Irshad
Manji Dalam Sorotan : Sosok Muslim Refusenik [1]
Penggebu Ijtihad Modern
“Aku
tidak percaya bahwa setiap keraguan itu selalu menyedihkan. Sebab, keraguan
adalah permulaan menuju keyakinan, pertanyaan adalah permulaan menuju
kesimpulan (yang benar), dan kegelisahan adalah permulaan menuju ketentraman.
Keraguan adalah jembatan yang indah, sekalipun ia juga merupakan tempat tinggal
yang buruk”
(Muthahhari,
al-‘Adl al-Ilahy: 13)
A. Pendahuluan
Salah satu isu krusial yang senantiasa menghantui umat
Islam dalam lintas sejarahnya adalah bagaimana mengatasi benturan antara teks (an-nash)
dan realitas (al-waqi’) ?. Dengan kata lain, bagaimana mereka masih
bisa “setia“ pada teks-teks keagamaan di
satu pihak dan menyesuaikan diri dengan perkembangan kemanusiaan di pihak yang
lain ?. Dalam bahasa yang lebih Islami, bagaimana mensintesiskan ashalah (asas-asas
pokok keagamaan) dan hadatsah (realitas sosial) ?.
Kesadaran semacam ini merupakan suatu keniscayaan,
mengingat bahwa berpadunya agama dengan realitas di dunia ini merupakan
“sintesis vertikal dan horizontal”. Perpaduan nilai-nilai Ketuhanan yang “transenden”
dengan realitas sosial-kemanusiaan yang “imanen” merupakan sebuah integrasi
yang tidak mudah. Berbagai macam benturan dalam keterpaduan itu akan selalu ada
dalam masing-masing horizon yang melingkupinya. Terlebih lagi ketika
nilai-nilai transendental itu turun dalam rangka mengakomodir suatu realitas
yang terbatas ruang dan waktu.
Adalah jargon yang cukup populer di kalangan umat muslim,
bahwa ajaran Islam itu shalih likulli zaman wa makan (tetap valid
melintasi ruang dan waktu). Beranjak dari hal tersebut, kesadaran untuk tetap
menjaga dialektika Islam dengan realitas sosial dan fakta objektif lainnya
adalah niscaya, jika tidak ingin dikatakan bahwa Islam adalah agama
temporal-lokalistik di Jazirah Arab yang hanya berlaku pada masa kerasulan
Muhammad saja. Dengan demikian, realitas merupakan dasar yang tak dapat diabaikan,
ia merupakan yang pertama, kedua dan terakhir.
Dalam konteks inilah kita akan membincang Irshad Manji,
sosok yang akhir-akhir ini menjadi headline dalam wacana pemikiran Islam
modern,[2] tokoh yang disebut New
York Times sebagai “Osama bin Laden Worst Nightmare” (mimpi terburuk
bagi Osama bin Laden). Salah satu hal yang menjadi trademark Irshad
Manji dalam hal ini adalah keberaniannya memasuki “zona-zona merah” dalam
agama. Sebut saja beberapa kritik pedasnya terhadap Al-Qur’an, Nabi Muhammad, keberaniannya
dalam legalisasi homoseksualitas, dll.
Terlepas dari
justifikasi pro-kontra yang ada, dalam tulisan singkat ini kita akan sedikit
menyelami alam berfikir Irshad Manji. Tulisan ini lebih untuk mengajak berdiskusi
ketimbang memberikan justifikasi dan intruksi. Bagaimanapun juga, setiap
pemikiran yang ada hendaknya disikapi secara cerdas dan bijak sehingga bisa
memberikan hikmah tersendiri bagi kita, bukannya disikapi secara emosional dan
sentimen. “Epigraf“ Muthahari di atas kiranya merupakan rambu-rambu yang mesti
kita jadikan pijakan dalam menghadapi setiap kegelisahan semacam ini.
