Rasulullah & Perempuan (Perspektif Fatima Mernissi)

Posted by By Truth Seekers On 13.13

Pendahuluan

Dalam bukunya,  Women and Islam : an Historical and Theological Enquiry, secara khusus Fatimah Mernissi, seorang feminis terkenal asal Maroko membincang tentang sejarah perjuangan feminisme yang dilakuan Rasulullah dalam satu bab penuh. Melalui pendekatan historis, ia mengurai secara komprehensif berbagai fenomena yang mengkontraskan Rasulullah dan wanita sebagai dua aktor utama dalam panggung sejarah Islam. Dengan menyodorkan beberapa fakta historis, Mernissi mencoba menunjukan bagaimana Rasulullah dengan bimbingan wahyu Tuhan-nya mengangkat harkat dan martabat kaum wanita yang sebelumnya berada di “kelas dua” dalam stratifikasi sosial masyarakat Arab saat itu. Dengan dihujani opsi yang sangat pelik, Rasulullah dengan cermat dan lincah berhasil menjadi tokoh “feminis” yang brilian pada masa itu.

 Bagi Mernissi sendiri, sosok Rasulullah merupakan seorang Nabi yang menguasai seni menghubungkan antara kehendak Allah yang jauh, asing dan tidak membumi, dengan orang-orang yang menderita karena menjadi tawanan perang di dalam dunia yang penuh kekrasan dan ketidakadilan.[1] Kesimpulan tersebut tentunya ia dapatkan setelah melakukan telaah serius atas beberapa fakta historis terkait kebijakan-kebijakan Rasululah terhadap kaum wanita di tengah agitasi politik, kondisi patriarkhi, dan beberapa konteks sepihak lainnya.

Selanjutnya di sini ini akan diuraikan beberapa konsep kunci pemikiran fatimah Mernissi terkait Rasulullah dan wanita. Kajian ini difokuskan pada satu bab dalam buku Women and Islam : an Historical and Theological Enquiry, terkait Rasulullah dan wanita; bagaimana Rasulullah begitu menempatkan istri-istri beliau sebagai pemeran utama dalam setiap kerangka misi kenabiannya, bagaimana pandangannya terhadap perjuangan Rasulullah dalam mengangkat derajat kaum wanita dan berbagai fenomena historis lainnya sekitar aral yang melintang dalam perjalanan menuju persamaan derajat laki-laki dan wanita.

 Sketsa Biografis Fatimah Mernissi

Fatima Mernissi (yang selanjutnya disebut Mernissi) lahir pada tahun 1940, adalah seorang penulis dan sosiolog Maroko, yang lahir di Fez ibukota Maroko (Maghribi) dari kalangan keluarga yang menengah. Pada masa kanak-kanaknya, dia disekolahkan ke sekolah Qur’an dan memulai menghapalkan al-Qur’an di sana.

 Menurut keterangannya sendiri, sekolah tersebut sangat keras menerapkan disiplin. Para murid diwajibkan mampu melafalkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tepat dan benar, yang dalam hal ini, selalu diiringi dengan musik al-Qur’an (Al-Qur’an al-Nagham). Kadang-kadang, alunan lafal ayat-ayat al-Qur’an tersebut juga diikuti oleh gerak tubuh yang seimbang. Begitulah sistem pengajaran yang dilaksanakan di sekolah al-Qur’an. Yang dipentingkan adalah cara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tepat dan benar. Sementara itu, penjelasan terhadap maknanya tidak begitu diperhatikan karena para gurunya juga belum berani melangkah lebih jauh untuk menjelaskan makna ayat-ayat tersebut.
           
Setelah itu, dia melanjutkan pendidikannya ke sekolah nasional yang dikelola oleh tokoh-tokoh nasionalis, yang menentang kolonialisme Perancis. Kemudian, Fatima menempuh jenjang pendidikan di Universitas Mohammed V di Rabat dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Paris, dimana dia bekerja sebagai jurnalis. Pada tahun 1973, dia menyelesaikan pendidikan di Amerika Serikat dan memperoleh gelar Ph.D di bidang sosiologi di Universitas Brandeis. Sekembalinya ke Maroko, dia bergabung dengan departemen sosiologi di Universitas Mohammed V, disana dia mengejar dan dalam waktu yang bersamaan dia dalam proses penyelesaian penelitian di Moroccan Institut Universitaire de Recherche Scientifique, di Rabat. [2]
           
Sebagai salah satu feminis Arab yang terkenal, dia telah mempengaruhi lingkaran keintelektualan Muslim baik di daerah asalnya maupun di tingkat internasional. Buku-buku yang dia tulis diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Jepang. Dia ikut serta dalam penulisan mengenai masalah-masalah perempuan dalam sebuah majalah yang terkenal secara berkala dan berpartisipasi dalam debat publik memperkenalkan wanita Muslim dalam kancah internasional, buku-bukunya yang dia tulis berupa seri permasalahan wanita di Maroko, Algeria dan Tunisia. Fatima juga pernah menjadi profesor tamu di Universitas California di Berkeley dan Universitas Harvard.[3]

