Secara
etimologis, kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yakni hermeneuein,
yang berarti “menjelaskan” (erklaren, to explain). Kata
tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman Hermemeutik dan bahasa
Inggris Hermeneutics.[1]
Beberapa kajian menyebutkan bahwa Hermeneutika adalah “proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan nenjadi tahu dan mengerti”.[2]
Sebagai sebuah istilah, kata tersebut didefinisikan secara beragam dan
bertingkat. Keragaman tersebut, misalnya dikemukakan oleh Hans George Gadamer
dalam artikelnya “Classical and Philosophical Hermeneutics”. Di dalamnya
ia mengemukakan bahwa sebelum menjadi suatu disiplin keilmuan, istilah ini
merujuk pada sebuah aktivitas penefsiran dan pemahaman. Dalam hal ini, dia
mengatakan: [3]
Hermeneutics
is the practical art, that is, a techne, involved in such things as preaching,
interpreting other languages, explaining and expliciting text, and the basisi
of all of these, the art of understanding, an art particulary required anytime
the meaning of something is not clear and unambigous.
(Hermeneutika
adalah seni praktis, yakni techne yang digunakan dalam hal-hal seperti
berceramah, menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan menjejelaskan
teks-teks, dan sebagai dasar dari semua ini (ia merupakan) seni memahami,
sebuah seni yang secara khusus dibutuhkan ketika makna sesuatu (teks) tidak
jelas).
Ia
juga menyatakan bahwa hermeneutika pada masa kontemporer diartikan sebagai
sebuah disiplin ilmu yang membahas aspek-aspek metodis yang secara teoritis
dapat menjustifikasi aktivitas penafsiran.
Selanjutnya
terkait medan kajian Hermeneutika, secara essensial Gadamer mengatakan :
Language
occurs once again, in vocabulary and grammar as always, and never without the inner
infinity of the
dialogue that is in progress between every speaker and his partner. That is the
fundamental dimension of hermeneutics.[4]
(Sekali
lagi, bahasa tampil dalam kosakata dan tata bahasa sebagaimana biasa, dan tak
akan lepas dari seabrek kandungan yang dihasilkan oleh dialog yang berlangsung
antar setiap pembicara dan pasanganya. Itulah dimensi fundamental
Hermeneutics).
Sejarah Singkat
Perkembangan Hermeneutika
1.
Hermeneutika Teks Mitos
Sebagai embrio,
hermeneutika telah disinggung di dalam filsafat antik di Yunani kuno. Objek
penafsiran kala itu adalah teks kanonik (yang telah dibukukan), baik berupa
kitab suci, hukum, puisi dan mitos. Pembedaan makna hakiki (literal) dan majazi
(allegoris) suatu teks pertama kali dilakukan oleh Homer dan Hesiod.
2.
Hermeneutika Teks
Kitab Suci
Penafsiran allegoris kemudian dikembangkan
terutama oleh para filsuf di Stoa dan dipraktekn oleh para teolog masa
patristik ( abad 1 s.d. 6 M ) terhadap perjanjian lama secara mendalam dan
melodis. Proses pemahaman allegoris bertujan untuk memperoleh makna yang
mendalam terhadap teks tertentu. Diantara cintoh penafsiran allegoris yang
terkenal adalah penafsiran Philo terhadap Hohelied (Kidung Agung) dalam
perjnjian lama. Selanjutnya Origenes membedakan makna teks ke dalam tiga macam:
literal, moral dan ruhani/spiritual.
3.
Hermeneutika Umum
Selanjutnya, hermeneutika digunakan
bukan hanya sebatas teks-teks suci semata, namun kepada segala hal yang bisa
ditafsirkan. Inilah yang disebut Allgemeine Hermeneutik. Pada abad ke 17, hermenutika dipandang sebagai ilmu
mandiri. Konon dikatakan ia muncul bersamaan dengan aliran humanisme saat dan
digunakan untuk memahami teks sulit dari Bible. Dua tokoh yang diangap sebagai
penggagas hermeneutika umum ini adalah Johann Conrad Dannhauer (1603 – 1666)
dan Friedrich Ernest Schleiermacher.
[1].
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009). hlm. 5
[2] . Fahruddin Faiz, Hermeneutika
Al-Qur’an, Tema tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005). hlm. 6
[3] . Lihat Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 5-6
[4].
Hans George Gadamer, Philosophical
Hermeneutics,translated and edited by David E. Linge, (London: University
of California Press, 1977), hlm. 17
0 comments
Posting Komentar