Sumber yang
dijadikan rujukan adalah dua buku karangannya, The Trouble With Islam Today dan
Allah, Liberty and Love, meskipun keduanya lebih merupakan “buku curhat”
yang hampir sepenuhnya fenomenologis, namun kedua buku itu cukup menjadi
“catatan kaki” bagi pemikirannya. Sumber lainnya adalah artikel di web
pribadinya dan video wawancaranya di beberapa stasiun televisi.
B.
Konstruksi Pemikiran
1. Ideologi Ketakutan ( Ideology
of Fear ) : Titik Tolak
Melacak landasan
utama yang membangun konstruksi pemikiran se-progresif Irshad Manji merupakan
hal yang mula-mula perlu dibedah. Dalam one on one conversation dengan VOA
(Voice of America) TV, Washington DC, ia menegaskan apa yang menjadi titik
tolak pemikirannya :
Let me tell you where
i stand, i have always been clear that Islam began as religion of Justice, but it
has become corrupted into an ideology of fear. And we moslems primerely who are
responsible for the corrupting.
Dengan pernyataan tersebut, ia berangkat dari suatu prinsip
asasi bahwa Islam adalah agama keadilan (religion of Justice,), dan
dalam perjalanannya ia terperangkap dalam apa yang ia sebut sebagai “ideologi
ketakutan” (ideology of fear). Oleh sebab itu, selaku umat muslim ia
merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Ia mengutip
surat ar-ra’d ayat 11 sebagai landasan:
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri
Bab
pertama dalam buku Allah, Liberty and Love adalah “some things are
more important than fear” (sesuatu yang lebih penting dari rasa takut).
Pada bagian ini secara fenomenologis ia memaparkan betapa mayoritas umat muslim
seluruh dunia masih menganut ideologi ketakutan. [3] Ia
memaparkan beberapa surel (surat elektronik) yang ia terima dari beberapa umat
muslim di timur maupun di barat yang terlihat mulai menggeliat dari belenggu
ketakutan tersebut. Berikut salah satu contohnya :
Banyak pertanyaan di situs web Anda mengangkat
pasangan Muslim dan non-Muslim. Saya pernah menjalani hubungan semacam itu.
Tapi sekarang sudah berakhir, karena saya sadar tidak ada harapan lagi.
Satu-satunya harapan adalah saya meninggalkan keluarga saya, namun keluarga
terlalu penting untuk itu... Saya tipe orang yang menyimpan sendiri perasaan
demi keluarga. Bagaimana saya bisa menjadi orang yang saya inginkan? Atau
menjadi diri saya yang sebenarnya, kalau saya terlalu takut untuk bersuara?
—Phirdhoz
Jawab
Irshad Manji :
sebelum
kalian memutuskan tak sanggup mengecewakan keluarga, renungkanlah salah satu
ayat yang paling tidak diindahkan di dalam Al- Quran: Wahai
orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum
kerabatmu. (4:135). Ayat ini merupakan
panggilan untuk jujur, tanpa peduli siapa pun yang akan tersinggung karenanya.
Pesan utama dari ideologi ketakutan ini adalah bahwa kita
tidak perlu memiliki ketakutan akan Tuhan, karena Tuhan adalah cinta. Kita
perlu berjuang dalam hidup tanpa ketakutan. Kita harus punya kekuatan untuk berbicara
ketika semua orang menyuruh kita diam. Karena ada hal yang lebih penting yang
dapat kita lakukan selain hanya merasa takut. [4]
Dalam bagian-bagian selanjutnya Irshad membincang sakralitas
budaya yang sedikit banyak telah membentuk konstruksi ideologi ketakutan
tersebut. Ia beranggapan bahwa sakralisasi budaya merupakan salah satu faktor
primer yang membentuk ideologi ketakutan. Dalam term yang Islami, selama ini
porsi tarhib lebih mendominasi kehidupan keberagamaan umat Islam
ketimbang targhib-nya. Dengan demikian, sosok Tuhan yang rahmat-Nya tak
terbatas itu lebih terlihat “mengerikan”. Hal ini tiada lain dikarenakan budaya
yang dibentuk oleh umat Islam itu sendiri, bukan oleh Tuhan.
