Pendahuluan
Latar Belakang
Pasca kemunculan
Imam-imam Qiraah, sekitar abad ke-2 H, variasi qiraah mengalami pemekaran yang sangat signifikan. Menurut Abdul Qayyum bin Abdul Ghafur
al-Sindi, ragam bacaan Al-Quran pernah mencapai 50 macam qiraah. Namun
qiraah-qiraah tersebut banyak diriwayatkan dari para ulama yang tidak memiliki
kapabilitas keilmuan sebagaimana para Imam sebelumnya. Ibnu Mujahid mengatakan
banyak dari kalangan mereka yang ghoir mutqin (tidak perfect)[1]. Sehingga pemekaran
tersebut dinilai menyimpan banyak idltiraab dan tahriif dalam qiraah. Hal ini membuat para ahli setelahnya harus mencurahkan
perhatian khusus atas fenomena tersebut.
Salah satu
usahanya adalah menentukan standar bacaan-bacaan yang diterima dan sah untuk
dijadikan pegangan dalam membaca al-Quran. Di antara ulama yang inten
dalam persoalan ini adalah Ibnu Mujahid
al-Baghdady (245-324 H) dan Ibnu Al-Jaziri (751-833 H). Dua ulama yang
berijtihad dan mentahqiq ragam bacaan, dan melakukan filter serta memisahkan
antara bacaan yang maqbul dan ghoir maqbul. Kemudian para
ulama membagi ragam bacaan itu ke dalam al-qiraah al-shohihah, al-masyhurah,
dan syadz .
Hasil pembacaan
dari literatur-literatur terkait, dalam makalah ini, kami akan membahas
bagaimana tolak ukur atau standar al-qiraah al-maqbulah dan macam-macam
qiraah beserta contoh
masing-masing.
Seluruh uraian dalam makalah ini
terpusat pada beberapa point asasi :
a. Bagaimana
tolok ukur validitas qira’at ?
b. Apa saja
jenis-jenis qira’at ?
c. Contoh
masing-masing
A.
Tolak Ukur Validitas Qira'ah
Sebenarnya para
ulama sebelumnya, mutaqaddimin, telah menentukan standarisasi al-qiraah
al-maqbulah. Namun dalam perjalanan waktunya, ini mengalami perkembangan
dan perubahan dengan berbagai faktor yang melatar-belakanginya. Di sini penulis
akan menjelaskan tiga standar bacaan yang mutakhir dari zaman yang berbeda. Standar
ulama mutaqaddimin, standar Ibnu Mujahid, seorang mujtahid dalam bidang
qiraah, standar Ibnu Jazari, seorang
muhaqqiq dari kalangan ulama khalaf, dan standar jumhur ulama. Adapun
perinciannya adalah sebagai berikut:
Standar Mutaqaddimin. :
1.
an yakuna wajhun qawiyyun
fil ‘arabiyyah (ada jalan yang sesuai dengan bahasa Arab)
2.
an takuna muwafiqotan li
rasm al-mushaf al-‘usmani (sesuai denga rasm mushaf
usmani)
3.
an tajtami’a al-‘ammah
‘alaiha (ada kesepakatan antara para ahli). Ahli Mekkah dan
Ahli Madinah, atau ahli Madinah dan Ahli Kufah. Seperti halnya pemilihan qiraah
yang disepakati oleh Imam Nafi’ (Madinah) dan Imam ‘Ashim (Kufah), karena qirah
dari keduanya dinilai yang paling berkualitas dan sanad-sanadnya pun sohih.
Standar yang ada
di era salaf ini masih melirik simbol-simbol tokoh karena dinilai memiliki
kapabilitas yang mapan dalam bidangnya.
Standar Era Pemekaran
Qiraah (Ibnu Mujahid) :
1.
Memiliki sanad yang sohih
2.
Sesuai dengan bahasa Arab
3.
Sesuai dengan Rasm Mushaf Usmani
Ulama yang
menetapkan standar tersebut ialah Ibn Mujahid Al-Baghdadi. Ia merupakan ulama
abad ke-3 H, yang mencurahkan perhatian besar dalam persoalan qiraah. Ia
memiliki peran penting di saat banyaknya qiraah yang melenceng dari standar
ulama terdahulu. Sehingga ia melakukan filterisasi dan menetapkan qiraah sab’ah
sebagai qiraah standar dalam membaca Al-Quran
Ada perubahan
yang cukup mencolok di era ini. Yaitu harus memiliki sanad[2] yang sohih. Adanya
persyaratan tersebut dilatar-belakangi oleh banyaknya ulama yang inten dalam
bidang ini akan tetapi tidak memiliki kapabilitas yang mapan, ghoir mutqin,
sebagaimana para Imam sebelumnya.
