Irshad Manji ?

Posted by By Truth Seekers On 20.03


Irshad Manji Dalam Sorotan : Sosok Muslim Refusenik [1] Penggebu Ijtihad Modern

“Aku tidak percaya bahwa setiap keraguan itu selalu menyedihkan. Sebab, keraguan adalah permulaan menuju keyakinan, pertanyaan adalah permulaan menuju kesimpulan (yang benar), dan kegelisahan adalah permulaan menuju ketentraman. Keraguan adalah jembatan yang indah, sekalipun ia juga merupakan tempat tinggal yang buruk”

(Muthahhari, al-‘Adl al-Ilahy: 13)

          A.  Pendahuluan

          Salah satu isu krusial yang senantiasa menghantui umat Islam dalam lintas sejarahnya adalah bagaimana mengatasi benturan antara teks (an-nash) dan realitas (al-waqi’) ?. Dengan kata lain, bagaimana mereka masih bisa  “setia“ pada teks-teks keagamaan di satu pihak dan menyesuaikan diri dengan perkembangan kemanusiaan di pihak yang lain ?. Dalam bahasa yang lebih Islami, bagaimana mensintesiskan ashalah (asas-asas pokok keagamaan) dan hadatsah (realitas sosial) ?.

          Kesadaran semacam ini merupakan suatu keniscayaan, mengingat bahwa berpadunya agama dengan realitas di dunia ini merupakan “sintesis vertikal dan horizontal”. Perpaduan nilai-nilai Ketuhanan yang “transenden” dengan realitas sosial-kemanusiaan yang “imanen” merupakan sebuah integrasi yang tidak mudah. Berbagai macam benturan dalam keterpaduan itu akan selalu ada dalam masing-masing horizon yang melingkupinya. Terlebih lagi ketika nilai-nilai transendental itu turun dalam rangka mengakomodir suatu realitas yang terbatas ruang dan waktu.

          Adalah jargon yang cukup populer di kalangan umat muslim, bahwa ajaran Islam itu shalih likulli zaman wa makan (tetap valid melintasi ruang dan waktu). Beranjak dari hal tersebut, kesadaran untuk tetap menjaga dialektika Islam dengan realitas sosial dan fakta objektif lainnya adalah niscaya, jika tidak ingin dikatakan bahwa Islam adalah agama temporal-lokalistik di Jazirah Arab yang hanya berlaku pada masa kerasulan Muhammad saja. Dengan demikian, realitas merupakan dasar yang tak dapat diabaikan, ia merupakan yang pertama, kedua dan terakhir.

          Dalam konteks inilah kita akan membincang Irshad Manji, sosok yang akhir-akhir ini menjadi headline dalam wacana pemikiran Islam modern,[2] tokoh yang disebut New York Times sebagai “Osama bin Laden Worst Nightmare” (mimpi terburuk bagi Osama bin Laden). Salah satu hal yang menjadi trademark Irshad Manji dalam hal ini adalah keberaniannya memasuki “zona-zona merah” dalam agama. Sebut saja beberapa kritik pedasnya terhadap Al-Qur’an, Nabi Muhammad, keberaniannya dalam legalisasi homoseksualitas, dll.

Terlepas dari justifikasi pro-kontra yang ada, dalam tulisan singkat ini kita akan sedikit menyelami alam berfikir Irshad Manji. Tulisan ini lebih untuk mengajak berdiskusi ketimbang memberikan justifikasi dan intruksi. Bagaimanapun juga, setiap pemikiran yang ada hendaknya disikapi secara cerdas dan bijak sehingga bisa memberikan hikmah tersendiri bagi kita, bukannya disikapi secara emosional dan sentimen. “Epigraf“ Muthahari di atas kiranya merupakan rambu-rambu yang mesti kita jadikan pijakan dalam menghadapi setiap kegelisahan semacam ini.