2. Keberanian
Moral ( Moral Courage ) : Kata Kunci
Kata kunci ajaran Irshad Manji –
sebagaimana dinyatakannya sendiri – terletak pada “keberanian moral”. Konsep
ini pertama kali ia dapatkan dari seorang temannya yang agnostik. Robert
F. Kennedy menggambarkan keberanian moral sebagai kesediaan untuk berbicara
kebenaran pada pihak kuasa dalam komunitasmu demi kebaikan yang lebih besar. [5]
Hal ini merupakan tahap lanjutan dari kesadaran akan ideologi ketakutan.
Dalam pandangannya, integritas jauh
lebih penting dibandingkan identitas. Identitas bisa menjebak, sedangkan
integritas bisa memberikan kebebasan. Signifikansi keduanya terlihat secara
kontras dalam surel berikut :
Saya
tinggal dan bekerja di Abu Dhabi. Pemikiran dan moralitas adalah pegangan hidup
saya, lebih dari kewarganegaraan saya, yaitu Emirati. Saya menyurati Anda
karena kita berbicara dengan bahasa yang sama, mempertahankan keyakinan dengan
antusiasme yang sama, dan dikelilingi oleh mereka yang menjuluki kita kafir...
Saya memahami ketika Anda menyerahkan ini kepada Tuhan, bahwa hanya Dia
satu-satunya yang memiliki Kebenaran, sedangkan kita hanya para pencari
Kebenaran. Saya selalu berusaha
mengungkapkan ini! Bahkan, saya selalu mengatakan, apa yang saya lakukan atau
yakini mungkin saja salah—tetapi dengan akal, pengetahuan, pengalaman, dan lain
sebagainya—saya telah menemukan beberapa kesimpulan yang saya akui kebenarannya. Apa pun yang terjadi, saya akan
meneruskan hidup ini dengan penuh kejujuran dan kehormatan. TUHAN mengenal
diriku jauh lebih baik daripada siapa pun, pasti mengetahui betapa saya
berjuang memperkecil jurang antara pikiran, perkataan, dan perbuatan saya. Hal
inilah yang membuat saya siap menghadapi hari pembalasan!
—Fatema
Irshad Manji :
Kita
belajar bahwa identitas diri Fatema, sebagai seorang Arab atau Muslim, tidak
lebih penting daripada integritas dirinya sebagai seorang individu—seorang
makhluk ciptaan Tuhan yang kompleks dan penuh lika-liku, yang tidak mungkin
Tuhan yang Agung menolaknya. Karena, Tuhan yang pantas disembah harus lebih
daripada sekadar Pencipta perangkat kecil dan robot ini. Dengan meletakkan
Tuhan yang transenden di
pusat
keimanannya, Fatema mengabaikan gangguan negatif yang senantiasa dilemparkan
oleh manusia atas nama tuhan kecil. Kareem, jika keyakinanmu sangat tergantung
pada persetujuan orang lain, maka lepaskan keyakinanmu itu. Karena sesungguhnya
itu bukanlah keyakinan. Itu adalah hingar-bingar budaya dan agama yang sudah
karatan. Raihlah kekuatan dari Fatema, yang telah menemukan nurani dan Sang
Penciptanya di dalam situasi kerak teologi yang mengeras. [6]
Keberanian
moral akan terus berusaha mencapai integritas, meskipun harus “menanggalkan”
identitas. Dalam pandangan Irshad, keberanian moral memungkinkan masing-masing
dari kita untuk menggunakan nurani, menggantikan konsensus dengan
individualitas, dan lebih mendekatkan kepada Sang Pencipta melalui pengenalan
terhadap diri sendiri. Formula utama keberanian moral adalah adanya suatu
keyakinan yang hanya melibatkan “persetujuan” Tuhan dan hati nurani dalam
setiap tindakan, tanpa melihat hal lainnya.
