Tafsir "Maqashidi" Muhammad Talbi

Posted by By Truth Seekers On 13.22


Sketsa Biografis Muhammad Talbi

Muhammad al-Thalibi (yang selanjutnya Talbi) merupakan seorang pemikir muslim dan sejarawan asal Afrika Utara. Ia dilahirkan di Tunisia pada tanggal 13 Muharram 1340 H, bertepatan dengan tanggal 16 September 1921. Ia mendapatkan pendidikan linguistik Arab di Universitas Tunisia (al-Jami’ah al-a-Tunisiyah). Selanjutnya ia mengawali karir sebagai mu’allim (guru) di sebuah madrasah tsanawiyah pada penghujung tahun 1945. Profesi ini diakuinya sendiri merupakan suatu pekerjaan yang amat mulia (‘amalun ‘adzhimun ).[1]

Tidak cukup dengan pendidikan di negaranya, ia mulai tertarik dengan ilmu sejarah, sehingga memutuskan untuk mengambil spesialisasi dalam bidang tersebut (takhassush fi Tarikh). pada tahun 1947 ia berangkat ke Paris yang diidentifikasinya sebagai negara yang penuh dengan pergulatan pemikiran dan peradaban yang kuat pada masa itu, untuk menempuh program pasca sarjana dalam bidang sejarah Afrika Utara. Setelah menyelesasikan desertasinya, beliau pulang ke Tunisa dan memulai karir intelektualnya.

Talbi menjadi terkemuka sebagai ilmuwan dengan spesialisasi sejarah Afrika Utara. Selain itu, ia juga mengembangkan wacana pemikiran Islam kontemporer dan studi relasi antar agama di masa modern. Kedua subjek ini dipandangnya sebagai sesuatu yang komplementer. Dengan demikian Talbi memiliki karir ganda, sebagai sejarawan Afrika Utara dan sebagai pemikir muslim kontemporer. 

Sebagaimana diakuinya sendiri, ideologi dan pemikiran Talbi banyak dipengaruhi oleh wacana intelektual yang pada saat itu sedang “membludak” di Prancis. Ia menyebutkan beberapa nama mulai dari Voltaire, Sartre, Maurice Thorez, Jacques Duclos, hingga guru-gurunya dalam bidang sejarah di Prancis seperti Edgar Quinet, Paul Eluard, dsb. sebagai referensi pemikirannya. [2] Secara khusus, Ia menyebut Regis Blachere dan beberapa karyanya sebagai ilmuwan pertama yang  membuatnya “ber-muhasabah” secara intelektual dan meninjau ulang beberapa keyakinan (al-Mu’taqadaat) yang dianggapnya telah mapan.[3]

Dengan dua bidang utama yang menjadi spesialsasinya, Talbi merintis wacana pluralisme secara internal dalam sejarah dan tradisi pemikiran Islam. Menurutnya, wacana pluralisme yang saat ini mulai dirintis sebagai wacana global, memang sebelumnya telah dihindari dan  ditolak (marfudlah min qabl) oleh umat Islam, bahkan saat ini pun masih saja ada orang yang mengingkarinya, namun bagaimanapun juga saat ini ia menjadi suatu keniscayaan realitas (as-syai yufridluhu al-waqi’) dan mau tidak mau Islam harus berhadapan dengannya.[4]

Karya-Karyanya

Talbi merupakan seorang penulis profilik tentang persoalan Islam kontemporer dan relasi antar agama. Talbi menulis dalam bahasa Arab, Perancis dan Inggris, diantara karya-karyanya :

     (a) Iyal Allah (Keluarga – Keluarga Tuhan). Sebuah buku yang disajikan dengan format tanya jawab yang berasal dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada Talbi dan jawaban-jawabannya.

 (b)     Ummat al-Wasath (Umat Pertengahan), sebuah buku yang berisi esai-esai Talbi terkait masalah relasi antar agama.[5]

      (c)      Liyathmainna Qalby (Agar Tentram Hatiku), buku terbaru Talbi (terbit 2008) yang berisi kritiknya terhadap Abdul Majid as-Syarafy dan Muhamamad Arkoun tentang peradaban bangsa Arab dan relasi antar agama.