Sumber yang dijadikan rujukan adalah dua buku karangannya, The Trouble With Islam Today dan Allah, Liberty and Love, meskipun keduanya lebih merupakan “buku curhat” yang hampir sepenuhnya fenomenologis, namun kedua buku itu cukup menjadi “catatan kaki” bagi pemikirannya. Sumber lainnya adalah artikel di web pribadinya dan video wawancaranya di beberapa stasiun televisi.

B. Konstruksi Pemikiran

1. Ideologi Ketakutan ( Ideology of Fear ) : Titik Tolak

Melacak landasan utama yang membangun konstruksi pemikiran se-progresif Irshad Manji merupakan hal yang mula-mula perlu dibedah. Dalam one on one conversation dengan VOA (Voice of America) TV, Washington DC, ia menegaskan apa yang menjadi titik tolak pemikirannya :

Let me tell you where i stand, i have always been clear that Islam began as religion of Justice, but it has become corrupted into an ideology of fear. And we moslems primerely who are responsible for the corrupting.
         
Dengan pernyataan tersebut, ia berangkat dari suatu prinsip asasi bahwa Islam adalah agama keadilan (religion of Justice,), dan dalam perjalanannya ia terperangkap dalam apa yang ia sebut sebagai “ideologi ketakutan” (ideology of fear). Oleh sebab itu, selaku umat muslim ia merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Ia mengutip surat ar-ra’d ayat 11 sebagai landasan:

Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri

            Bab pertama dalam buku Allah, Liberty and Love adalah “some things are more important than fear” (sesuatu yang lebih penting dari rasa takut). Pada bagian ini secara fenomenologis ia memaparkan betapa mayoritas umat muslim seluruh dunia masih menganut ideologi ketakutan. [3] Ia memaparkan beberapa surel (surat elektronik) yang ia terima dari beberapa umat muslim di timur maupun di barat yang terlihat mulai menggeliat dari belenggu ketakutan tersebut. Berikut salah satu contohnya :

Banyak pertanyaan di situs web Anda mengangkat pasangan Muslim dan non-Muslim. Saya pernah menjalani hubungan semacam itu. Tapi sekarang sudah berakhir, karena saya sadar tidak ada harapan lagi. Satu-satunya harapan adalah saya meninggalkan keluarga saya, namun keluarga terlalu penting untuk itu... Saya tipe orang yang menyimpan sendiri perasaan demi keluarga. Bagaimana saya bisa menjadi orang yang saya inginkan? Atau menjadi diri saya yang sebenarnya, kalau saya terlalu takut untuk bersuara?                                                                                                                   
    —Phirdhoz
Jawab Irshad Manji :

sebelum kalian memutuskan tak sanggup mengecewakan keluarga, renungkanlah salah satu ayat yang paling tidak diindahkan di dalam Al- Quran: Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. (4:135). Ayat ini merupakan panggilan untuk jujur, tanpa peduli siapa pun yang akan tersinggung karenanya.

          Pesan utama dari ideologi ketakutan ini adalah bahwa kita tidak perlu memiliki ketakutan akan Tuhan, karena Tuhan adalah cinta. Kita perlu berjuang dalam hidup tanpa ketakutan. Kita harus punya kekuatan untuk berbicara ketika semua orang menyuruh kita diam. Karena ada hal yang lebih penting yang dapat kita lakukan selain hanya merasa takut. [4]
          Dalam bagian-bagian selanjutnya Irshad membincang sakralitas budaya yang sedikit banyak telah membentuk konstruksi ideologi ketakutan tersebut. Ia beranggapan bahwa sakralisasi budaya merupakan salah satu faktor primer yang membentuk ideologi ketakutan. Dalam term yang Islami, selama ini porsi tarhib lebih mendominasi kehidupan keberagamaan umat Islam ketimbang targhib-nya. Dengan demikian, sosok Tuhan yang rahmat-Nya tak terbatas itu lebih terlihat “mengerikan”. Hal ini tiada lain dikarenakan budaya yang dibentuk oleh umat Islam itu sendiri, bukan oleh Tuhan.

