1. Sketsa Biografis
Jika
kita bertanya siapa orang barat pertama yang benar-benar menggunakan akalnya
dengan serius untuk memikirkan alam semesta ?. Jawabannya adalah Thales of
Miletus, filosof Yunani pertama. penggunaan akal dengan serius di sini berarti
independensi akal dari berbagai mitologi yang pada era sebelum Thales merupakan
basis berfikir umat manusia. Menurut Encyclpaedia Britannica[1], ia dikenal
sebagai filosof Yunani Kuno pertama berdasakan konsensus. Ia adalah orang yang
mengawali lembar sejarah filsafat barat, sebagaimana dinyatakan oleh Bertrand Russel:
“western philosophy begns with Thales”[2]
Sebagian
mengidentifikasinya sebagai bapak filsafat yang dikenal dengan kosmologinya,
bahwa air adalah bahan dasar segala sesuatu
( the essence of all matter)
dengan bumi terapung di atasnya. Ia mengajukan pertanyaan yang amat mendasar,
yang jarang diperhatikan orang; juga orang zaman sekarang: what is the nature of the world
stuff ?. Apa bahan dasar alam semesta ini ?. Tak pelak lagi, pertanyaan ini
amat mendasar. Terlepas dari apapun jawabannya, pertanyaan ini saja telah
mengangkan namanya menjadi filosof pertama. Ia sendiri menjawab air. Thales mengambil air sebagai dasar
alam semesta barangkali ia melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan
dalam kehidupan, dan menurut pendapatnya bumi ini terapung di atas air.[3]
Pertanyaan ini merupakan pintu gerbang dari transisi era mitologis menuju era
logis. Disebutkan bahwa ia sering berlayar ke Mesir dan mempelajari ilmu ukur
di sana dan membawanya ke Yunani.[4]
Thales
lahr di kota Miletus, sebuah kota Yunani kuno yang terletak di Asia kecil (Asia
Minor) yang sekarang merupakan wilayah provinsi Aydin, Turki.[5]
Ia dikenal sebagai salah satu dari legenda seven
wise man (tujuh orang bijak)
atau hoi hepta sophoi, dalam tradisi filsafat
pre-socratic bersama enam orang lainnya: Cleobulus of Lindos , Solon of Athens,
Chilon of Sparta, Bias of Priene, Pittacus of Mytilene, Periander of Corinth.
Tidak banyak referensi historis terkait Thales, tidak ada bukti-bukti tertulis
tentang filsafatnya yang sampai kepada kita, sehingga pencapaian Thales dalam
filsafat sulit diakses. Namun, dengan dimasukannya Thales dalam jajaran seven wise man, setidaknya ada beberapa referensi
yang membincang Thales dan petuah-petuahnya, seperti “know thyself” (kenali dirimu) dan “nothing in
excess” (jangan berlebihan).
Selain sebagai filosof, ia juga dikenal sebagai seorang ahli politik, astronomi
dan geometri. Teorema Thales merupakan salah satu teori matematika tertua yang
terkenal.
2.
Beberapa Leksikon Kuno Terkait Thales dan Reputasi Hidupnya
Dalam
Encyclopaedia Britanica disebutkan beberapa tokoh Yunani kuno yang
pernah menulis tentang Thales. Herodotus (484-485 SM), salah seorang sejarawan
Yunani kuno, meneyebutkan bahwa Thales merupakan seorang penasihat politik yang
mengadvokasi kota-kota di daerah Aegean, Iona. Callimachus (305-240 SM),
seorang pujangga Yunani, sempat merekam suatu kepercayaan tradisional bahwa
Thales memberikan nasihat kepada navigator kapal laut untuk mengendalikan
kapalnya dengan berdasarkan kepada rasi bintang ursa minor (the little bear) daripada ursa mayor (the great bear). Keduanya merupakan konstelasi bintang
di belahan bumi utara. Ia juga mengatakan bahwa Thales mampu mengukur piramida
di Mesir dan jarak kapal di laut dari pantai dengan ilmu geometri yang dimilikinya.
Xenophanes (560-478 SM) menyebutkan bahwa Thales telah berhasil memprediksi
gerhana bulan yang menghentikan pertempuran antara Raja Alyattes, dari Lydia
dan Raja Cyaxares, dari Media pada tanggal 28 Mei 585 SM. [6]
Menurut Richard McKirahan, Thales mampu memprediksi gerhana tersebut setelah ia
mempelajari catatan-catatan astronomi yang tersimpan di Babilonia sejak 747 SM.[7]
Selanjutnya,
klaim yang menyebutkan bahwa Thales merupakan filosof pertama yang membuka
lembaran sejarah filsafat Eropa dicetuskan terutama oleh Aristoteles
(384-322 SM). Menurutnya, Thales merupakan orang pertama yang memikirkan alam
semesta dengan memperkenalkan sebuah konsep single
material substratum (dasar material tunggal alam semesta), yakni air
(water) atau embun (moisture).[8]
3. Teori-Teori Thales
A. Pemikiran Filsafat
Signifikansi
filsafat Thales ini terletak pada pilihannya kepada air sebagai substansi yang
esensial (substantial essence) alam semesta. Dalam hal ini ia telah
menghindari simplifikasi fenomena sekitarnya. Dalam pencarian gejala
alam, secara langsung ia berdiskusi dengan alam itu sendiri dengan tidak
bersandar kepada sebab-sebab anthropomorphis belaka. Mulai dari Thales, alam
berfikir kemanusiaan digeser dari mistis dan mitis menuju alam rasional.