            Fatima mencoba meneliti dalam hubungan antara ideologi seksual, identitas gender, sosial politik dan status wanita di dalam Islam, dan yang menjadi fokus adalah masyarakat dan budaya Maroko. Hasil penelitian dan wawancara yang dia lakukan dia tuangkan dalam bentuk tulisan yang kemudian beredar di selurh dunia, yaitu:

1.        Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society (1975).    
2.        Doing Daily Battle (1988).
3.        The Veil and the Male Elite
4.        Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry;
5.        The Forgotten Queens of Islam


        (2)  Rasulullah dan Wanita dalam Perspektif Fatimah Mernissi

Wanita di Kancah Publik Masa Nabi

Dalam bagian pertama uraiannya tentang Rasulullah dan wanita, Mernissi memulai dengan kisah Rasulullah ketika meminang Ummu Salamah yang dibayangi dengan kecemburuan Aisyah. Ummu Salamah seperti Rasulullah, berasal dari suku Quraisy. Ia merupakan salah satu bangsawan Quraisy di mana kecantikan fisik dan kepandaiannya menjamin mereka memiliki kekuasaan atas para pengikutnya, serta hak istimewa sebagai penasehat masalah-masalah vital.[4]

Istri Rasulullah yang pertama, Siti khadijah juga termasuk tipe semacam ini, penuh inisiatif, baik dalam kehidupan publik maupun pribadi. Ia sebelumnya telah menikah dua kali. Dalam hal ini Siti Khadijah dan Ummu Salamah merupakan contoh dua wanita yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan publik masa Nabi. Hal ini juga yang kemudian menjadi sebuah “pelumas” dalam aktivitas dakwah Nabi kepada masyarakat Arab saat itu.

Contoh wanita serupa yang berpengaruh dalam kehidupan publik dari blok yang berbeda adalah  Hindun binti ‘Utbah yang memiliki peran sentral di Mekkah dalam menentang Nabi. Di saat Rasulullah berhasil menaklukan Mekkah, nama Hindun berada dalam daftar orang yang harus dibunuh. Rasulullah tidak akan pernah mema’afkan tarian dan nyanyiannya, yang dilakukan di antara jenazah pasukan muslim di depa medan pertempuran Uhud; para wanita mulai menuruti bukit, berdiri di belakang pasukan sambil memukul rebananya, guna memberi semangat kepada para tentara.

Salah satu peran wanita pada masa pra-Islam adalah memberi semangat kepada kaum pria selama perang hingga berakhir, agar tidak muda menyerah dan berani mati di medan pertempuran. Hindun dan syair lagu perangnya mencitrakan wanita sebagai pendorong kematian. Di samping itu ia digambarkan sebagai seorang kanibal karena pernah memakan hati Hamzah, paman Rasulullah yang sangat dibencinya.  Bisa dipahami mengapa Rasulullah meminta kepala Hindun. Namun karena ia isteri Abu Sufyan, peuka kota Mekkah, Abu Sufyan membelanya dan minta pengampunan dari Rasulullah. Setelah hal ini dijamin, Hindun harus tampil di hadapan Nabi Muhammad saw, bersama wanita lainnya untuk menyatakan sumpah setia.[5]

Benih-Benih Revolusi Kesetaraan  

Terlepas dari segolongan wanita yang memainkan peran di ruang publik, sejatinya keadaan wanita pada masa Nabi memang sangat memprihatinkan. Kultur yang sangat patriarkhi dan diskriminatif menjadikan perempuan sebagagi makhluk “kelas dua” di bawa laki-laki. Rasulullah tidak terlalu terkejut mendengarkan wanita seperti Ummu Salamah yang mengajukan pertanyaan bersifat politis yang hanya wanita matang yang bisa melakukannya. Ia bertanya kepada Rasulullah pada suatu hari: “mengapa hanya pria yang disebutkan dalam Al-Qur’an, sementara kami tidak ?”. Ummu Salamah kemudian menunggu turunnya wahyu yang akan menjawab tentang hal itu.

