Di era pasca-reformasi, demonstrasi merupakan sebuah bentuk protes yang seakan telah menjadi common sense sebagai realitas politik. Tidak hanya mahasiswa yang seringkali diidentikan dengan aksi demo, berbagai elemen lain seperti buruh, perangkat pemerintah lokal, kaum guru, bahkan banyak elemen masyarakat lain yang tergolong – meminjam bahasa Marx – proletar yang sudah bosan dengan perlawanan resisten menjadikan aksi demonstrasi sebagai ungkapan rasa kekecewaan mereka terhadap pemerintah.
Permasalahannya kemudian adalah label anarkisme yang semakin
menemukan ruangnya dalam percaturan politik kita. Sebagai sebuah fenomena
politik, - merujuk teori Robert Wolff – aksi demo yang anarkis berawal dari
benturan (clash) antara otonomi moral individu masyarakat dan legitimasi
wewenang negara. Pada tahap tertentu, benturan tersebut terakumulasi dan
akhirnya melahirkan anarkisme dalam aksi demonstrasi. Salah satu momen politik
yang beberapa minggu terakhir sempat menjadi sorotan berbagai media informasi
adalah aksi demonstrasi anarkis yang dilakukan oleh ribuan perangkat desa di
depan gedung DPR-RI (Jum’at/14/12/2012). Dengan peristiwa tersebut, label
anarkisme semakin menemukan ruangnya dalam percaturan politik kita; bahwa
ternyata tidak hanya demo mahasiswa yang seringkali berakhir anarkis, seakan
tidak mau kalah, para elit pedesaan pun juga bisa mengakhiri demo dengan tembakan
gas air mata dari kepolisian.
Anarkisme yang telah membudaya seharusnya
menjadi keprihatinan kita bersama. Nilai kesantunan bangsa kembali
dipertanyakan. Dalam hal ini, landasan moralitas menjadi penting untuk
dibincangkan. Tulisan ini mencoba sedikit menyoroti fenomena demonstrasi dalam
bingkai moralitas Islam, sebagai agama dengan jumlah pengikut terbanyak di
Indonesia yang juga ikut membangun konstruksi moralitas bangsa Indonesia itu
sendiri. Di sini secara khusus akan dipaparkan bagaimana teks hadits Nabi
mencoba menjelaskan interaksi politik yang bermoral.
Menurut Rasulullah
saw., interaksi politik antara rakyat dan pemerintah harus berlandaskan nilai
kesantunan. Penyelesaian anarkis yang memenangkan opini tertentu dengan
kekuatan dan kekerasan tidak dibenarkan dalam Islam. Dalam sebuah hadits
dijelaskan bahwa suatu ketika para sahabat meminta pertimbangan Nabi terkait
pemerintah yang tidak memenuhi kewajibannya namun terus menuntut haknya kepada
masyarakat, Nabi menjawab: “tetap dengarkan dan ta’ati mereka, sesungguhnya
mereka akan mempertanggungjawabkan apa yang mereka perbuat sebagaimana kalian
akan mempertanggungjawabkan apa yang kalian perbuat” (Sahih Muslim: 4344).
Jawaban Nabi tersebut merupakan langkah
elementer dalam menghadapi ketegangan politik. Betapa beliau tidak menginginkan
terjadinya kerusuhan atau chaos dalam masalah pemerintahan yang tentunya
akan menambah masalah krusial lainnya. Lantas, sampai kapan langkah elementer
itu berlaku, menurut Nabi, batasan “mendengarkan” dan “menta’ati” adalah selama
pemerintah tidak memerintahkan berbuat maksiat: mendengar dan ta’at (kepada
pemimpin) adalah haq (keharusan) selama tidak diperintah berbuat maksiat. (Sahih
Bukhari: 2735). Menurut Ibn Bathhal, alasan keta’atan kepada pemerintah harus
tetap dijaga adalah karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan kolektif
(Syarah Sahih Bukhari: 5/126).
Lantas, bagaimana
seharusnya seorang warga negara menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah ?.
Dalam hal ini Nabi lebih menganjurkan untuk melakukan diplomasi yang santun
daripada demonstrasi brutal. Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa
dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan secara terang-terangan, tapi
gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima,memang begitu, jika
tidak maka ia telah melaksanakan kewajibannya. (Musnad Ahmad: 14792).
Demikianlah pesan-pesan Nabi terkait interaksi politik yang jika dirangkum,
semuanya terwakili dalam satu kalimat saja; “interaksi politik yang santun”.
Oleh : Asep Nahrul M
0 comments
Posting Komentar