Irshad menuturkan : “ Meskipun
demikian, ada sesuatu yang tidak perlu begitu kita pedulikan: persetujuan orang
lain. Di satu sisi, memang ada yang salah. Kau peduli dengan Islam. Kau merasa
sakit justru karena kau memedulikan integritas keyakinanmu. Nuranimu penting,
dan itulah yang mengundang rasa sakit. [7]
Dalam hal ini ia membedakan antara
iman dan dogma. Menurutnya iman
tidak melarang eksplorasi, dogmalah yang melarang. Secara intrinsik, dogma
terancam oleh pertanyaan-pertanyaan, sementara iman menerima
pertanyaan-pertanyaan, karena iman meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih bisa
mengatasi semua itu.[8] Hal ini pula yang
mendorongnya membentuk Moral Courage Project (Gerakan Keberanian Moral)
pada 2008 hingga sekarang.
3.
Islam Yang Riil atau Yang Ideal ?
Pertentangan
semacam ini sejatinya merupakan kasus filsafat. Dalam sejarahnya, percaturan
ini telah melahirkan dua mazhab yang besar. Dalam hal ini Irshad Manji adalah
seorang yang empiris. Ia mendasarkan semua aktivitasnya berdasarkan fakta
objektif dengan tidak terkungkung dalam “rumus-rumus” ideologis tertentu.
Selangkapnya, Irshad
menuturkan: [9]
Segala
sesuatu tampak luar biasa sebagai sebuah ideal. Kapitalisme tampak hebat
sebagai sebuah ideal. Kaum muslim tahu bahwa kenyataan sangatlah berbeda dengan
sebuah ideal. Sebagai masyarakat yang berhati nurani, kita juga mesti
memperhatikan realitas-realitas yang terjadi dalam Islam.
Kupikir
Nabi Muhammad akan menyatukan perbedaan antara yang riil dan yang ideal. Ketika
beliau ditanya tentang definisi agama, beliau menjawab: Agama adalah cara kita bersikap
terhadap orang lain. Sederhana, tanpa harus menyederhanakan! Dengan definisi itu,
cara muslim bersikap—bukan dalam teori tapi dalam kenyataan—itulah sesungguhnya
Islam. Perasaan puas terhadap diri sendiri adalah Islam. Itu juga berarti bahwa
kita mesti memperhatikan hak asasi perempuan dan kelompok minoritas.
Untuk
melakukan itu, kita harus mentas dari sikap kita yang terus menolak. Dengan
menekankan bahwa tidak ada masalah dengan Islam saat ini, kita menyembunyikan
“kenyataan agama” kita di balik “ideal agama” kita, yang berarti membebaskan
diri kita dari tanggung jawab terhadap umat manusia, termasuk saudara kita
sesama muslim.
C.
Ijtihad : Konsep Kunci Pemikiran Irshad Manji
Reformasi
pemikiran Irshad Manji dengan “keberanian moral”-nya bukan konsep absurd semata
yang tidak merekomendasikan beberapa terobosan. Sejatinya, ia hanya me-recycle
tradisi umat islam yang sempat “terlupakan” sejak masa keemasan islam,
yaitu Ijtihad (critical thinking). Hal ini – sebagaimana diungkapkannya
– merupakan gagasan sangat besar, yang ia yakini
memiliki kapasitas untuk mengubah dunia untuk selamanya. [10]
Hal ini merupakan pelajaran yang ia ambil dari masa keeemasan Islam (sekitar
800-1200 M), ketika Islam memegang tonggak peradaban dunia.