2. Keberanian Moral ( Moral Courage ) : Kata Kunci

          Kata kunci ajaran Irshad Manji – sebagaimana dinyatakannya sendiri – terletak pada “keberanian moral”. Konsep ini pertama kali ia dapatkan dari seorang temannya yang agnostik. Robert F. Kennedy menggambarkan keberanian moral sebagai kesediaan untuk berbicara kebenaran pada pihak kuasa dalam komunitasmu demi kebaikan yang lebih besar. [5] Hal ini merupakan tahap lanjutan dari kesadaran akan ideologi ketakutan.

          Dalam pandangannya, integritas jauh lebih penting dibandingkan identitas. Identitas bisa menjebak, sedangkan integritas bisa memberikan kebebasan. Signifikansi keduanya terlihat secara kontras dalam surel berikut  :

Saya tinggal dan bekerja di Abu Dhabi. Pemikiran dan moralitas adalah pegangan hidup saya, lebih dari kewarganegaraan saya, yaitu Emirati. Saya menyurati Anda karena kita berbicara dengan bahasa yang sama, mempertahankan keyakinan dengan antusiasme yang sama, dan dikelilingi oleh mereka yang menjuluki kita kafir... Saya memahami ketika Anda menyerahkan ini kepada Tuhan, bahwa hanya Dia satu-satunya yang memiliki Kebenaran, sedangkan kita hanya para pencari Kebenaran. Saya selalu  berusaha mengungkapkan ini! Bahkan, saya selalu mengatakan, apa yang saya lakukan atau yakini mungkin saja salah—tetapi dengan akal, pengetahuan, pengalaman, dan lain sebagainya—saya telah menemukan beberapa kesimpulan yang saya akui  kebenarannya. Apa pun yang terjadi, saya akan meneruskan hidup ini dengan penuh kejujuran dan kehormatan. TUHAN mengenal diriku jauh lebih baik daripada siapa pun, pasti mengetahui betapa saya berjuang memperkecil jurang antara pikiran, perkataan, dan perbuatan saya. Hal inilah yang membuat saya siap menghadapi hari pembalasan!
—Fatema
Irshad Manji :

Kita belajar bahwa identitas diri Fatema, sebagai seorang Arab atau Muslim, tidak lebih penting daripada integritas dirinya sebagai seorang individu—seorang makhluk ciptaan Tuhan yang kompleks dan penuh lika-liku, yang tidak mungkin Tuhan yang Agung menolaknya. Karena, Tuhan yang pantas disembah harus lebih daripada sekadar Pencipta perangkat kecil dan robot ini. Dengan meletakkan Tuhan yang transenden di
pusat keimanannya, Fatema mengabaikan gangguan negatif yang senantiasa dilemparkan oleh manusia atas nama tuhan kecil. Kareem, jika keyakinanmu sangat tergantung pada persetujuan orang lain, maka lepaskan keyakinanmu itu. Karena sesungguhnya itu bukanlah keyakinan. Itu adalah hingar-bingar budaya dan agama yang sudah karatan. Raihlah kekuatan dari Fatema, yang telah menemukan nurani dan Sang Penciptanya di dalam situasi kerak teologi yang mengeras. [6]

            Keberanian moral akan terus berusaha mencapai integritas, meskipun harus “menanggalkan” identitas. Dalam pandangan Irshad, keberanian moral memungkinkan masing-masing dari kita untuk menggunakan nurani, menggantikan konsensus dengan individualitas, dan lebih mendekatkan kepada Sang Pencipta melalui pengenalan terhadap diri sendiri. Formula utama keberanian moral adalah adanya suatu keyakinan yang hanya melibatkan “persetujuan” Tuhan dan hati nurani dalam setiap tindakan, tanpa melihat hal lainnya.