Standar Ibnul Jazari
Ia merupakan ulama abad ke-8 yang melakukan tahqiq terhadap
ilmu qiraah. standar validitas qiraah pada era ini lebih dikonsep lebih rinci
dari pada sebelumnya. Dia menentukan standar sebagai berikut:
1.
Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, walau pun
satu wajh
2.
Sesuai dengan salah satu rasm mushaf usmani
walau pun secara ihtimal
3.
Memiliki sanad sohih[3]
kemudian ia menjelaskan
poin-poin tersebut secara rinci.
Maksud dari satu wajh
adalah salah satu wajh dari wujuh ilmu nahw, seperti aspek i’rab,
idgham, washl dan fashl dll, baik yang disepakati atau pun yang ada
perselisihan di dalamnya. Namun jika ada perselisihan dengan ulama ahli nahw,
ahli qiraah tetap memegang periwayatan dengan syarat sesuai dengan mushaf
usmani dan berasal dari sanad yang shohih. Sebagai contoh: وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ (Q.S.An-Nisa ayat 1).
Dalam bacaan Imam Hamzah mim kata wal-arham, dibaca kasrah dengan
landasan menjadi ‘athaf dari dlomir yang terdapat pada kata bihi,
sebagaimana pendapat ulama Ahli Kufah[4].
Qiraah Hamzah
tersebut merupakan qiraah yang sah, walau pun tidak sesuai dengan pendapat
ulama Ahli Nahw pada umumnya (mim dibaca fathah). Akan tetapi sesuai dengan salah satu wajah
dari bahasa Arab, yaitu sesuai dengan pendapat ahli Kufah. Namun jalan
periwayatan sohih tetap menjadi pegangan utama walau pun bertentangan dengan
ahli nahw mashur. Sebagaimana Imam Al-Dani mengatakan:
وأئمة القراء لاتعتمد في شيء من حروف القران علي الافشي في اللغة والاقيس في العربية بل علي الاثبت في الاثر والاصح في النقل والرواية [5]
Adapun maksud “sesuai dengan rasm salah satu mushaf utsman adalah kesesuaian dengan salah satu dari mushaf tetapi berbeda dengan
mushaf yang lainnya. Contoh: seperti bacaan Ibnu ‘Amir dalam ayat: “wa qaalu
al-takhaza allahu wa ladan”(Q.S.Al-Baqarah ayat 116), tanpa waw
karena berpatokan pada mushaf Syam.
Adapun
maksud “walaupun secara ihtimal” adalah bacaan yang sesuai dengan rasm
al-Quran tetapi hasil analogi ke bacaan lainnnya. Contohnya seperti kata “maliki”
pada surat Al-Fatihah, dengan memanjangkan huruf mim. Seluruh mushaf usmani,
dalam Penulisan kata “malaka” surat Al-Fatiha, tidak ada yang memasukan
huruf alif. Namun salah satu Imam ada yang membacanya dengan menggunakan alif “maliki”
karena diihtimalkan pada ayat “qulillaahumma maalik al-mulk. . .
”(Q.S.Ali-Imran 26).
Kedua bacaan-membaca
pendek atau panjang huruf mim- tersebut merupakan bacaan yang mutawatir. Yang
membaca pendek karena sesuai dengan rasm mushaf usmani secara tahkiki, sesuai
dengan gambar katanya. Sedangkan yang memanjangkan, karena sesuai dengan mushaf
usmani secara ihtimal pada surat Ali-Imran ayat 26.
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ
تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ
تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ
إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sedangkan maksud
dari “sanad sahih” adalah suatu bacaan harus diriwayatkan oleh rawi yang
adil dan dobit. Tentang syarat yang satu ini, Ibnu Jazari berbeda pendapat
dengan ulama jumhur. Menurutnya sanad yang sohih sudah mencukupi akan
diterimanya suatu bacaan. Dia keberatan jika al-tawatur menjadi syarat
dalam bacaan. Menurutnya jika tawatur menjadi syarat niscaya akan banyak
ragam bacaan yang berasal dari para Imam mashur yang tertolak. Dia berkata”[6] wa laqad kuntu qablu
ajnahu ila hazal qaul, tsumma zahara fasaduhu. . . Menurut Abdul Ghafur
Al-Sindi, kata hazaa dalam kalimat di atas merupakan isyarat bahwasannya
dalam kitab “Munjidul Muqri’in” dia mensyaratkan al-tawatur, dan
menetapakn tiga qiraah yang mutawatir. Namun pada akhirnya dia berpendapat
bahwasannya al-tawatur tidak menjadi syarat maqbul bagi suatu bacaan.
Standar Jumhur Ulama
1.
Bacaannya mutawatir. Maksudnya adalah
diriwayatkan oleh kelompok dari suatu kelompok rawi yang tidak dimungkinkan
untuk bersepakat dalam kebohongan, dari mulai sanad pertama sampai sanad
terakhir (Rasul), serta tidak ada batasan jumlah.
