Refleksi Dalam Alienasi 1

Posted by By Truth Seekers On 01.47


Well, kali ini saya kepengen dikit curhat tentang episode kehidupan yang baru baru ini sedang saya alamin yg mengantarkan saya menuju beberapa refleksi. Menginjak akhir tahun ke-3 di Madrasah Aliyah, beberapa teman mulai sibuk ngurusin perguruan tinggi. Sebagian udah mulai daftar SPMB, SNAMPTN, dsb.  Ketika itu diriku emang sengaja nggak pengen terlalu sibuk mikirin kuliah, soalnya pas lulus aliyah niat pertama emang nggak kepengen kuliah, tapi lebih kepengen terlebih dahulu menjelajah berbagai pesantren dengan masing-masing spesifikasi keilmuannya. Pesantren Baitul Hikmah di hawur Kuning dengan Al-Fiyyah-nya, Miftahul Huda Manonjaya dengan Tauhid-nya, Pesantren Mama O'ot (almarhum) dengan Tafsir-nya dan sederet pesantren lain dengan masing-masing spesialisasi keilmuannya ketika itu merupakan lembaga pendidikan yang sangat prestisius dalam pandangan saya dibandingkan dengan perguruan setinggi apapun.  

Tapi .. ya .., the wind has take me away into another realm, setelah diriku mengutarakan niat tersebut kepada babeh, ternyata dia totally disargee dengan keputusanku tadi. Akhirnya, diriku mengalah dan mencoba nyari kuliahan, tapi pengennya yang gratis, biar nggak nyusahin mereka juga. Tanpa pertimbangan yang panjang, cuman modal nekat saya langsung daftar PBSB (program beasiswa santri berprestasi) dari Kemenag RI. Program itu menyediakan beasiswa di 13 PTN favorit di Jawa : ITB, IPB, UIN Jakarta, UPI, UGM, UIN Jogja, IAIN Semarang, UIN Malang, Unair, IAIN Surabaya, UIN Malang, ITS, dan Unram. Singkat cerita, akhirnya saya lolos tes beasiswa din UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di jurusan tafsir-hadits Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam... time to say good by to my beloved Cipasung days ....



     A New Day
 Ketika diriku mulai memasuki dunia PBSB (Juli, 2010) dan menghirup udara baru di Yogjakarta yang katanya kota pelajar itu, sebenarnya tidak ada sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya. Segalanya masih berjalan dalam lorong mainstream yang sama dengan di pesantren Cipasung. Namun hal itu ternyata tidak bertahan lama, atmosfir yang sama sekali berbeda benar benar dirasakan ketika saya diperkenalkan dengan mata kuliah Islamic Studies oleh seorang dosen lulusan Arizona State University (ASU). Semuanya terwakili dalam satu kata, “kaget“. Kekagetan ini bisa juga dikatakan sebuah kekagetan akademik yang belum dialami sebelumnya. Sampai di sini, saya sadar bahwa saya sedang mengalami “perguliran musim“ akademis dari “musim” tradisional (pesantren) ke musim “kontemporer“ (kuliahan). Berulangkali saya ingatkan diri saya bahwa saya sedang berada pada “pancaroba“ akademis dan berada pada alienasi mainstream pemikiran (Quo Vadis seorang santri).

            Di sinilah saya kenalan sama Fazlur Rahman (1919-1988), salah satu pemikir Islam terpenting abad ini dengan gebrakan Neo-Modernisme dan Hermeneutika Double Movement yang diusungnya. Setelah saya mulai menyelami pemikiran Fazlur Rahman dengan membedah buku-buku yang bersangkutan dan melakukan semacam dialog imajiner, barulah di sini saya benar-benar menyadari atmosfir yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Ketika membaca Rahman, senyum saya terkembang, saya merasa bisa ambil bagian dalam proyek yang digagasnya, yakni neo-modernisme yang mengintegrasi secara adil ashalah dan hadatsah yang merupakan bengkalai abadi peradaban umat Islam sepanjang sejarahnya. Pengertian ini semakin mantap ketika saya mulai banyak menkonsumsi beberapa pemikiran yang beragam dengan metode dan pendekatan yang bervariatif pula, mulai dari Abduh, Amina Wadud, Nurcholis Madjid, Nasr Hamid, Arkoun, Syahrur, sampai Adian Husaini, Abu Bakar Ba’asyir, dll. Pada titik ini, saya mulai memasuki pintu gerbang akademis yang baru ; berfikir kritis-objektif.

