalah cetakan atau terbitan al-Qur’an dan Terjemahannya 1970. Terjemahan ini termasuk ke dalam jenis terjemahan harfiyah, walaupun tidak sepenuhnya bersifat leterlek.
2. Penerjemahan Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1990. Pada dasarnya terjemahan kali ini menyempurnakan terjemahan edisi sebelumnya. Sebagaimana jenis terjemahan Depag sebelumnya, terjemahan tahun 1990 ini pun termasuk terjemahan harfiyah, berdasarkan atas penerjemahan mutlak secara harfiah dengan pengertian satu lawan satu dan bentuk susunannya tetap.
9. Implikasi Variasi Terjemahan Bagi Penafsiran Ummat
Banyaknya kitab terjemahan al-Qur’an yang muncul, khususnya di Indonesia, menimbulkan beberapa poin penting yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Ketika satu kalangan memandang bahwa sebuah terjemahan tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan, maka akan timbul keinginan untuk melakukan terjemahan yang lebih sempurna. Contohnya ketika organisasi Nahdatul Ulama hendak melakukan revisi Terjemahan al-Qur’an versi Departemen Agama RI 1990.[36] Juga belakangan ini Majelis Mujahidin Indonesia hendak melakukan hal yang sama denga motivasi yang berbeda, yaitu karena anggapan bahwa maraknya tindak kejahatan atas nama agama adalah karena kesalahan pada terjemahan versi Depag yang kita pegang selama ini.
Ketika fakta yang muncul adalah adanya varian terjemahan al-Qur’an dalam masyarakat, maka akan timbul beberapa hal berikut ini:[37]
a. Mendorong organisasi lain untuk melakukan hal serupa, yaitu melakukan terjemahan yang dianggap lebih baik menurut mereka. Maka akan timbul karya-karya terjemahan yang berasal dari perspektif-perspektif yang berbeda-beda, karena belum tentu kalangan yang melakukan terjemahan tersebut berada dalam satu koridor perspektif.
b. Mengancam kesatuan ummat. Harus kita akui bahwa terjemahan al-Qur’an versi Depag RI selama ini merupakan satu-satunya rujukan yang diakui oleh ummat Islam Indonesia. Dengan demikian, kemunculan terjemahan versi NU atau MMI, dan mungkin akan disusul juga oleh terjemahan-terjemahan lainnya, akan menjadikan terjemahan versi Depag bukan satu-satunya rujukan ummat Islam. Dengan demikian, tidak ada lagi satu versi terjemahan yang mengikat seluruh organisasi keislaman yang ada menjadi satu kesatuan. Hal ini tentunya mempengaruhi persatuan ummat Islam di Indonesia.
c. Membingungkan ummat. Bila kemungkinan tadi terjadi, yakni dengan banyaknya terjemahan al-Qur’an dalam berbagai versi, hal itu akan sangat membingungkan ummat. Mungkin bagi kalangan intelektual fenomena tersebut bukan sebuah masalah, bahkan disikapi sebagai sebuah kemajuan intelektual yang lazim terjadi dalam tubuh ummat Islam. Akan tetapi bagi kalangan awam dipandang sebagai sebuah hal yang serius, dan riskan di saat mereka meyakini bahwa al-Qur’an merupakan satu-satunya sandaran di samping al-Hadits. Hal yang perlu diperhatikan lagi, kalangan awamlah yang merupakan kuantitas yang dominan.
KESIMPULAN
Dari sejumlah pembahasan mengenai terjemahan al-Qur’an di atas, kita dapat menarik beberapa poin berikut sebagai kesimpulan dari pembahasan ini:
1. Terjemahan al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu terjemahan harfiyah (pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai urut-urutan kata bahasa sumber) dan terjemahan tafsiriyah (alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber).
2. Dalam penerjemahan al-Qur’an harus memperhatikan syarat-syarat terjemahan dan penerjemah sebagai kualifikasi wajib sehingga terjemahan yang dihasilkan benar-benar qualified.
3. Hukum terjemahan al-Qur’an ketika disikapi dengan upaya menanamkan pemahaman mendalam kepada masyarakat adalah wajib. Karena dakwah Islam tidak mungkin sampai sasaran tanpa upaya komunikasi yang baik antara da’i dan ummat.
4. Terjemahan al-Qur’an harus memperhatikan aspek kebahasaan, baik bahasa sumber maupun bahasa penerima.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1990
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003
Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi 1990, Jogja: Tiara Wacana, 2001
Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Drs. Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabuddin, al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Penerbit Pustaka, 1989
Henri Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Bandung: Angkasa, 1985
Muhammad Daud Dahlan, Sesat Menyesatkan (Mengungkap Kekeliruan Terjemahan & Tafsir al-Qur’an Yang Beredar di Indonesia), Jakarta: al-Idrisiyah, 2010
Prof. T. M. Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972
End Notes
[1] Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi 1990, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 57
[2] Hal ini telah dikuatkan pula oleh hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang Ibn Abbas: نعم ترجمان الله بن عبا سالقران عب . artinya, sebaik-baik penafsir al-Qur’an adalah Abdullah Ibn Abbas.
[3] Beliau adalah Jārullah Abu al-Qāsim Mahmūd bin Umar az-Zamakhsyariy.
[4] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriah, juz 15, hal.120
[5] Beliau adalah Muhammad bin Abi Bakar ar-Raziy.
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hal. 22
[7] Drs. Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama, Bandung: Penerbit Pustaka, 1989, hal. 305
[8] Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, hal. 60
[9] Lihat Manna’ al-Qattan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hal. 313
[10] Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam, 307
[11] Perbedaan yang bersifat implisit
[12] Az-Zarqaniy menamakan terjemahan tafsiriyah dengan terjemahan maknawiah karena terjemahan tersebut mengutamakan kejelasan makna, sedangkan Manna’ al-Qattan tidak menyertakan penjelasan dan alasan apapun.
[13] Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam, hal. 307
[14] Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, hal. 62-63
[15] Dalam contoh ini diambil Bahasa Indonesia sebagai bahasa penerima dan Bahasa Arab sebagai bahasa sumber.
[16] Gaya bahasa pleonasme adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata lebih banyak dari yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Namun, meskipun kata yang berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh.
[17] Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
[18] Semacam bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau menggunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian.
[19] Merupakan sebuah istilah dalam cabang ilmu bahasa yang berfungsi membicarakan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam bahasa sebagai akibat pemakaian bahasa tersebut.
[20] Perihal mengenai perbedaan aspek kebahasaan ini akan dijelaskan dalam sub kajian selanjutnya.
[21] Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, hal. 85-86
[22] Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam, hal. 308
[24] Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam, hal. 305
[25] Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti bahwa Al Qu'an untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia.
[26] disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.
[27] Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 349
[28] Henri Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Bandung: Angkasa, 1985, hal. 234
[29] Q. S. 18:18
[30] Q. S. 10: 56
[31] Q. S. 2: 286
[32] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992, hal. 201
[33] Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, hal. 74-80
[34] Sebelum berubah menjadi Kementrian Agama (Kemenag)
[35] Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, hal. 135
[36] Sebagaimana tulisan yang dimuat dalam Majalah Panji Masyarakat No. 719 edisi 11-20 Mei 1992
[37] Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hal. 298
0 comments
Posting Komentar