2.
Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, walau satu wajh
3.
Sesuai dengan salah satu Rasm Mushaf Usmani
walau secara ihtimal
Menurut Jumhur, al-tawatur
merupakan syarat pokok akan diterimanya suatu bacaan dan tida cukup dengan
sanad yang sahih. sehingga menurut mereka bacaan-bacaan yang tidak mutawatir
bukan lah Al-Quran dan tidak menjadi ibadah apabila dibaca[7].
Mutaqaddimin
|
Ibn Mujahid
|
Ibn Jazari
|
Jumhur Ulama
|
-
ada jalan yang sesuai dengan bahasa Arab
-
sesuai
rasm mushaf usmani
-
ada kesepakatan antara ahli. Ahli Mekkah
dan Ahli Madinah, atau ahli Madinah dan Ahli Kufah
|
-
Sanad sohih
-
Sesuai dengan bahasa Arab
-
Sesuai dengan Rasm Mushaf Usmani
|
-
Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, walau pun
satu wajh
-
Sesuai dengan salah satu rasm mushaf usmani
walau pun secara ihtimal
-
Memiliki sanad sohih
|
-
Bacaannya mutawatir
-
Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, walau
satu wajh
-
Sesuai dengan salah satu Rasm Mushaf Usmani
walau secara ihtimal
|
A. Melacak Permulaan
Terjadinya Variasi Qira’at
Merunut
pada leksikon historis, “ peluang “ yang pertama kali diberikan Rasulullah
terkait hukum variasi qira’at adalah permulaan diizinkannya membaca Al-Qur’an
dengan menggunakan tujuh huruf.[8] Perbedaan bacaan antara
Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim dalam membaca salah satu ayat surat
al-Furqan merupakan salah satu sampel variasi qira’at pada masa-masa awal
diturunkannya Al-Qur’an. Ketika itu Rasulullah membenarkan qira’at keduanya.
Oleh karenanya, ulama menetapkan standar konstan dalam legitimasi varasi
qira’at yaitu qira’at yang hanya dinukil
dari Rasulullah. Dari sinilah awal mula kemunculan variasi qira’at yang
tentunya harus selalu disandingkan dengan tolok ukur legitimasinya, yakni aspek
penukilan/transmisi qira’at yang harus bersumber kepada Rasulullah ( tsubut
al-sima’ ‘an Rasulillah ).
Setelah khalifah
Utsman menyusun mushaf al-Imam, tolok ukur paling elementer terkait validitas
qira’at pada masa itu adalah kesesuaiannya dengan mushaf itu sendiri.
Selanjutnya, variasi qira’at ini kian berkembang seiring dengan perkembangan
periwayatan / transmisi qira’at dari masa ke masa yang turut menjadi
sebab terjadinya keragaman qira’at yang mengunggulkan suatu qira’at dari
qira’at lainnya. Oleh karenanya, jenis-jenis qira’at ini mengacu kepada para
perawinya, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas. [9] Dengan kata lain, variasi
qira’at ini mengacu pada kualitas dan kuantitas sanad yang nantinya akan
menentukan legtimasi qira’at itu sendiri sebagai qira’at yang sahih/benar.
Klasifikasi ini mirip dengan stratifikasi sanad dalam ilmu hadits.
B. Jenis-Jenis
Qira’at Beserta Contohnya
Imam As-Suyuthi dengan mengutip dari
Ibnu Jazary menyatakan bahwa qira’at ditinjau dari aspek sanadnya terbagi
menjadi enam macam : [10]
1. Mutawatir, yaitu qira’at yang dinukil oleh
sejumlah besar perawi dari perawi dengan jumlah besar pula yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni
Rasulullah. Inilah yang lumrah dalam
ilmu qira’at.
Contohnya seperti :
A. Surat al-Fatihah : 6-7
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ Dalam membaca kata الصراط dan صراط. Qunbul meriwayatkan dari Ibnu Katsir
dan Ruwais dari Ya’qub dengan membaca shad dengan murni sin dalm
kedua kata di atas. Adapun khalaf meriwayatkan dari Hamzah dengan
mengisymamkan shad kepada zai dalam dua kata di atas, pembacaan
ini juga diikuti oleh Khallad, tetapi hanya pada shad yang pertama saja الصراط . Adapun
periwayat lainnya membaca dua kata di atas dengan shad murni di semua
ayat al-Qur’an.
B. Surat
al-Fatihah : 4
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Abu Ja’far, Nafi’, Ibnu Katsir, Ibnu
‘Amir dan Hamzah membaca مَلِكِ tanpa
memakai alif. ‘Ashim dan Kisa’i membaca مَالِكِ dengan mencantumkan
alif.