     3.     Konsep Kunci Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Muhammad Talbi

      a)      Pembacaan Berbasis Historis (Qira’at Tarikhiyyah)

v  Talbi dan Wacana Sejarah

       Dalam pandangan Talbi, sejarah (al-Tarikh) merupakan ilmu yang paling komprehensif dan mondial. Ia mengidentifikasi sejarah sebagai sesuatu yang sangat penting dalam suatu peradaban (syai’un ‘adzhim fil hadlarah)[6], ilmu manusia yang paling komprehensif (asymalu ‘ulumil Insan)[7]. Di saat yang sama, ia juga memandang sejarah sebagai sesuatu yang bermata dua dan secara ambivalen memiliki potensi positif dan negatif. Dengan demikian ia manyebut sejarah sebagai akhtharu ‘ulumil Insan ‘alal insan fi nafsil waqt [8](pengetahuan yang paling “emergency” bagi dan tentang manusia dalam ruang waktu).

            Dengan kesadaran seperti itu, ia menulis sejarah sebaga ikhtiyar untuk memahami manusia dengan menjadikan kitab suci Al-Qur’an sebagai basisnya. Karena sebagaimana ia akui, bahwa ia tidak bisa melepaskan keyakinannya yang bernaung di bawah kitab suci Al-Qur’an. Namun di saat yang sama ia sendiri mengakui bahwa sejarah – mengutip Paul Valiry – merupakan produk paling berbahaya yang dihasilkan oleh pikiran, karena ia bisa meracuni relasi kemanusiaan dengan segala tipu dayanya.[9]

          Talbi mencontohkan perang Irak-Iran yang berlangsung selama 8 tahun sebagai salah satu fenomena dan produk sejarah. Dua hal yang terlihat kontras adalah Karbala di satu pihak dan al-Qadisiyyah di pihak yang lain. Dalam hal ini, menurutnya sejarah telah menjadikan manusia menjadi “al-la al-dlamir” (tidak berperasaan) sehingga yang terjadi adalah dlamir al-silaah (perasaan yang dipersenjatai).[10] Oleh karena itu, menurutnya pendekatan sejarah merupakan sesuatu yang sangat urgen dan “emergency” dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu kemanusiaan.
v  Qira’at Tarikhiyyah

            Istilah Qira’at Tarikhiyyah ini disebut Talbi dalam bukunya ‘Iyal Allah (hlm. 70) di bagian Ta’wilu nassh ad-Diny sebagai salah satu metode yang ia gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Istilah ini pertama kali ia perkenalkan dalam sebuah artikel yang ia buat dalam Majalah mingguan al-Maghriby al-‘Araby edisi 122 tahun 1989 yang berjudul “Qadlyah Ta’dib al-Mar’ah bi al-Dlarbi ; Qira’at Tarikhiyyah lil Ayatayn 35-43 min Surat an-Nisa.

            Teori ini dibangun dari sebuah statmen bahwa seorang sejarawan muslim ketika berhadapan dengan teks keagamaan, selamanya akan berpijak kepada qira’at Unasiyah (pembacaan humanistik). [11] Oleh karenanya, terkadang Talbi mengidentifikasi teorinya dengan Qira’at Tarikhiyah Unasiyyah ( Pembacaan historis-humsnistik). Sebagai pijakan awal, dalam bukunya, ‘Iyal Allah, di bab al-Islam wa al-As’ilah as-Shu’bah (Islam dan beberapa pertanyaaan yang sukar) mula-mula Talbi memperlakukan teks suci Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang harus berdialektika dengan keniscayaan dan tuntutan zaman (muqtadlayat al-ashr). Ia mencontohkan isu pluralisme yang saat ini telah menjadi wacana global. Menurut Talbi, sebelumnya wacana ini memang sengaja dihindari dan  ditolak (marfudlah min qabl) oleh umat Islam, bahkan saat ini pun masih saja ada orang yang mengingkarinya, namun bagaimanapun juga saat ini pluralisme menjadi suatu keniscayaan realitas (as-syai yufridluhu al-waqi’) dan mau tidak mau Islam harus berhadapan dengannya.

             Hal lain yang menginspirasi Talbi adalah suatu kenyataan bahwa khitab ayat-ayat Al-Qur’an secara umum adalah manusia secara keseluruhan. Berbeda dengan Taurat dan Injil yang hanya menjadiakn Bani Israil sebagai sasaran pembicaraannya. [12] Ketika Al-Qur’an berbicara manusia, maka ia sendiri telah menyejarah dan sejarah merupakan satu-satunya ilmu yang bisa melacak pesannya. Yang menarik adalah kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dalm konteks sosio-historis Quraisy dan segala tribalisme yang melingkupinya. Namun kita dapati bahwa hanya ada satu ayat yang terdapat isyarat secara langsung kepada bangsa quraisy, yakni surat al-Quraisy. Ia juga tidak banyak berbincang tentang suku-suku Arab lainnya, meskipun dalam surat al-Ahzab, at-Taubah, dan al-Fath terdapat kata “al-A’rab”, namun ia tidak secara khusus menjadi sasaran pembicaraan. Dengan demikian, Al-Qur’an sejatinya memang berdialog dengan seluruh umat manusia.