Seperti
para reformis terdahulu, ia mulai dengan reformasi tradisi berfikir. Yang
menjadi trademark-nya dalam hal ini adalah perluasan wilayah operasi
dalam demokratisasi Ijtihad. Dalam hal ini ia mengatakan : “Aku
hanya menyerukan agar semangat ijtihad disebarluaskan, tidak hanya sebatas
untuk akademisi dan teolog. Singkirkan elitisme yang menanamkan pola kepatuhan
di kalangan Muslim—kepatuhan menghentikan kita untuk menyuarakan dogma yang
dipolitisasi dan ketinggalan zaman”.[11]
Ijtihad dalam versinya adalah
perjuangan untuk memahami dunia dengan menggunakan pikiran. Tentu, ini
berimplikasi pada penggunaan kebebasan untuk mengajukan pertanyaan—yang
terkadang terasa begitu tidak nyaman. Ijtihad adalah
praktik berpikir yang independen, yang tidak terpengaruh oleh apa pun. Ijtihad
tidak membungkam manusia untuk menanyakan sesuatu. Ijtihad membuka jalan bagi
manusia untuk mengembangkan banyak hal. [12]
Terkait
otoritas dan validitas Ijtihad, Irshad cukup puas dengan mengutip ungkapan Umar
Faruq ‘Abd Allah : “setiap orang yang melakukan
ijtihad pada dasarnya adalah benar—bahkan jika salah secara teknis. Namun
kemudian tibmul perdebatan antara teolog dan ahli fikih mengenai apakah mungkin
ada lebih dari satu jawaban yang benar untuk satu pertanyaan. Nah, apakah ada?
Mayoritas ulama cukup Puas dengan mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan
ijtihad menerima pahala ketika keliru, bukan berdasarkan kesalahannya tetapi
karena kepatuhan kepada Tuhan dalam memenuhi perintah-Nya untuk melakukan
ijtihad.”[13]
Secara sederhana, konsep pemikiran Irshad dapat dilihat seperti dalam skema di bawah ini :
End Notes :
[1].
“Muslim Refusenik” merupakan istilah yang dipakai oleh Irshad Manji sendiri
ketika mengidentifikasi dirinya. Istilah ini diambil dari kaum refusenik
permulaan: kaum Yahudi Soviet yang memperjuangkan kebebasan beragama dan
kebebasan pribadi. Hal ini – sebagaimana diungkapkannya sendiri – bukan berarti
ia menolak menjadi seorang muslim, melainkan ia menolak untuk bergabung dengan
pasukan “robot” yang mudah dimobilisasi secara otomatis untuk melakukan
tindakan atas nama Allah. Lihat Irshad Manji, The Trouble With Islam Today:
Faith Without Fear, terj. Herlina Permatasari, hlm. 7.
[2]
. Salah satu hal yang paling bisa dijadikan alasan mengapa Irshad menjadi buah
bibir di kalangan umat Islam seluruh dunia akhir-akhir ini adalah bahwa ia
membawa suatu atribut yang benar-benar kontroversial dengan terang-terangan mengaku sebagai aktivis
muslim yang lesbian, di samping aktivitas “dakwah”-nya yang cukup intens baik
di dunia nyata maupun di dunia maya. Menurut hemat penulis andai saja Irshad
tidak dikaitkan dengan hal ini, ia tidak ada bedanya dengan tokoh feminis lain
semisal Amina Wadud, Fatima Mernisi atau Siti Musdah Mulia yang juga sempat
“melirik” wacana homoseksualitas. Hal inilah kiranya yang menjadikannya dianggap
sebagai suatu ancaman serius bagi keimanan umat Islam. Di sini ia memiliki
keunggulan tersendiri: keberanian moral..!
[3] .
Selengkapnya lihat Irshad Manji, Allah, Liberty and Love, hlm. 1-7
[4] .
Wawancara kompas.com dengan Irshad Manji, www.oase.kompas.com,
diakses 25 Mei 2012
[5] . Allah,
Liberty and Love, sekapur sirih, hlm. xx
[6] . Allah,
Liberty and Love, hlm. 51
[7] . Allah,
Liberty and Love, hlm. 7
[8] . Allah,
Liberty and Love, hlm. XX
[9] . The
Trouble With Islam Today, hlm. 8
[10] . Allah,
Liberty and Love, hlm. Xii
[11] . Allah,
Liberty and Love, hlm. 37
[12] .
Wawancara kompas.com, www.oase.kompasiana.com,
diakses 25 mei 2012
[13] . Allah,
Liberty and Love, hlm. 37-38
0 comments
Posting Komentar