       Beberapa Kekagetan & Self Positioning

Mulai dari sini, pintu gerbang yang sekian lama tertutup rapat semakin terbuka lebar. Lambat laun, diriku berusaha untuk bisa positioning dalam studi Islam. “Kekagetan akademik” saya kembali berlanjut ketika belajar Filsafat Ilmu & Logika. Bagi saya hal ini juga berarti pengikisan alienasi dalam percaturan akademis dan tentunya sekarang si santri sedang tidak berada dalam Quo Vadis-nya lagi, perlahan ia mulai bisa memahami tidak hanya mendefinisikan gajah dengan kupingnya saja, namun mulai meraba pada bagian-bagian lain yang belum terjamah sebelumnya.

“Kekagetan akademik“ tersebut membuat saya “berzikir“ bahwa selama ini diriku hanya mendefinisikan gajah sebagai “hewan yang mirip kipas yang lebar“, karena saya baru memegang kupingnya saja. Namun di sini saya mulai bisa memegang “ belalai, gading, bahkan tubuhnya “  sehingga definisi lama saya revisi.

So .. the true story had just began ..., moment yang paling bertanggung jawab atas terpenuhinya otak saya dengan bengkalai skeptisisme yang liar dan nakal adalah mata kuliah Filsafat. Ketika pertama kali belajar Logika & Filsafat Ilmu (semester kedua), kesan pertama yang terbesit adalah “awas sesat“. Kesesatan dan keraguan terjadi di mana-mana pada setiap orang. Segera saya sadari ternyata saya merupakan termasuk golongan orang-orang yang sesat dan mudah-mudahan tidak menyesatkan. Selama pembelajaran logika, saya dan beberapa teman yang lain mulai menyadari bahwa kami tidak terbiasa berfkir logis. Tapi syukurlah, dengan belajar logika, kami bisa menghindari “kesesatan” dan kembali ke “jalan yang benar”. Kini pengetahuan tidak hanya sebatas kata pengetahuan an sich, ia dibedah dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. 


Selanjutnya, saya pribadi benar-benar tenggelam ke dalam dunia gila-nya para filosof, mulai dari pertanyaan filosofis dari filosof yunani pertama, Thales ( circa 600 BC) "what's the nature of all matter?, yang ketika itu dia hanya menjawab "air", disambung dengan jawaban lainnya oleh Parmanides, Anaximander, Heraclitus, Zeno dan filosof pra-socratic lainnya, sampai pada cerita dramatis tentang "syahidnya" Socrates sebagai simbol kerinduan manusia akan kebebasan berfikir, yang kemudian melahirkan Plato dan Aristoteles. Selanjutnya Cogito ergo sum-nya Descartes, merupakan suntikan awal pendayagunaan rasionalitas, lalu ada transendensi Immanuel Kant dengan konsep das ding an sich-nya terkait nomena dan fenomena, monisme-nya Spinoza, Monad-nya Leibniz, sampai kepada Nietzsche, si eksistensialis yang tidak manusiawi, orang yang seenak perutnya menjungkir balikkan nilai dan moralitas yang dengannya ia "membunuh" tuhan. Dan akhirnya saya harus berakhir pada pernyataan William James, seorang penganut pragmatisme, tentang orang beragama sebagai "a creatures of exalted emotional sensibility", gelar yang panjang yang nggak enak didengar bagi kaum agamawan. Saya seringkali berfikir, seandainya saya tidak mempunyai latar belakang santri, what will happen ?, 

       Tak heran jika fakultas Ushuluddin memang dilabel sebagai rahim liberalisme islam, atau dalam bahasa Hartono Ahmad Jaiz, sumber adanya "pemurtadan di IAIN". Tapi janganlah terburu-buru, kita selesaikan dulu ceritanya. Sebelum saya menginjakan kaki di UIN Jogja, ada satu pepatah sayyidina Ali kw. yang akan senantiasa menjadi kacamata ideologis saya: "khudzil hikmah, walaa yadlurruka min ayyi wi'ain kharajat" ( Ambillah hikmah itu dan janganlah merisaukanmu darimana ia berasal). Namun justru dengan ketenggelaman itulah, saya merasa  semakin lancar melesat mencapai permukaan dimensi ideologis. Belajar logika & filsafat benar-benar menantang dan menyeramkan namun mengasyikkan. Pada titik ini saya kembali menemukan jati diri baru; menjadi santri observer dan menolak prinsip taken for granted. What i took for granted before; something rumored by many people arround me, for now is totally denied in my own way of life .... ^_^ 


Bersambung ke part 2

0 comments

Posting Komentar