            Secara sederhana, cara kerja Qira’at Tarikhiyah dapat dipetakan sebagai berikut:
             pertama, seorang mufasir harus berusaha memahami ayat Al-Qur’an dalam konteks ketika ia diturunkan (fii dzhurufi nuzulihi) [13], bukan dalam isolasi abstrak dari konteks tersebut. Pada tahapan ini ilmu asbab nuzul mikro dan makro merupakan bahan utama. Pembersihan dari pertautan historisnya akan membuat ayat Al-Quran menguntungkan pihak tertentu. Dengan demikian, Qira’ah Tarikhiyah berusaha untuk mencegah terjadinya universalisasi liar yang berlebihan yang merusak materi sejarah.

            Kedua, seorang mufasir harus selamanya memegang prinsip Maqashid (muqarabah maqashidiyah)[14] dalam mengekstrak pesan suatu ayat Al-Qur’an. Dalam artian mind-set yang harus ada dalam diri mufassir adalah bahwa sesuatu yang harus diekstrak dari ayat Al-Qur’an adalah ide-ide dasar yang berlandaskan materi historis. Sebisa mungkin ia harus menghindari produk penafsiran yang “membelenggu” historisitas manusia. Penjelasan lebih lanjut tentang maqhasid, akan diurai selanjutnya.

            Kesadaran yang juga harus dimiliki seorang mufassir adalah bahwa teks itu satu (Al-Qur’an) dan pemikiran itu berlimpah ruah (an-Nash wahid wa al-Afkar muta’addidah). Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perbedaan cara pembacaan Al-Qur’an adalah perbedaan pemikiran manusia itu sendiri. Ia menyebutkan bahwa semua pluralitas fenomena keberagamaan umat muslim bahkan konflik internal agama Islam, seluruhnya disebabkan karena pembacaan yang berbeda terhadap hal yang sama, Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, menurut Talbi, diantara hal yang harus kita atasi adalah meredam konflik internal yang didasarkan perbedaan pemahaman dan memelihara privasi setiap orang. [15]

     b)     al-Qira’at al-Maqashidiyah Dalam Memahami Ayat Al-Qur’an

         Teori ini merupakan tahapan lebih lanjut setelah qira’at tarikhiyah. Secara prinsipil, teori ini memiliki kesamaan dengan ideal moral-nya Fazlur Rahman atau Maghza-nya Nasr Hamid Abu Zayd, bahwa sesuatu yang harus menjadi aksentuasi seorang mufasir adalah something beyond the text (sesuatu di balik teks). Al-Maqashid – sebagaimana dijelaskan Talbi – juga merupakan nama majalah yang ia terbitkan. Konten majalah ini terfokus pada isu-isu yang menjadi pangkal krisis peradaban dan berusaha meredam “terorisme” pemikiran (al-Irhab al-Fikry). [16]

            Menurut Talbi, al-Qira’at al Maqashidiyah ini bukanlah teori yang benar-benar baru. Hal yang sama juga telah dilakukan ulama terdahulu, khususnya As-Syatiby yang pertama kali mempopulerkan teori Maqashid as-Syari’ah. Menururt Talbi, konsep maqashid syari’ah ini setingkat lebih maju daripada qiyas, meskipun tidak menolak secara keseluruhan, ia beranggapan bahwa qiyas sudah tidak relevan dalam menjawab persoalan kekinian. Qiyas menurutnya hanyalah fahmun madlawiyun (pemahaman nostalgis) terhadap teks, dan terkesan masih menolak kekinian. [17]

            Dalam al-Qira’at al-Maqashidiyah versi Talbi, setidaknya ad dua hal yang menjadi aksentuasi: [18]
          I.            Konteks historis turunnya ayat (Dzharf al-Tanzil) sebagai titik tolak
       II.            Tujuan/Kehendak Pembuat syari’at (Ghayat as-Syari’), sebagai maksud yang dituju.