Irshad menuturkan : “ Meskipun demikian, ada sesuatu yang tidak perlu begitu kita pedulikan: persetujuan orang lain. Di satu sisi, memang ada yang salah. Kau peduli dengan Islam. Kau merasa sakit justru karena kau memedulikan integritas keyakinanmu. Nuranimu penting, dan itulah yang mengundang rasa sakit. [7]

          Dalam hal ini ia membedakan antara iman dan dogma. Menurutnya iman tidak melarang eksplorasi, dogmalah yang melarang. Secara intrinsik, dogma terancam oleh pertanyaan-pertanyaan, sementara iman menerima pertanyaan-pertanyaan, karena iman meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih bisa mengatasi semua itu.[8] Hal ini pula yang mendorongnya membentuk Moral Courage Project (Gerakan Keberanian Moral) pada 2008 hingga sekarang.

3. Islam Yang Riil atau Yang Ideal ?

          Pertentangan semacam ini sejatinya merupakan kasus filsafat. Dalam sejarahnya, percaturan ini telah melahirkan dua mazhab yang besar. Dalam hal ini Irshad Manji adalah seorang yang empiris. Ia mendasarkan semua aktivitasnya berdasarkan fakta objektif dengan tidak terkungkung dalam “rumus-rumus” ideologis tertentu.
Selangkapnya, Irshad menuturkan: [9]

Segala sesuatu tampak luar biasa sebagai sebuah ideal. Kapitalisme tampak hebat sebagai sebuah ideal. Kaum muslim tahu bahwa kenyataan sangatlah berbeda dengan sebuah ideal. Sebagai masyarakat yang berhati nurani, kita juga mesti memperhatikan realitas-realitas yang terjadi dalam Islam.

Kupikir Nabi Muhammad akan menyatukan perbedaan antara yang riil dan yang ideal. Ketika beliau ditanya tentang definisi agama, beliau menjawab: Agama adalah cara kita bersikap terhadap orang lain. Sederhana, tanpa harus menyederhanakan! Dengan definisi itu, cara muslim bersikap—bukan dalam teori tapi dalam kenyataan—itulah sesungguhnya Islam. Perasaan puas terhadap diri sendiri adalah Islam. Itu juga berarti bahwa kita mesti memperhatikan hak asasi perempuan dan kelompok minoritas.

Untuk melakukan itu, kita harus mentas dari sikap kita yang terus menolak. Dengan menekankan bahwa tidak ada masalah dengan Islam saat ini, kita menyembunyikan “kenyataan agama” kita di balik “ideal agama” kita, yang berarti membebaskan diri kita dari tanggung jawab terhadap umat manusia, termasuk saudara kita sesama muslim.

C. Ijtihad : Konsep Kunci Pemikiran Irshad Manji

          Reformasi pemikiran Irshad Manji dengan “keberanian moral”-nya bukan konsep absurd semata yang tidak merekomendasikan beberapa terobosan. Sejatinya, ia hanya me-recycle tradisi umat islam yang sempat “terlupakan” sejak masa keemasan islam, yaitu Ijtihad (critical thinking). Hal ini – sebagaimana diungkapkannya – merupakan gagasan sangat besar, yang ia yakini memiliki kapasitas untuk mengubah dunia untuk selamanya. [10] Hal ini merupakan pelajaran yang ia ambil dari masa keeemasan Islam (sekitar 800-1200 M), ketika Islam memegang tonggak peradaban dunia.

