Pendahuluan
Dalam bukunya, Women and
Islam : an Historical and Theological Enquiry, secara khusus Fatimah
Mernissi, seorang feminis terkenal asal Maroko membincang tentang sejarah
perjuangan feminisme yang dilakuan Rasulullah dalam satu bab penuh. Melalui
pendekatan historis, ia mengurai secara komprehensif berbagai fenomena yang
mengkontraskan Rasulullah dan wanita sebagai dua aktor utama dalam panggung
sejarah Islam. Dengan menyodorkan beberapa fakta historis, Mernissi mencoba
menunjukan bagaimana Rasulullah dengan bimbingan wahyu Tuhan-nya mengangkat
harkat dan martabat kaum wanita yang sebelumnya berada di “kelas dua” dalam
stratifikasi sosial masyarakat Arab saat itu. Dengan dihujani opsi yang sangat
pelik, Rasulullah dengan cermat dan lincah berhasil menjadi tokoh “feminis”
yang brilian pada masa itu.
Bagi Mernissi sendiri, sosok
Rasulullah merupakan seorang Nabi yang menguasai seni menghubungkan antara
kehendak Allah yang jauh, asing dan tidak membumi, dengan orang-orang yang
menderita karena menjadi tawanan perang di dalam dunia yang penuh kekrasan dan
ketidakadilan.[1]
Kesimpulan tersebut tentunya ia dapatkan setelah melakukan telaah serius atas
beberapa fakta historis terkait kebijakan-kebijakan Rasululah terhadap kaum
wanita di tengah agitasi politik, kondisi patriarkhi, dan beberapa konteks
sepihak lainnya.
Selanjutnya di sini ini akan diuraikan beberapa konsep kunci
pemikiran fatimah Mernissi terkait Rasulullah dan wanita. Kajian ini difokuskan
pada satu bab dalam buku Women and Islam : an Historical and Theological
Enquiry, terkait Rasulullah dan wanita; bagaimana Rasulullah begitu
menempatkan istri-istri beliau sebagai pemeran utama dalam setiap kerangka misi
kenabiannya, bagaimana pandangannya terhadap perjuangan Rasulullah dalam mengangkat
derajat kaum wanita dan berbagai fenomena historis lainnya sekitar aral yang
melintang dalam perjalanan menuju persamaan derajat laki-laki dan wanita.
Sketsa Biografis Fatimah Mernissi
Fatima Mernissi (yang selanjutnya
disebut Mernissi) lahir pada tahun 1940, adalah seorang penulis dan sosiolog
Maroko, yang lahir di Fez ibukota Maroko (Maghribi) dari kalangan keluarga yang
menengah. Pada masa kanak-kanaknya, dia disekolahkan ke sekolah Qur’an dan
memulai menghapalkan al-Qur’an di sana.
Menurut keterangannya sendiri, sekolah
tersebut sangat keras menerapkan disiplin. Para murid diwajibkan mampu
melafalkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tepat dan benar, yang dalam hal ini,
selalu diiringi dengan musik al-Qur’an (Al-Qur’an al-Nagham).
Kadang-kadang, alunan lafal ayat-ayat al-Qur’an tersebut juga diikuti oleh
gerak tubuh yang seimbang. Begitulah sistem pengajaran yang dilaksanakan di
sekolah al-Qur’an. Yang dipentingkan adalah cara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan tepat dan benar. Sementara itu, penjelasan terhadap maknanya tidak
begitu diperhatikan karena para gurunya juga belum berani melangkah lebih jauh
untuk menjelaskan makna ayat-ayat tersebut.