            Sedangkan secara teknis, prinsip teori ini berpangkal pada Analisis Orientasi (at-Tahlil al-Ittijahi) terhadap suatu teks. Menurut Talbi dalam hal ini kita bisa mengitegrasikan metode epistemologi Islam atau hermeneutika. Hal inilah yang menurut Talbi merupakan suatu tradisi yang kontributif dalam perkembangan pemikiran Islam.[19] Secara prinsipil, teori maqashid ini sejalan dengan perkembangan kaidah-kaidah historis.  

      4.      Contoh Penafsiran

Contoh Pembacaan Historis Q.S. An-Nisa ayat 34-35 :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34) وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35)

34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

35. dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

            Dalam hal ini, Talbi membidik kasus mendidik istri dengan hukuman fisik (dipukul, dsb). Ayat ini sering dijadikan dalih untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan mendudukan perempuan lebih rendah daripada di bawah laki-laki. Pemaparan Talbi terhadap kedua ayat ini termuat dalam kitabnya ummat al-wasath, hlm. 115-137.

         Secara konklusif, beberapa point penting yang mesti digarisbawahi terkait penafsiran Talbi terhadap kedua ayat ini adalah sebagai berikut:

     a.      Pemukulan terhadap wanita tidak menjadi sesuatu yang tabu bagi masyarakat Mekkah, karena mereka mempunyai tradisi memukul istri-istri mereka. Bagaimana pun juga, ia lebih ringan dibandingkan dengan penguburan hidup-hidup (al-Wa’d). Dan konstruk berfikir pada masa itu sudah tidak sesuai dengan rasionalitas masa kini.

      b.      Tradisi ini membekas di Madinah dan perempuan Quraisy di sana menuntut adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Akhirnya Rasulullah menyetujuinya. Umar bin Khattab pernah mengatakan: “kami, kaum muhajirin adalalah golongan yang “mengalahkan”/ membawah-tangan perempuan-perempuan kami. Namun kami dapati orang Anshar yang justru “dikalahkan”/dibawah-tangan perempuan mereka, maka perempuan kami meniru tradisi perempuan Anshar”.

     c.       Konteks turunnya ayat berkaitan erat dengan konflik internal. Dalam konteks inilah ayat “pemukulan” diturunkan.
  
    d.     Talbi menyeruan untuk menolak pemukulan wanita secara tegas, karena ayat yang berkaitan turun dalam redaksi dan konteks yang spesifik.

     e.      Talbi mengajak untuk kembali kepada aturan Rasulullah sebelum turunnya ayat.

            Bagi Talbi, ayat ini tidak boleh difahami sebagai sanksi Tuhan kepada perempuan, melainkan lebih kepada siasat untuk mengurangi ketegangan di sekitar Madinah mengenai masalah perlakuan terhadap perempuan yang terancam perang saudara. Talbi mengaitkan ayat 34 dengan suatu pertimbangan dalam ayat 35. Ayat 34 ini turun pada tahun 3 H., di Madinah dengan segala kompleksitas politiknya. Pada awalnya Rasulullah memuat perundang-undangan yang “progresif” tentang perempuan. Sejarah Islam awal menyatakan bahwa ada gerakan feminisme yang cukup kuat ketika itu. Namun kemudian ketegangan kaum feminis dan anti-feminis semakin bertambah. Akhirnya ayat ini diturunkan guna mencegah konflik internal tersebut dengan “kemadaratan yang lebih kecil” dari wahyu yang agak bersifat “mundur” untuk sementara. [20]
  


Daftar Pustaka

Talbi, Muhammad. ‘Iyal Allah Afkar Jadidah fi ‘Alaqah al-Muslim binafsih wa bi al-Akharin. Tunis: Dar Saras al-Muntasyir, 1992.
Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Qur’an & Hadits, Yogyakarta: eLSAQ press, 2010








[1] . Lihat selangkapnya dalam autobiografi yang ditulisnya sendiri dalam ‘Iyal Allah, Afkar Jadidah fi ‘Alaqah al-Muslim binafsih wa bi al-Akharin (Tunis: Dar Saras al-Muntasyir, 1992), hlm. 7-40
[2]‘Iyal Allah, hlm. 22-25
[3] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 33
[4] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 65
[5] .  Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an & Al-Hadits, (Yogyakarta: eLSAQ press, 2010), hlm. 227
[6] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 56
[7] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 61
[8] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 56
[9] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 55
[10] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 55
[11] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 144
[12] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 57
[13] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 70
[14] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 70
[15] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 68
[16] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 70
[17] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 142
[18] . ‘Iyal Allah ..., hlm. 143
[19] . Iyal Allah ..., hlm. 144
[20] . Hermeneutika Al-Qur’an & Hadits 

0 comments

Posting Komentar