Seperti para reformis terdahulu, ia mulai dengan reformasi tradisi berfikir. Yang menjadi trademark-nya dalam hal ini adalah perluasan wilayah operasi dalam demokratisasi Ijtihad. Dalam hal ini ia mengatakan : “Aku hanya menyerukan agar semangat ijtihad disebarluaskan, tidak hanya sebatas untuk akademisi dan teolog. Singkirkan elitisme yang menanamkan pola kepatuhan di kalangan Muslim—kepatuhan menghentikan kita untuk menyuarakan dogma yang dipolitisasi dan ketinggalan zaman”.[11]

Ijtihad dalam versinya adalah perjuangan untuk memahami dunia dengan menggunakan pikiran. Tentu, ini berimplikasi pada penggunaan kebebasan untuk mengajukan pertanyaan—yang terkadang terasa begitu tidak nyaman. Ijtihad adalah praktik berpikir yang independen, yang tidak terpengaruh oleh apa pun. Ijtihad tidak membungkam manusia untuk menanyakan sesuatu. Ijtihad membuka jalan bagi manusia untuk mengembangkan banyak hal. [12]

Terkait otoritas dan validitas Ijtihad, Irshad cukup puas dengan mengutip ungkapan Umar Faruq ‘Abd Allah : “setiap orang yang melakukan ijtihad pada dasarnya adalah benar—bahkan jika salah secara teknis. Namun kemudian tibmul perdebatan antara teolog dan ahli fikih mengenai apakah mungkin ada lebih dari satu jawaban yang benar untuk satu pertanyaan. Nah, apakah ada? Mayoritas ulama cukup Puas dengan mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan ijtihad menerima pahala ketika keliru, bukan berdasarkan kesalahannya tetapi karena kepatuhan kepada Tuhan dalam memenuhi perintah-Nya untuk melakukan ijtihad.”[13]

Secara sederhana, konsep pemikiran Irshad dapat dilihat seperti dalam skema di bawah ini :




End Notes :

[1]. “Muslim Refusenik” merupakan istilah yang dipakai oleh Irshad Manji sendiri ketika mengidentifikasi dirinya. Istilah ini diambil dari kaum refusenik permulaan: kaum Yahudi Soviet yang memperjuangkan kebebasan beragama dan kebebasan pribadi. Hal ini – sebagaimana diungkapkannya sendiri – bukan berarti ia menolak menjadi seorang muslim, melainkan ia menolak untuk bergabung dengan pasukan “robot” yang mudah dimobilisasi secara otomatis untuk melakukan tindakan atas nama Allah. Lihat Irshad Manji, The Trouble With Islam Today: Faith Without Fear, terj. Herlina Permatasari, hlm.  7.

[2] . Salah satu hal yang paling bisa dijadikan alasan mengapa Irshad menjadi buah bibir di kalangan umat Islam seluruh dunia akhir-akhir ini adalah bahwa ia membawa suatu atribut yang benar-benar kontroversial  dengan terang-terangan mengaku sebagai aktivis muslim yang lesbian, di samping aktivitas “dakwah”-nya yang cukup intens baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Menurut hemat penulis andai saja Irshad tidak dikaitkan dengan hal ini, ia tidak ada bedanya dengan tokoh feminis lain semisal Amina Wadud, Fatima Mernisi atau Siti Musdah Mulia yang juga sempat “melirik” wacana homoseksualitas. Hal inilah kiranya yang menjadikannya dianggap sebagai suatu ancaman serius bagi keimanan umat Islam. Di sini ia memiliki keunggulan tersendiri: keberanian moral..!

[3] . Selengkapnya lihat Irshad Manji, Allah, Liberty and Love, hlm. 1-7
[4] . Wawancara kompas.com dengan Irshad Manji, www.oase.kompas.com, diakses 25 Mei 2012
[5] . Allah, Liberty and Love, sekapur sirih, hlm. xx
[6] . Allah, Liberty and Love, hlm. 51
[7] . Allah, Liberty and Love, hlm. 7
[8] . Allah, Liberty and Love, hlm. XX
[9] . The Trouble With Islam Today, hlm. 8
[10] . Allah, Liberty and Love, hlm. Xii
[11] . Allah, Liberty and Love, hlm. 37
[12] . Wawancara kompas.com, www.oase.kompasiana.com, diakses 25 mei 2012
[13] . Allah, Liberty and Love, hlm. 37-38


0 comments

Posting Komentar