Suatu hari tatkala Ummu Salamah tengah menyisir rambutnya dan masih was-was pertanyaannya tidak terjawab, ia mendengarkan suara Rasulullah saw. dari mimbar membacakan ayat yang terakhir diturunkan dan berkitan dengan pertanyaaannya: “Wahai manusia Allah telah berfirman dalan Al-Qur’an: Sesungguhnya laki-laki muslim dan permpuan muslimah.. seterusnya, dan ia terus melanjutkan hingga kalimat terakhir .. maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.[6]

Jawaban Allah pada Ummu Salamah sangar jelas: Allah menyebut dua jenis kelamin dalam kedudukan yang  sama, yaitu seorang yang beriman, sebagai anggota masyarakat.  Apakah perhatian Ummu Salamah juga merupakan hirauan wanta lain? Atau hanya murni muncul dari dirinya sebagai sifat kebanhsawanan yang arogan ?Apakah ini hanya mencermikan diri Ummu Salamah atau pandangan umum wanita Madinah ?.Beberapa petunjuk meyakinkan kita, pertanyaan Umu Salamah jelas mewakili gerakan protes kaum wanita. Pertnyaan Ummu Salamah merupakan hasil agitasi politik dan bukan tantangan seorang isteri yang matang.

Hal ini bukam Cuma sekedar hirauan para wanita terhadap apa yang menjadi perhatian Ummu Salamah,tetapi mereka juga ternyata memperoleh jawaban dari Allah berupa: penghancuran praktek pra-Islam dan mempertnyakan tradisi yang mengatur hubunan antar jenis kelamin. Bagaimanapun bentuk tradisi itu, yang jelas para wanita mengharapkan bisa meliha satu perubahan dengan Tuhan baru mereka.

Dan ternyata mereka berhasil, setelah diturunkannya surat yang menggunakan nama mereka (an-Nisa), yang berisi hukum baru mengenai warisan dan mencabut keistimewaan kaum pria. Wanita bukan Cuma tidak boleh “diwariskan” seperti pohon palma dan unta, tetapi mereka sendiri juga memiliki hak waris.  Wanita mulai menjadi sainga pria dalam memperoleh keuntungan ; “Untuk laki-laki ada bagian dari peninggaln ibu-bapa dan karib terdekat dan untuk perempuan ada bagian pula dari peninggalan ibu-bapak dan karib terdekat. [7] Ayat ini ibarat ledakan bom bagi kaum pria Madinah, yang untuk pertama kali menglami konflik dengan Tuhan Islam.

Potret Warisan Masyarakat Arab Pra-Islam

Sebelum surat an-Nisa : 7 diturunkan, hanya pria yang dijamin memiliki hak waris di Arab dan wanita biasanya justru menjadi bagian dari harta warisan. Misalnya jika seorang pria wafat, anak laki-laki tertuanya akan mewarisi jandanya. Jika wanita itu bukan ibunya sendiri ia bisa saja menikahinya atau melepaskan hak atas wanita itu dan menyerahkannya kepada saudara lelakinya atau keponakannya jika ia mengkhendaki. Mereka bisa menikahi wanita itu di rumahnya.[8]

Istri pada saat itu tak lebih dari sekedar obyek harta waris, apakah milik keluarga yang meninggal atau sukunya sendiri. Hukum baru telah mematahkan ketentuan lama. Islam mengkhendaki seorang individu sebagai subyek, mempunyai kebebasn di dunia, kesadaran martabat tidak akan hilang begitu saja sepanjang ia masih hidup di dunia.

Menurut kaum pria, peraturan baru mengenai hak waris bukanlah masalah yang seharusnya dicampuri Islam, termasuk masalah hubungan mereka dengan wanita. Merea jelas sangat keberatan, harta warisan mereka berkurang karena wanita yang bisanya menjadi bagian dari harta warisan kini menjadi penerima waris. Kaum pria menetang peraturan ini dan berpendapat jika mereka membiarkan hukum ini berlaku, maka Nabi Muhamad dan Tuhannya akan memenuhi tuntutan lan yang diajukan wanita terutama hak untuk berperang dan menerima harta rampasan.

Konflik antara Tuhan dan para sahabat muslim semakin terbuka: “bagaimana bisa” kata kaum pria, seorang memberi hak waris kepada wanita dan anak-anak yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan untuk mencukupi kebutuhannya ? Apakah sekarang mereka akan memperoeh hak waris seperti pria yang yang bekerja untuk memperoleh uang itu ?. Lalu mereka berkata: “kita harus minta penjelasan” dan mereka menghadap rasululah. Namun Rasulullah tidak terpengaruh oleh mereka. Beliau tetap mempertahankan sikapnya; Allah telah memberitahukan keputusan-Nya.[9]

Wanita dan Agitasi Politik Perang

Selanjutnya, posisi sulit wanita juga ditemui dalam konteks peperangan. Dalam peperangan, wanita berada dalam posisi pasif di luar konflik. Seandainya berada di pihak yang kalah, status mereka menjadi rendah, yaitu sabaya (tawanan), sedangkan kaum pria dibunuh. Masyarakat Arab merupakan masyarakat dengan sistem perbudakan di mana lapisan masyarakat terbagi dua kategori: orang merdeka (hurr) dan budak (abid). Hal ini berlaku bagi kedua jenis kelamin. Wanita yang bebas dapat menjadi “harta warisan” atau berkurang statusnya menjadi tawanan jika tidak da yang menebusnya. Status tawanan sangat mirip dengan budak.[10]

