Refleksi Dalam Alienasi 2

Posted by By Truth Seekers On 03.30

                 Upgrade Wacana
            Mulai semester ketiga, pernak pernik wacana Keislaman terasa semakin full color aja. Dengan tafsir-hadits sebagai poros keilmuan, studi Islam kini dibedah secara integratif dan interkonektif, sesuai dengan jargon keilmuan di UIN Sunan Kaijaga Yogyakarta. Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak lagi “kesepian” menjalani hari-harinya, kini ia mulai ditemani oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya yang berwarna pelangi. Berkat integrasi-interkoneksi, Ilmu- ilmu sains, sosial, dan politik kini telah asyik berdialog ria dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.

            Daya sentripetal dan sentrifugal yang dimiliki oleh Al-Qur’an telah menjadikan kitab suci ini menjadi suatu teks yang membangun suatu peradaban yang fenomenal dalam sejarah. Tidak heran ketika Nasr Hamid Abu Zayd menyebut peradaban Islam sebagai peradaban teks (hadlarah an-nash). Kini cahaya Al-Qur’an  tidak lagi “hitam-putih”. Layaknya berlian yang setiap sisinya memancarkan cahaya, Al-Qur’an telah memberikan cahaya yang berwarna.


            Namun, jujur saya akui, semakin dalam wacana ke-Islaman diselami, semakin sering pula saya mengerut kening. Jika dibandingkan, diriku lebih sering mengerut kening ketimbang menyungging senyuman. Sampai sekarang, bengkalai yang berserakan masih tersimpan dalam fikiran saya. Ya .. sebut saja problem krusial seputar determinisme dan free will yang merupakan isu pertama yang "mengadudomba" rasionalitas dan teologis saya. Kemudian isu historis yang sampai saat ini masih menjadi bengkalai kaum muslimin, konflik sunni-syi’ah. Jujur saja ketika menelusuri leksikon historis terkait hal tersebut, problem yang krusial dan pelik menumpuk seketika. Terkadang saya berfikir, mereka yang terlibat dalam konflik sunni-syi’ah merupakan korban keganasan politik dan warisan sejarah yang tidak semestinya dilestarikan. Selanjutnya rasa berontak saya utarakan kepada Liga Arab, khusushan Arab Saudi yang sedikitpun tidak “berkicau” di tengah penindasan Palestina. Demikianlah saya menggeser data base dalam fikiran saya, dari persoalan nahwu di Al-Fiyyah dan Mughnil Labib, Bab fiqih dalam I’anah al-Thalibin, kepada persoalan semacam ini.
            Sampai kepada dunia pesantren, dunia di mana saya berasal, sejuta tanya yang menyeruak akhirnya muncul. “Mengapa” dan “bagaimana” selanjutnya merupakan dua kata yang wajib saya sertakan ketika saya teringat pesantren, tempat di mana saya dulu dibesarkan. Lantas, mengapa ? dan bagaimana ?  

0 comments

Posting Komentar