Setelah itu, dia melanjutkan
pendidikannya ke sekolah nasional yang dikelola oleh tokoh-tokoh nasionalis,
yang menentang kolonialisme Perancis. Kemudian, Fatima menempuh jenjang
pendidikan di Universitas Mohammed V di Rabat dan kemudian melanjutkan
pendidikan ke Paris, dimana dia bekerja sebagai jurnalis. Pada tahun 1973, dia
menyelesaikan pendidikan di Amerika Serikat dan memperoleh gelar Ph.D di bidang
sosiologi di Universitas Brandeis. Sekembalinya ke Maroko, dia bergabung dengan
departemen sosiologi di Universitas Mohammed V, disana dia mengejar dan dalam
waktu yang bersamaan dia dalam proses penyelesaian penelitian di Moroccan
Institut Universitaire de Recherche Scientifique, di Rabat. [2]
Sebagai salah satu feminis Arab yang
terkenal, dia telah mempengaruhi lingkaran keintelektualan Muslim baik di
daerah asalnya maupun di tingkat internasional. Buku-buku yang dia tulis
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda,
dan Jepang. Dia ikut serta dalam penulisan mengenai masalah-masalah perempuan
dalam sebuah majalah yang terkenal secara berkala dan berpartisipasi dalam
debat publik memperkenalkan wanita Muslim dalam kancah internasional,
buku-bukunya yang dia tulis berupa seri permasalahan wanita di Maroko, Algeria
dan Tunisia. Fatima juga pernah menjadi profesor tamu di Universitas California
di Berkeley dan Universitas Harvard.[3]
Fatima mencoba
meneliti dalam hubungan antara ideologi seksual, identitas gender, sosial
politik dan status wanita di dalam Islam, dan yang menjadi fokus adalah
masyarakat dan budaya Maroko. Hasil penelitian dan wawancara yang dia lakukan
dia tuangkan dalam bentuk tulisan yang kemudian beredar di selurh dunia, yaitu:
1.
Beyond
the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society (1975).
2.
Doing
Daily Battle (1988).
3.
The
Veil and the Male Elite
4.
Women
and Islam: An Historical and Theological Enquiry;
5.
The
Forgotten Queens of Islam
(2) Rasulullah dan Wanita dalam Perspektif Fatimah Mernissi
Wanita di Kancah Publik Masa Nabi
Dalam bagian pertama uraiannya tentang Rasulullah dan wanita,
Mernissi memulai dengan kisah Rasulullah ketika meminang Ummu Salamah yang
dibayangi dengan kecemburuan Aisyah. Ummu Salamah seperti Rasulullah, berasal
dari suku Quraisy. Ia merupakan salah satu bangsawan Quraisy di mana kecantikan
fisik dan kepandaiannya menjamin mereka memiliki kekuasaan atas para
pengikutnya, serta hak istimewa sebagai penasehat masalah-masalah vital.[4]
Istri Rasulullah yang pertama, Siti khadijah juga termasuk tipe
semacam ini, penuh inisiatif, baik dalam kehidupan publik maupun pribadi. Ia
sebelumnya telah menikah dua kali. Dalam hal ini Siti Khadijah dan Ummu Salamah
merupakan contoh dua wanita yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan publik masa
Nabi. Hal ini juga yang kemudian menjadi sebuah “pelumas” dalam aktivitas
dakwah Nabi kepada masyarakat Arab saat itu.
Contoh wanita serupa yang berpengaruh dalam kehidupan publik dari
blok yang berbeda adalah Hindun binti
‘Utbah yang memiliki peran sentral di Mekkah dalam menentang Nabi. Di saat
Rasulullah berhasil menaklukan Mekkah, nama Hindun berada dalam daftar orang
yang harus dibunuh. Rasulullah tidak akan pernah mema’afkan tarian dan
nyanyiannya, yang dilakukan di antara jenazah pasukan muslim di depa medan
pertempuran Uhud; para wanita mulai menuruti bukit, berdiri di belakang pasukan
sambil memukul rebananya, guna memberi semangat kepada para tentara.