2. Masyhur, yaitu qira’at yang sahih sanadnya
tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan
rasm utsmani serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at, baik yang
bersumber dari Imam yang tujuh, sepuluh atau imam qira’at lainnya sehingga
tidak dikategorikan qira’at yang ganjil (syadz). Para ulama menyebutkan
bahwa qira’at semacam ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan. Contohnya
seperti qira’at yang bersumber dari Imam yang tujuh dan masih terdapat
perbedaan jalur periwayatannya, sebagian meriwayatkan dan sebagian lainnya
tidak. Atau qira’at yang dipopulerkan oleh Abu Ja’far bin Qa’qa’ dan Ya’qub
al-Hadlrami
3. Ahad, yaitu qira’at yang sahih sanadnya
tetapi menyalahi rasm utsmani, kaidah bahasa arab atau tidak terkenal seperi
halnya qira’at masyhur yag telah disebutkan. Qira’at macam ini tidak termasuk
qira’at yang dapat diamalkan bacaannya. Contohnya seperti riwayat al-Hakim dari
jalur ‘Ashim al-jahdary dari Abu Bakrah bahwa Nabi Saw. membaca :
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارِفَ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيَ حِسَانٍ
Contoh lainnya hadits hakim dari Ibnu
‘Abbas bahwa ia membaca :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفَسِكُمْ
Dengan membaca huruf fa dengan
harakat fathah.
4. Syadz, yaitu qira’at yang tidak sahih sanadnya.
Contohnya seperti :
مَلَكَ يَوْمَ الدِّينِ
Dengan memakai fi’il
madli dan menasabkan kata yawma.
Contoh lainnya seperti
qira’at Ibnu Samyafa’ :
فَالْيَوْمَ نُنَحِّيكَ بِبَدَنِكَ
Dengan memakai ha (
muhmalah ).
5.
Maudlu’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya. Contohnya seperti
qira’at yang dikompilasikan oleh Muhammad bin Ja’far al-Khara’iy yang
dinisbahkan kepada Abu hanifah, seperti :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ
Dengan merafa’kan
lafadz Jalalah dan menasabkan lafadzh ‘Ulama.
6. Mudraj, yaitu
qira’at yang tercampur dengan penafsiran. Contohnya seperti qira’at Ibnu Abbas
:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ
رَبِّكُمْ فِي مَوَاسِمَ الْحَجِّ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا
اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَام
Kalimat فِي مَوَاسِمَ
الْحَجِّ merupakan penafsiran yang disisipkan di sela-sela
ayat.
Daftar Pustaka
As-Sindi, Abdul Ghafur. Shofahat fi ‘Ulum al-Quran, Jamiah Ummul Qura’: al-Maktabah
al-Amdadiyyah.
Ibnul Jazari. al-Nasyr fil Qiraah
al-‘Asyr. Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun.
Abu Muhammad al-Mishry, Arsyif Multaqa Ahl at-Tafsir 5, Juz.
1, dalam CD Maktabah Syamilah.
ad-Dusari, Ibrahim. al-Minhaj fil
Hukmi ‘alal Qira’at. CD Maktabah Syamilah.
al-Zarqani,
Muhammad ‘Abdul ‘Adzhim. Manahilul ‘Irfan. CD Maktabah Syamilah.
Qathhan Manna’.
Mabahits fii Ulumil Qur’an. CD Maktabah Syamilah.
End Notes
[1] Lihat Abdul
Ghafur al-Sindi, Shofahat fi ‘Ulum al-Quran, Jamiah Ummul Qura’: al-Maktabah al-Amdadiyyah, hlm. 44
[4] Lihat Abdul Ghafur al-Sindi, Shofahat fi> ‘Ulum al-Quran, Jamiah
Ummul Qura’: al-Maktabah al-Amdadiyyah, hlm. 55
[7] Abdul Ghafur al-Sindi, Shofahat fi ‘Ulum al-Quran, Jamiah Ummul
Qura’: al-Maktabah al-Amdadiyyah, hlm. 51
[8] . Abu Muhammad al-Mishry, Arsyif Multaqa Ahl at-Tafsir 5,
Juz. 1, hlm. 3563, dipindahkan dari www.aldahereyah.net ke dalam
CD Maktabah Syamilah oleh Abu Zur’ah Hazim.
[9]
. Ibrahim ad-Dusari, al-Minhaj fil Hukmi ‘alal Qira’at, hlm. 10, CD Maktabah
Syamilah.
[10].
Muhammad ‘Abdul ‘Adzhim al-Zarqani, Manahilul ‘Irfan, Juz 1, hlm. 429,
CD Maktabah Syamilah. Bandingkan
dengan : Manna’ul Qathhan, Mabahits fii Ulumil Qur’an, hlm. 176.
0 comments
Posting Komentar