            Perang merupakan akses meraih rampasan, seperti halnya perdagangan bagi orang Mekkah atau pertanian bagi orang Madinah, merupakan sumber untuk meraih keuntungan. Hukum perang sangat keras dan membolehkan pemenangnya memilih dua altenatif yang sama-sama tidak manusiawi: membunuh kaum pria dan menjadikan para wanitanya sebagai budak, atau jika tawanannya bangsawan mereka dibebaskan dengan tebusan. [11]

Sebenarnya Rasulullah menentang tindakan tersebut. Hal ini misalnya dapat diketahui dari sikap rasulullah yang masih sempat “berkasih sayang” selama perang, seperti membebsakan tawanan, kebijakann pebagian rampasan perang, dsb. Meskipun beliau sadar bahwa sangat sedikirt prajuritnya yang yang sepakat. Misi Rasulullah sesungguhnya adalah meyakinkan kaum muslimin untuk mau melihat sesuatu di luar perang; untuk melihat tawanan sebagai sesuatu yang lebih penting daripada rampasan perang.   

            Pada titik ini, tercatat lagi sebuah gerakan revolusi perempuan yang –masih – diwakili ummu Salamah yang bertanya kepada Rasul: “wahai rasulullah mengapa kaum pria berperang dan kami tidak?. Tuntutan inilah yang benar-benat menyentuh permasalahan mendasar dalam hukuk perang . Dengan menuntut memanggul senjata, kaum wanita memang mengancam terjadinya pengurangan besar-besaran jumlah kekayaaan kaum pria dalam sebuah penyerbuan. Tuntutan semacam ini memang berarti mengubah keseluruhan striktur ekonomi perang. Dalam hal konteks militer inilah, sikap tehadap wanita “dibalikan”. Kaum wanita mempersoalkan rampasan perang pada masa masa sulit. [12]

  Analisa Pemikiran

Secara konklusif, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah sendiri merupakan tokoh pejuang feminisme pertama dalam sejarah Islam. Diantara gempuran kultur Arab pra-Islam yang kejam, dehumanis, dan patriarkhi, Rasulullah dengan bimbingan wahyu Tuhannya telah sukses mengangkat derajat wanita sejajar dengan laki-laki.

Atensi Rasulullah terhadap kesetaraan antara pria dan wanita memang dihadang aral yang melintang sepanjang jalan. Setidaknya, revolusi ini dilakukan Rasulullah pada dua sektor; perombakan kultural dan rekonsruksi ekonomi-politik. Dalam ruang kultural, beliau telah sukses menghapus diskriminasi ini yang ditandai dengan menjadikan kaumn wanita sebagai orang yang berhak menerima waris bukan “harta warisan” yang dipermainkan laki-laki secara semana-mena. Pada tahap ekonomi-politik, Rasulullah mengadakan revolusi yang resisten dari konteks politk perang, mulai dari kebijakan pembagian rampasan perang, perlakuan terhadap tawanan wanita dan anak-anak, dsb

Hal inilah yang difahami Fatimah Mernissi sebagai seorang yang menaruh atensinya dalam hal kesetaraan gender. Dalam hal ini pendekatan historis merupakan pisau bedah yang diandalkan Mernissi dalam menyibak tirai kelabu tekait lembar hitam kaum hawa dalam leksion historis.
Daftar Pustaka

Mernissi, Fatima. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti. Bandung: PUSTAKA, 1994.
­­­­­­­-------------------- The Veil and The Male Elite
http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0527 diakses pada tanggal 17 November   2012.






[1] . Fatimah Mernissi,  Wanita di dalam Islam,  (Bandung: pustaka, 1994  ), hlm. 176
[2] http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0527 diakses pada tanggal 17 november 2012.
[3] Irsyadunnas, Prolog Islam dan Gender: Penafsiran Feminis tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam dari Seorang Tokoh Feminis Muslim Fatima Mernissi, Jurnal Studi Gender & Anak. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto yinyang, issn: 1907-2791. Vol.4 no.2 Jul-Des 2009 pp.261-290. pdf

[4] . Wanita di dalam Islam, .... hlm. 146
[5] . Wanita di dalam Islam, ... hlm. 148
[6] . Wanita di dalam Islam, ... hlm. 149
[7] .An-Nisa : 7
[8] . Wanita di dalam Islam, ... hlm. 151
[9] . Wanita di dalam Islam, ..., hlm. 158
[10] . Wanita di dalam Islam, ..., hlm. 153
[11] . Wanita di dalam Islam, ..., hlm. 167
[12] . Wanita di dalam Islam, ..., hlm. 175

0 comments

Posting Komentar