Salah satu peran wanita pada masa pra-Islam adalah memberi semangat
kepada kaum pria selama perang hingga berakhir, agar tidak muda menyerah dan
berani mati di medan pertempuran. Hindun dan syair lagu perangnya mencitrakan
wanita sebagai pendorong kematian. Di samping itu ia digambarkan sebagai
seorang kanibal karena pernah memakan hati Hamzah, paman Rasulullah yang sangat
dibencinya. Bisa dipahami mengapa
Rasulullah meminta kepala Hindun. Namun karena ia isteri Abu Sufyan, peuka kota
Mekkah, Abu Sufyan membelanya dan minta pengampunan dari Rasulullah. Setelah
hal ini dijamin, Hindun harus tampil di hadapan Nabi Muhammad saw, bersama
wanita lainnya untuk menyatakan sumpah setia.[5]
Benih-Benih Revolusi Kesetaraan
Terlepas dari segolongan wanita yang memainkan peran di ruang
publik, sejatinya keadaan wanita pada masa Nabi memang sangat memprihatinkan.
Kultur yang sangat patriarkhi dan diskriminatif menjadikan perempuan sebagagi
makhluk “kelas dua” di bawa laki-laki. Rasulullah tidak terlalu terkejut
mendengarkan wanita seperti Ummu Salamah yang mengajukan pertanyaan bersifat
politis yang hanya wanita matang yang bisa melakukannya. Ia bertanya kepada
Rasulullah pada suatu hari: “mengapa hanya pria yang disebutkan dalam
Al-Qur’an, sementara kami tidak ?”. Ummu Salamah kemudian menunggu turunnya
wahyu yang akan menjawab tentang hal itu.
Suatu hari tatkala Ummu Salamah tengah menyisir rambutnya dan masih
was-was pertanyaannya tidak terjawab, ia mendengarkan suara Rasulullah saw.
dari mimbar membacakan ayat yang terakhir diturunkan dan berkitan dengan
pertanyaaannya: “Wahai manusia Allah telah berfirman dalan Al-Qur’an:
Sesungguhnya laki-laki muslim dan permpuan muslimah.. seterusnya, dan ia
terus melanjutkan hingga kalimat terakhir .. maka Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.[6]
Jawaban Allah pada Ummu Salamah sangar jelas: Allah menyebut dua
jenis kelamin dalam kedudukan yang sama,
yaitu seorang yang beriman, sebagai anggota masyarakat. Apakah perhatian Ummu Salamah juga merupakan
hirauan wanta lain? Atau hanya murni muncul dari dirinya sebagai sifat
kebanhsawanan yang arogan ?Apakah ini hanya mencermikan diri Ummu Salamah atau
pandangan umum wanita Madinah ?.Beberapa petunjuk meyakinkan kita, pertanyaan
Umu Salamah jelas mewakili gerakan protes kaum wanita. Pertnyaan Ummu Salamah
merupakan hasil agitasi politik dan bukan tantangan seorang isteri yang matang.
Hal ini bukam Cuma sekedar hirauan para wanita terhadap apa yang
menjadi perhatian Ummu Salamah,tetapi mereka juga ternyata memperoleh jawaban
dari Allah berupa: penghancuran praktek pra-Islam dan mempertnyakan tradisi
yang mengatur hubunan antar jenis kelamin. Bagaimanapun bentuk tradisi itu,
yang jelas para wanita mengharapkan bisa meliha satu perubahan dengan Tuhan
baru mereka.
Dan ternyata mereka berhasil, setelah diturunkannya surat yang
menggunakan nama mereka (an-Nisa), yang berisi hukum baru mengenai
warisan dan mencabut keistimewaan kaum pria. Wanita bukan Cuma tidak boleh
“diwariskan” seperti pohon palma dan unta, tetapi mereka sendiri juga memiliki
hak waris. Wanita mulai menjadi sainga
pria dalam memperoleh keuntungan ; “Untuk laki-laki ada bagian dari
peninggaln ibu-bapa dan karib terdekat dan untuk perempuan ada bagian pula dari
peninggalan ibu-bapak dan karib terdekat. [7]
Ayat ini ibarat ledakan bom bagi kaum pria Madinah, yang untuk pertama kali
menglami konflik dengan Tuhan Islam.