Pada
masa itu, orang-orang Yunani selalu menjelaskan fenomena alam dengan
menisbatkannya kepada para dewa antropomorfik. Dalam hal ini, Thales menolak
tardisi semacam itu, ia melakukan revolusi intelektual dengan mencoba
menjelaskan fenomena alam via eksplanasi rasional. Misalnya terkait fenomena
gempa bumi, ketika masyarakat Yunani melihat gempa bumi sebagai sesuatu yang
dihasilkan oleh proses supranatural,Thales menjelaskan bahwa gejala alam
tersebut terjadi karena bumi mengapung di atas air dan ia terjadi karena bumi
digoyang oleh ombak-ombak di laut.
Air Sebagai Substansi Segala Sesuatu
Pemikiran Thales
yang paling terkenal adalah tesis kosmologi-nya yang bermula dari air.
Penjelasan paling komprehensif terkait kosmologi Thales ini terdapat dalam
kutipan Metaphysis-nya Aristoteles:
..
bahwa dari apa sesuatu itu ada, dari mana sesuatu itu terbentuk untuk yang
pertama kalinya, dan akan kemana akhirnya sesuatu itu akan berujung, substansi
merupakan hal yang ada di dalamnya.....
....
Untuk itu perlu ada beberapa “nature”, satu atau lebih, di mana sesuatu
lainnya berasal dan disimpan .... Thales, pendiri jenis filsafat ini mengatakan
bahwa itu adalah air ... [9]
Demikianlah kutipan
Aristoteles tentang kosmologi Thales, bahwa dasar segala sesuatu adalah air.
Selanjutnya, Heraclitus Homericus juga pernah membincang tentang kosmologi
Thales. Ia mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulannya setelah mengamati
substansi zat lembab yang kemudian
menjadi udara, lumpur dan bumi/zat padat. Tampaknya Thales melihat bumi
sebagai pemadatan dari air di mana bumi itu mengambang dan dikeliling lautan.[10]
Thales sendiri merupakan seorang Hylozoist, sebuah sebutan bagi mereka yang meyakini
bahwa semua materi itu hidup.
B. Teorema Thales
Dalam ilmu geometri, Thales dikenal karena
telah menyumbangkan suatu teori yang disebut teorema Thales. Teori ini berisi :
1.
Sebuah lingkaran
terbagi dua sama besar oleh diameternya
2.
Sudut bagian dasar
dari segitiga samakaki adalah sama besar
3.
Jika ada dua garis
lurus bersilangan, maka dua sudut yang saling berlawanan akan sama
5.
Sebuah segitiga
terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudut yang yang bersinggungan dengan
bagian dasar tersebut telah ditentukan.[11]
C.
Thales dan Tuhan
Thales telah
menetapkan metode berfikirnya kepada suatu objek sebagai sesuatu yang berubah
menjadi objek lainnya, seperti air berubah menjadi bumi, dst. Lantas bagaimana
dengan perubahan itu sendiri ?, bagaimana kekuatan untuk merubah suatu benda ke
benda lain bisa dijelaskan ?.
Thales
mencari jawabannya melalui batu magnet “loadstone” yang bisa menggerakan
besi dan batu ambar. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Thales merupakan
penganut aliran Hylozoist yang meyakini bahwa segala sesuatu memiliki jiwa yang
karenanya ia hidup. Loadstone merupakan satu dari dua batu mineral yang
mengandung magnet alami, batu lainnya pyrrhotite memiliki daya magnet
yang lebih lemah. Sedangkan ambar merupakan resin pohon yang telah mengeras
menjadi fosil. Dalam batu magnet dan ambar ini ia melihat adanya suatu kesamaan
dengan kekuatan makhluk hidup untuk bertindak. Maka dalam pandangannya,
keduanya hidup.
Batu magnet dan ambar, keduanya
hidup dalam pandangan Thales, jika demikian, maka tidak ada perbedaan antara
yang hidup dan yang mati. Ketika ia ditanya kenapa ia tidak mati saja jika
memang tidak ada perbedaan antara keduanya ?, ia menjawab : karena tidak ada
bedanya !.
Jika sesuatu itu hidup, maka ia
memiliki jiwa. Sebenarnya konsep ini bukanlah sebuah inovasi. Kepercyaan yang
berkembang sebelumnya di daerah Mediterania juga menyatakan bahwa semua
gejala-gejala natural disebabkan oleh intervensi ketuhanan. Secara konklusif,
sumber yang ada mengatakan bahwa Thales meyakni bahwa segala sesuatu itu
dipenuhi oleh tuhan-tuhan (all things were full of gods). Namun dalam
hal ini Thales mencari sesuatu yang lebih general, yaitu suatu substansi
fikiran universal.
“Thales”, kata Cicero, “ menganggap
bahwa air merupakan prinsip segala sesuatu, dan tuhan adalah fikiran yang
membentuk dan menciptakan segala sesuatu dari air”.
[1].
Encyclopædia Britannica, Thales
of Miletus,. (Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite.
Chicago: Encyclopædia Britannica 2010).
[2] . Bertrand Russel, The Story of
Western Philosophy, (New York, Simon and Chuster).
[3]. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:
Rosda Karya, 1998), hlm.
[6] . Encyclopædia Britannica, Thales
of Miletus
[7] . Richard McKirahan, “Presocratic
Philosophy” In The Blackwell Guide to Ancient Philosophy, Christopher
Shields (ed.) (Malden, Blackwell Publishing, 2003), hlm. 5-6
[8] . Encyclopædia Britannica, Thales
of Miletus
[10] . Ibid
0 comments
Posting Komentar