Mulai semester
ketiga, pernak pernik wacana Keislaman terasa semakin full color aja. Dengan
tafsir-hadits sebagai poros keilmuan, studi Islam kini dibedah secara
integratif dan interkonektif, sesuai dengan jargon keilmuan di UIN Sunan
Kaijaga Yogyakarta. Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak lagi “kesepian” menjalani
hari-harinya, kini ia mulai ditemani oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya yang
berwarna pelangi. Berkat integrasi-interkoneksi, Ilmu- ilmu sains, sosial, dan
politik kini telah asyik berdialog ria dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Daya sentripetal
dan sentrifugal yang dimiliki oleh Al-Qur’an telah menjadikan kitab suci ini
menjadi suatu teks yang membangun suatu peradaban yang fenomenal dalam sejarah.
Tidak heran ketika Nasr Hamid Abu Zayd menyebut peradaban Islam sebagai
peradaban teks (hadlarah an-nash). Kini cahaya Al-Qur’an tidak lagi “hitam-putih”. Layaknya berlian
yang setiap sisinya memancarkan cahaya, Al-Qur’an telah memberikan cahaya yang
berwarna.
Namun, jujur saya
akui, semakin dalam wacana ke-Islaman diselami, semakin sering pula saya
mengerut kening. Jika dibandingkan, diriku lebih sering mengerut kening ketimbang
menyungging senyuman. Sampai sekarang, bengkalai yang berserakan masih
tersimpan dalam fikiran saya. Ya .. sebut saja problem krusial seputar determinisme
dan free will yang merupakan isu pertama yang "mengadudomba" rasionalitas dan teologis saya.
Kemudian isu historis yang sampai saat ini masih menjadi bengkalai kaum
muslimin, konflik sunni-syi’ah. Jujur saja ketika menelusuri leksikon historis
terkait hal tersebut, problem yang krusial dan pelik menumpuk seketika.
Terkadang saya berfikir, mereka yang terlibat dalam konflik sunni-syi’ah
merupakan korban keganasan politik dan warisan sejarah yang tidak semestinya
dilestarikan. Selanjutnya rasa berontak saya utarakan kepada Liga Arab, khusushan Arab Saudi yang
sedikitpun tidak “berkicau” di tengah penindasan Palestina. Demikianlah saya
menggeser data base dalam fikiran saya, dari persoalan nahwu di Al-Fiyyah
dan Mughnil Labib, Bab fiqih dalam I’anah al-Thalibin, kepada
persoalan semacam ini.
Sampai kepada
dunia pesantren, dunia di mana saya berasal, sejuta tanya yang menyeruak
akhirnya muncul. “Mengapa” dan “bagaimana” selanjutnya merupakan dua kata yang
wajib saya sertakan ketika saya teringat pesantren, tempat di mana saya dulu
dibesarkan. Lantas, mengapa ? dan bagaimana ?
0 comments
Posting Komentar