Potret Warisan Masyarakat Arab Pra-Islam
Sebelum surat an-Nisa : 7 diturunkan, hanya pria yang dijamin
memiliki hak waris di Arab dan wanita biasanya justru menjadi bagian dari harta
warisan. Misalnya jika seorang pria wafat, anak laki-laki tertuanya akan
mewarisi jandanya. Jika wanita itu bukan ibunya sendiri ia bisa saja
menikahinya atau melepaskan hak atas wanita itu dan menyerahkannya kepada
saudara lelakinya atau keponakannya jika ia mengkhendaki. Mereka bisa menikahi
wanita itu di rumahnya.[8]
Istri pada saat itu tak lebih dari sekedar obyek harta waris,
apakah milik keluarga yang meninggal atau sukunya sendiri. Hukum baru telah
mematahkan ketentuan lama. Islam mengkhendaki seorang individu sebagai subyek,
mempunyai kebebasn di dunia, kesadaran martabat tidak akan hilang begitu saja
sepanjang ia masih hidup di dunia.
Menurut kaum pria, peraturan baru mengenai hak waris bukanlah
masalah yang seharusnya dicampuri Islam, termasuk masalah hubungan mereka
dengan wanita. Merea jelas sangat keberatan, harta warisan mereka berkurang
karena wanita yang bisanya menjadi bagian dari harta warisan kini menjadi
penerima waris. Kaum pria menetang peraturan ini dan berpendapat jika mereka
membiarkan hukum ini berlaku, maka Nabi Muhamad dan Tuhannya akan memenuhi
tuntutan lan yang diajukan wanita terutama hak untuk berperang dan menerima
harta rampasan.
Konflik antara Tuhan dan para sahabat muslim semakin terbuka:
“bagaimana bisa” kata kaum pria, seorang memberi hak waris kepada wanita dan
anak-anak yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan untuk mencukupi kebutuhannya
? Apakah sekarang mereka akan memperoeh hak waris seperti pria yang yang
bekerja untuk memperoleh uang itu ?. Lalu mereka berkata: “kita harus minta
penjelasan” dan mereka menghadap rasululah. Namun Rasulullah tidak terpengaruh
oleh mereka. Beliau tetap mempertahankan sikapnya; Allah telah memberitahukan
keputusan-Nya.[9]
Wanita dan Agitasi Politik Perang
Selanjutnya, posisi sulit wanita juga ditemui dalam konteks
peperangan. Dalam peperangan, wanita berada dalam posisi pasif di luar konflik.
Seandainya berada di pihak yang kalah, status mereka menjadi rendah, yaitu sabaya
(tawanan), sedangkan kaum pria dibunuh. Masyarakat Arab merupakan
masyarakat dengan sistem perbudakan di mana lapisan masyarakat terbagi dua
kategori: orang merdeka (hurr) dan budak (abid). Hal ini berlaku
bagi kedua jenis kelamin. Wanita yang bebas dapat menjadi “harta warisan” atau
berkurang statusnya menjadi tawanan jika tidak da yang menebusnya. Status tawanan
sangat mirip dengan budak.[10]
Perang merupakan akses meraih rampasan, seperti halnya perdagangan
bagi orang Mekkah atau pertanian bagi orang Madinah, merupakan sumber untuk
meraih keuntungan. Hukum perang sangat keras dan membolehkan pemenangnya memilih
dua altenatif yang sama-sama tidak manusiawi: membunuh kaum pria dan menjadikan
para wanitanya sebagai budak, atau jika tawanannya bangsawan mereka dibebaskan
dengan tebusan. [11]
Sebenarnya Rasulullah menentang tindakan tersebut. Hal ini misalnya
dapat diketahui dari sikap rasulullah yang masih sempat “berkasih sayang”
selama perang, seperti membebsakan tawanan, kebijakann pebagian rampasan
perang, dsb. Meskipun beliau sadar bahwa sangat sedikirt prajuritnya yang yang
sepakat. Misi Rasulullah sesungguhnya adalah meyakinkan kaum muslimin untuk mau
melihat sesuatu di luar perang; untuk melihat tawanan sebagai sesuatu yang
lebih penting daripada rampasan perang.
Pada titik ini,
tercatat lagi sebuah gerakan revolusi perempuan yang –masih – diwakili ummu Salamah
yang bertanya kepada Rasul: “wahai rasulullah mengapa kaum pria berperang dan
kami tidak?. Tuntutan inilah yang benar-benat menyentuh permasalahan mendasar
dalam hukuk perang . Dengan menuntut memanggul senjata, kaum wanita memang
mengancam terjadinya pengurangan besar-besaran jumlah kekayaaan kaum pria dalam
sebuah penyerbuan. Tuntutan semacam ini memang berarti mengubah keseluruhan
striktur ekonomi perang. Dalam hal konteks militer inilah, sikap tehadap wanita
“dibalikan”. Kaum wanita mempersoalkan rampasan perang pada masa masa sulit. [12]
Analisa Pemikiran
Secara konklusif, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah sendiri
merupakan tokoh pejuang feminisme pertama dalam sejarah Islam. Diantara
gempuran kultur Arab pra-Islam yang kejam, dehumanis, dan patriarkhi,
Rasulullah dengan bimbingan wahyu Tuhannya telah sukses mengangkat derajat
wanita sejajar dengan laki-laki.
Atensi Rasulullah terhadap kesetaraan antara pria dan wanita memang
dihadang aral yang melintang sepanjang jalan. Setidaknya, revolusi ini
dilakukan Rasulullah pada dua sektor; perombakan kultural dan rekonsruksi
ekonomi-politik. Dalam ruang kultural, beliau telah sukses menghapus
diskriminasi ini yang ditandai dengan menjadikan kaumn wanita sebagai orang
yang berhak menerima waris bukan “harta warisan” yang dipermainkan laki-laki
secara semana-mena. Pada tahap ekonomi-politik, Rasulullah mengadakan revolusi
yang resisten dari konteks politk perang, mulai dari kebijakan pembagian
rampasan perang, perlakuan terhadap tawanan wanita dan anak-anak, dsb
Hal inilah yang difahami Fatimah Mernissi sebagai seorang yang
menaruh atensinya dalam hal kesetaraan gender. Dalam hal ini pendekatan
historis merupakan pisau bedah yang diandalkan Mernissi dalam menyibak tirai
kelabu tekait lembar hitam kaum hawa dalam leksion historis.
Daftar Pustaka
Mernissi, Fatima. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar
Radianti. Bandung: PUSTAKA, 1994.
-------------------- The Veil and The Male Elite
http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0527 diakses pada tanggal 17 November 2012.
[1] . Fatimah Mernissi, Wanita di dalam Islam, (Bandung: pustaka, 1994 ), hlm. 176
[2] http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0527 diakses pada
tanggal 17 november 2012.
[3]
Irsyadunnas, Prolog Islam dan Gender: Penafsiran Feminis tentang Hak-Hak
Perempuan dalam Islam dari Seorang Tokoh Feminis Muslim Fatima Mernissi, Jurnal
Studi Gender & Anak. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto yinyang, issn:
1907-2791. Vol.4 no.2 Jul-Des 2009 pp.261-290. pdf
[4] . Wanita di dalam Islam, ....
hlm. 146
[5] . Wanita di dalam Islam, ... hlm. 148
[6] . Wanita di dalam Islam, ... hlm. 149
[7] .An-Nisa : 7
[8] . Wanita di dalam Islam, ... hlm. 151
[9] . Wanita di dalam Islam, ..., hlm. 158
[10] . Wanita di dalam Islam, ..., hlm. 153
[11] . Wanita di dalam Islam, ..., hlm. 167
[12] . Wanita di dalam Islam, ..., hlm. 175
0 comments
Posting Komentar